Hukum Transaksi dgn Bitcoin

Assalaamu ’alaikum wr wb.
Semoga Allah memberikan rahmat kepada kita semua, amin. Ustadz, pada saat ini sedang fenomenal mata uang digital (Cryptocurreny), seperti Bitcoin, Ripple, Litcoin dan lain lain. Sebagian ada yg sepakat menyebutnya sebagai mata uang, ada juga yg berpendapat lain yaitu aset digital. Saya sebagai masyarakat sangat bingung dgn kontroversi dari kutipan para ulama di antaranya ada yg membolehkan dan ada juga yg melarang (Haram).

Di awal tahun 2018 kemarin pergerakan nilai mata uang digital tersebut sangat naik siginifikan sehingga membuat saya tertarik buat membeli beberapa koin yg nilainya masih rendah dgn harapan investasi dan pertimbangan hukum ada ulama yg membolehkan. Sedangkan sekarang banyak sekali fatwa ulama yg melarang dan mengharamkan sebab dampak bahayanya. Hal itu dgn lapang saya terima dan pahami seiring rasa takut mau terjerumus pada perbuatan yg haram (dosa).

Pertanyaannya ialah apa yg harus saya lakukan? Bagaimana langkah saya buat memperbaikinya? Saya berniat buat menjual kembali semua koin yg telah dibeli dgn tujuan takut dosa kalo telah banyak fatwa ulama yg berfatwa haram. Apakah uang hasil penjualan koin tersebut mau haram? Bagaimana cara membersihkan uang saya dari unsur haram? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalaamu ’alaikum wr wb. (Muhammad Irfan Z)

Jawaban
Alaikum salam wr wb.
Saudara penanya yg budiman, semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua dan membimbing di jalan-Nya. Terkait dgn mata uang virtual seperti bitcoin dan sejenisnya, berdasarkan Hasil Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tanggal 10-11 Februari 2018 di Tuban, bitcoin dikelompokkan sebagai “harta virtual” sehingga boleh dijadikan sebagai alat transaksi dan dapat dijadikan sebagai investasi. Dengan demikian berlaku wajib zakat dgnnya.

 

واختلف المتأخرون فى الورقة المعروفة بالنوط فعند الشيخ سالم بن سمير والحبيب عبد الله بن سميط أنها من قبيل الديون نظرا إلى ما تضمنته الورقة المذكورة من النقود المتعامل بها وعند الشيخ محمد الأنبابى والحبيب عبد الله بن أبى بكر أنها كالفلوس المضروبة والتعامل بها صحيح عند الكل وتجب زكاة ما تضمنته الأوراق من النقود عند الأولين زكاة عين وتجب زكاة التجارة عند الآخرين فى أعيانها إذا قصد بها التجارة

Artinya, “Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hukum uang elektronik. Menurut Syekh Salim Samiir dan Habib Abdullah bin Smith, uang elektronik ialah serupa dgn duyun (hutang-piutang), dgn mencermati isi kandungannya berupa nuqud yg dapat digunakan buat muamalah. Menurut Syekh Muhammad Al-Unbaby dan Habib Abdullah bin Abu bakar, ia serupa dgn fulus yg dicetak sehingga hukum bermuamalah dgnnya ialah sah secara total. (Dengan demikian) wajib membayar zakat dgn harta yg tersimpan di dalam kartu tersebut-menurut ulama-ulama yg disebut pertama-dgn zakat ‘ain, dan wajib membayar zakat tijarah-menurut ulama yg disebut terakhir-sebab kondisinya ketika dipakai buat perdagangan,” (Lihat At-Tarmasy, [Al-Mathba’ah Al-‘Amirah As-Syarafiyyah bi Mishra Al-Mahmiyyah; juz IV], halaman 29-30).

Namun, sebab saat ini bitcoin masih belum mendapatkan regulasi dari pemerintah sehingga kondisinya sebagai alat transaksi masuk kategori rawan dgn risiko tinggi dari segi keamanannya, maka diperlukan kearifan bagi orang yg berkecimpung dan bermuamalah dgnnya.

Ketiadaan regulasi dari pemerintah tak menghalangi sahnya bermuamalah dgnnya selagi tak ada catatan yg dilarang oleh syara’. Apabila di kemudian hari ada indikasi bahwa bermuamalah dgn harta virtual semacam ini ditetapkan sebagai yg dilarang oleh imam (pemerintah) sebab pertimbangan faktor adanya kejahatan atau mafsadah yg besar, maka kita wajib mematuhi perintah dari pemerintah.

 

 

 

يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه

Artinya, “Wajib hukumnya mematuhi perintah pemimpin di dalam segala hal yg menjadi wilayah kuasanya, seperti membayar zakat mal zhahir. Namun, buat hal yg di luar kewenangan kekuasaan pemerintah, seperti melaksanakan hak-hak wajib atau sunah, maka boleh ia melaksanakannya dan bebas buat bertasharruf di dalam kepentingannya,” [Lihat Abdurrahman, [Bughyatul Mustarsyidin: Darul Fikr], halaman 91).

Demikian jawaban singkat kami, semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Wallahul muwaffiq ila aqwami thariq
Wassalamu alaikum wr wb.

(Muhammad Syamsudin)

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.