Imam Bakr al-Muzani & Teladannya dalam Memandang Orang Lain

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang nasihat atau ucapan Imam Bakr al-Muzani. Berikut riwayatnya:

حدثنا عبد الله، قال: أخبرت عن سيار حدثنا يوسف بن عطية حدثنا إبرهيم بن عيسي اليشكري، قال: سمعت بكر بن عبد الله المزني يقول: إني لأخرج من بيتي فما ألقى أحداً إلا رأيت له عليّ الفضل لأني من نفسي على يقين. أما من الناس في شك

Abdullah menceritakan kepada kami, ia berkata: aku menceritakan dari Sayyar, Yusuf bin ‘Athiyyah bercerita, Ibrahim bin ‘Isa al-Yasykuriy bercerita kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Bakr bin Abdullah al-Muzanni mengatakan:

“Sesungguhnya aku (saat) keluar rumah, tak bertemu seorang pun kecuali aku menganggap (kedudukan)nya (lebih) utama dariku. Sebab aku sangat yakin (tahu betul) tentang (siapa) diriku. Adapun (pengetahuanku tentang) orang (lain dipenuhi dgn) keragu-raguan.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 218)

****

Imam Bakr bin Abdullah al-Muzanni (w. 106/108 H) ialah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. Ia banyak meriwayatkan hadits dari para sahabat nabi, sebut saja Mughirah bin Syu’bah (w. 50 H), Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H), Abdullah bin ‘Umar (w. 73 H), Anas bin Malik (w. 93 H), dan lain sebagainya. Ia juga memiliki banyak murid, di antaranya ialah Sulaiman at-Taimi (w. 143 H), Habib al-‘Ajami (w. 120an H), Hamid at-Thawil (w. 142/143 H), Qatadah (w. 118 H), Ghalib al-Qathhan, ‘Ashim al-Ahwal (w. 142 H) dan lain sebagainya (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 533).

Menurut para ulama, Imam Bakr al-Muzanni ialah ahli fiqih dan ahli hadits yg mumpuni. Imam an-Nasai (w. 303 H), Ibnu Ma’in (w. 233 H) dan Abu Zur’ah (w. 264 H) tak meragukan ke-tsiqqah-annya. Imam Ibnu Sa’d (w. 230 H) menggambarkan kepakarannya dgn mengatakan:

كان ثقة ثبتا كثير الحديث حجة فقيها

“Bakr al-Muzanni ialah (seorang yg) tsiqqah (terpercaya), tsabit (terbukti kepakaran/ketsiqahannya), banyak (menghafal dan meriwayatkan) hadits, ahli argumentasi, (dan) ahli fiqih” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, Kairo: Dar al-Kitab al-Islamiy, 1993, juz 1, h. 484)

Dalam riwayat di atas, Imam Bakr al-Muzanni mengambil jarak penilaian antara dirinya dan orang selainnya. Ia melatih dirinya buat selalu memandang orang lain dgn rasa hormat. Siapa pun yg ia temui, ia mau menganggapnya lebih mulia dan utama. Ia memberikan dua argumentasi buat hal ini. Pertama, sebab ia tahu betul siapa dirinya, dan kedua, sebab pengetahuannya terhadap orang lain dipenuhi dgn keragu-raguan.

Penjelasan sederhananya begini. Untuk yg pertama, semua manusia tentu tahu kualitas dirinya sendiri. Misalnya ia pernah berbuat dosa, memiliki banyak aib yg disembunyikan, atau sering melakukan kebohongan. Di lubuk hatinya, manusia tahu semua keburukan itu. Persoalannya, manusia jarang menjadikan pengetahuannya ini, atau “min nafsî ‘alâ yaqîn” (yakin siapa diriku sebenarnya) dalam bahasa Imam Bakr al-Muzanni, sebagai pencegah buat menghakimi orang lain. Padahal, itu ialah modal besar buat belajar merendahkan hati supaya tak mudah menghardik dan menghakimi.

Kedua, apa pun yg kita ketahui tentang orang lain, meskipun akrab atau kenal baik, tak dapat mencapai derajat keyakinan seperti terhadap diri sendiri. Pasti ada ruang keraguan sebab kita bukan mereka. Apalagi terhadap orang yg tak kita kenal sama sekali. Ruang keraguan semakin besar. Artinya, menilai buruk orang lain memiliki resiko yg besar. Karena bagaimanapun juga, kita tak benar-benar tahu tentang mereka. Bisa jadi di balik citra pelitnya ia gemar bersedekah; dapat jadi di balik kesan tamaknya ia gemar berpuasa.

Salah satu contoh paling terkenal ialah Sayyidina Ali Zainal Abidin. Ketika ia wafat, tak banyak kerabatnya yg turut berduka sebab ia dianggap kikir, meski sebenarnya ia sangat gemar membagi-bagikan hartanya. Kedermawanannya baru terungkap setelah kewafatannya. Penduduk Madinah berkata:

ما فقدنا صدقة السر حتى مات علي بن الحسين

“Kami tak kehilangan sedekah rahasia (sembunyi-sembunyi) hingga Ali bin al-Husain wafat.” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dar al-Ihya’ li al-Turats, 1988, juz 2, h. 133)

Sebelumnya banyak orang yg salah paham pada Sayyidina Ali Zainal Abidin, bahkan keluarganya sendiri. Ia dianggap kikir dan gemar mengumpulkan harta. Padahal harta-hartanya digunakan buat bersedekah di setiap malam secara sembunyi-sembunyi. Untuk lebih jelas tentang kisah ini, dapat dibaca di artikel NU Online lainnya, yg berjudul “Bekas Hitam di Punggung Sayyidina Ali Zainal Abidin”.

Karena itu, Imam Bakr al-Muzanni sangat berhati-hati dalam menilai orang lain. Ia takut terjerumus pada prasangka buruk dan fitnah. Apalagi hal tersebut tak berdasarkan pengetahuan yg hakiki, hanya sebatas pengetahuan yg ruang keraguannya sangat besar. Dengan alasan ini, setiap kali berpergian, ia tak pernah memandang buruk orang lain. Semua orang yg ditemuinya, ia pandang sebagai orang yg kedudukannya lebih mulia darinya.

Pertanyaannya, dapatkah kita meneladaninya?

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.