Hukum Pernikahan yg Dihasilkan dari Perselingkuhan

Assalamu’alaikum wr. wb. Pak ustad, teman saya seorang duda beranak satu. Dalam perjalannya ia berkenalan dgn seorang perempuan yg telah bersuami. Kemudian berkenalan, saling curhat, memberi perhatian, dan lama-lama keduanya ada kecocokan.<>

Namun yg menjadi persoalannya ialah si perempuan tersebut masih berstatus menjadi istri orang. Saya pernah mendengar hukumnya ialah haram dan termasuk dosa besar. Yang mau saya tanyakan, bila di kemudian hari si perempuan bercerai dan menikah dgn teman saya, bagaimana status hukum pernikahan tersebut, dimana proses menuju ke pernikahan tersebut ialah dgn jalan yg diharamkan? Atas penjelasannya saya sampaikan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb (Samsul/Garut)

Jawaban
Penanya yg budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Akhir-akhir ini baik di kota maupun di desa perselingkuhan semakin marak. Baik itu yg memulainya kalangan laki-laki maupun perempuan. Perselingkuhan juga inilah yg menjadi salah satu pemicu tingginya angka perceraian.
 
Dalam pandangan Islam, upaya-upaya apapun yg merusak keutuhan rumah tangga orang lain ialah haram. Bahkan tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain termasuk dalam kategori dosa besar. Salah satu argumentasinya ialah meminang (khitbah) seorang perempuan yg telah dipinang laki-laki lain saja dilarang, apalagi mendekati dan merusak hubungan seorang wanita dgn suaminya. Dalam sebuah hadits dikatakan:

وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا -رواه النسائي

“Dan barang siapa yg merusak hubungan seorang istri dgn suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami”. (H.R. an-Nasai).

Dari penjelasan singkat ini maka dapat dipahami bahwa hubungan seorang laki-laki dgn seorang perempuan yg statusnya masih bersuami ialah hubungan terlarang. Dan lelaki tersebut dianggap sebagai perusak. Jika pada akhirnya keduanya bercerai, kemudian si perempuan menikah dgn laki-laki selingkuhannya, apakah hubungan terlarang tersebut berdampak bagi status hukum pernikahan mereka.

Pendapat yg sangat keras disampaikan oleh Madzhab Maliki. Jika ada seseorang laki merusak hubungan seorang istri dgn suaminya, kemudian suaminya menceraikan perempuan tersebut, lantas laki-laki yg merusak hubungan itu, setelah selesai masa iddah, menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan, walaupun setelah terjadi akad nikah. Sebab terdapat kerusakan dalam akad.

وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْأَجْهُورِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا نَصُّهُ ذَكَرَ الْأَبِيُّ مَسْأَلَةً مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ يُفْسَخُ , وَلَوْ بَعْدَ الْبِنَاءِ , فَإِنَّهُ نُقِلَ عَنْ ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّ مَنْ سَعَى فِي فِرَاقِ امْرَأَةٍ لِيَتَزَوَّجَهَا فَلَا يُمْكِنُ مِنْ تَزْوِيجِهَا وَاسْتَظْهَرَ أَنَّهُ إنْ تَزَوَّجَ بِهَا يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ لِمَا يَلْزَمُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْفَسَادِ

“Syaikh Ali al-Ajhuri ra berkata—bunyinya ialah—bahwa al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yg merusak hubungan seorang istri dgn suaminya, bahwa pernikahan keduanya (lelaki yg merusak dan wanita yg dirusak) itu harus dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu Arafah yg menyatakan, bahwa barang siapa yg berusaha memisahkan seorang perempuan dari suaminya supaya ia dapat menikahi perempuan tersebut, maka tak mungkin baginya (tak diperbolehkan, pent) buat menikahinya. Dan hal ini menjadi jelas bahwa bila lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau setelah akad sebab hal itu menyebakan kerusakan dalam (akad, pent)” (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 1, h. 397)    

Jika kita cermati pandangan Madzhab Maliki di atas, maka konsekwensinya ialah pihak perempuan yg telah diceraikan suaminya haram dinikahi oleh si lelaki yg menyebabkan perceraian tersebut selama-lamanya.

Namun ada juga pandangan lain dari Madzhab Maliki yg menyatakan bahwa yg demikian itu tak selamanya haram dinikahi. Dan hal ini dianggap tak bertentangan dgn pandangan di atas yg menyatakan harus dibatalkan baik sebelum akad maupun setelahnya.

مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَطَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا الْمُفْسِدُ الْمَذْكُورُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَلَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ وَذَلِكَ لَا يُنَافِي أَنَّ نِكَاحَهُ يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ

“Barang siapa merusak hubungan seorang istri dgn suaminya kemudian si suami menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai masa iddah maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tak menjadi selamanya. Dan hal itu tak bertentangan dgn pandangan yg menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau setelahnya.” (‘Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi ‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil, Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, juz, 3, h. 170-171)

Sedang menurut Madzhab Hanafi dan Syafii perusakan terhadap hubungan istri dgn suaminya tak mengharamkan pihak yg merusak buat menikahinya. Tetapi pihak yg merusak itu termasuk orang yg paling fasik, tindakannya merupakan maksiat yg paling mungkar dan dosa yg paling keji di sisi Allah swt.

اَلْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: إِنَّ إِفْسَادَ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا لَا يُحَرِّمُهَا عَلَى مَنْ أَفْسَدَهَا بَلْ يَحِلُّ لَهُ زَوَاجُهَا وَلَكِنْ هَذَا الْإِنْسَانُ يَكُونُ مِنْ أَفْسَقِ الْفُسَّاقِ وَعَمَلُهُ يَكُونُ مِنْ أَنْكَرِ أَنْوَاعِ الْعِصَيَانِ وَأَفْحَشِ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Para ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa perusakan hubungan seorang istri dgn suaminya taklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yg merusakknya buat menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yg paling fasik, tindakannya termasuk salah satu kemaksiatan yg paling mungkar, dan dosa yg paling keji di sisi Allah swt kelak pada hari kiamat.

Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama mengenai hukum pernikahan orang yg merusak rumah tangga orang lain, yg jelas tindakan tersebut ialah masuk kategori dosa besar, dan telah seharusnya dihindari. Dengan pertimbangan saddudz-dzariah (menutup jalan keburukan), maka pandangan dari Madzhab Maliki yg menyatakan bahwa lelaki yg merusak hubungan seorang istri dgn suaminya diharamkan buat menikahinya selamanya, hemat kami perlu dijadikan pertimbangan.

Demikian jawaban yg dapat kami kemukakan. Semoga bermanfaat, jangan sekali-kali mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain sebab itu masuk kategori dosa besar di sisi Allah swt dan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)    





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.