Imam Khalil: Dunia Terasa Sempit bagi Orang yg Saling Membenci

Dalam kitab al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi memasukkan perbincangan Imam Al-Ashma’i (121-216 H) dan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-173 H) tentang persahabatan dan permusuhan. Berikut kisahnya:

قال الأصمعي: دخلتُ على الخليل وهو جالس على حصيرٍ صغير, فقال لي: تعالَ اجلِسْ

‏فقلت: أُضيِّقُ عليك, ‏فقال: مَهْ! الدنيا بأَسرِها ما تَسَع مُتباغِضَين, وإنّ شِبرًا في شِبرٍ لَيَسَع مُتحابَّين

(Imam) al-‘Asma’i berkata: “Aku (berkunjung) masuk ke (rumah Imam) Khalil, dan dia sedang duduk di atas tikar jerami yg kecil. Dia berkata kepadaku: “Kemarilah, duduk (di sini).”

Aku menjawab: “(Maaf), aku membuat (tempat duduk)mu sempit.”

(Imam) Khalil berkata: “Ah, (kau ini)! Luasnya dunia mau terasa sempit (atau tak cukup luas) bagi dua orang yg saling membenci. (Namun), sejengkal (tanah) mau terasa luas bagi dua orang yg saling mencintai.” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, [Beirut, Dar Shadir: 1988 M], juz III, halaman 127).

***

Hubungan guru-murid ini luar biasa. Sang guru tak keberatan kenyamanannya berkurang. Sang murid tak enak hati menerima tawaran gurunya. Ya, Imam Ahmad bin Khalil al-Farahidi ialah guru dari Imam Abu Sa’id Abdul Malik bin Quraib al-Ashma’i.

Keduanya ialah ahli bahasa yg berhasil mengembangkan ilmu nahwu, sharaf, sastra, dan ilmu-ilmu lain yg berkaitan dgn bahasa. Imam Khalil memiliki banyak murid, termasuk di antaranya ialah Imam Sibaweih (148-180 H), dan Imam Abu al-Hasan Ali al-Kisai (119-189 H). Bersama Imam al-Ashma’i, mereka berdua memperkaya literatur Islam dalam bidang bahasa.

Suatu hari, entah di waktu siang atau sore, Imam al-Ashma’i sowan kepada gurunya. Ketika itu, Imam Khalil bin Ahmad sedang duduk di atas tikar jerami kecil, yg mungkin hanya dapat menampung satu orang. Tapi, dgn keluasan hati, ia mengundang muridnya buat duduk bersamanya. Hal itu memberatkan hati sang pengarang al-Ashma’iyyât, antologi puisi yg disusun oleh al-Ashma’i sehingga ia berujar kepada gurunya: “(Maaf), aku membuat (tempat duduk)mu sempit.”

Imam Khalil, sembari seakan-akan tersenyum, membalas ujaran itu dgn mengucap: “Ah, (kau ini)! Luasnya dunia mau terasa sempit (atau tak cukup luas) bagi dua orang yg saling membenci. (Namun), sejengkal (tanah) mau terasa luas bagi dua orang yg saling mencintai.”

Coba kita lihat persembahan akhlak yg cerdas ini. Apa yg ditampilkan di atas, tak hanya mempertemukan dua pekerti mulia antara guru dan murid, tapi juga kecerdasan Imam Khalil dalam menenangkan kegelisahan muridnya. Bahwa, buat orang yg saling membenci, dunia seluas ini, atau luasnya dunia ini, mau terasa sesak bagi mereka berdua. Berbeda halnya dgn orang yg saling mencinta, ruang sebesar jengkal tanah, terasa luas buat dihuni dan ditinggali.

Seakan-akan Imam Khalil hendak berkata kepada muridnya buat menjauhi kebencian, dan mengembangkan kasih sayg. Hidup terlalu singkat buat membenci; hidup terlalu cepat buat memusuhi, ketimbang sibuk berpikir buat menang, atau membalas permusuhan, alangkah indahnya bila saling mengasihi dan berbagi. Pikiran dan hati menjadi luas, laiknya sejengkal tanah yg ditempati sepasang kekasih. Ia mau disyukuri dan dinikmati sepanjang hari. 

Dalam salah satu riwayat, Imam Khalil pernah ditanya oleh seseorang tentang persahabatan:

وقد قيل له: إنّ استِفساد الصديق أهون من استصلاح العدوّ, قال: نعم كما أنّ تخريقَ الثّوب أهون من نسجه

Artinya, “Telah dikatakan kepadanya: ‘Sesungguhnya merusak pertemanan jauh lebih mudah ketimbang memperbaiki permusuhan.’ (Imam) Khalil menjawab: ‘Betul, sebagaimana merobek kain jauh lebih mudah ketimbang menenunnya.’” (Al-Tauhidi, 1988 M: III/127).

Imam Khalil sangat berharap supaya manusia dapat menjaga persahabatannya. Sebab, sekali persahabatan putus, memperbaikinya sangat susah, seperti halnya menenun kain jauh lebih susah ketimbang merobeknya. Karena itu, kita harus membuka pintu persahabatan sekaligus pintu maaf secara bersamaan.

Setiap manusia pasti “pernah”, atau “akan” berbuat salah, selama dia masih bernafas. Jika kita dapat menggunakan pikiran itu kepada orang lain, kenapa tak kita gunakan buat diri kita sendiri, bahwa kita telah berbuat salah di masa lalu, dan mungkin mau berbuat salah di masa depan. 

Dengan demikian, kita mau lebih memahami bahwa sahabat atau saudara-saudara kita, pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri-sendiri, sebagaimana diri kita. Memahami kekurangan orang lain ialah kunci keharmonisan, dan mengakui kelebihannya ialah langkah kebaikan. Sebab, sebagai makhluk yg memiliki potensi salah, kita tak punya hak buat menilai berlebihan dalam persahabatan dan persaudaraan.

Jangan sampai ketakpahaman kita tentang kekurangan orang lain menimbulkan kebencian dan kemarahan. Apalagi, orang lain pun, mungkin, memandang kita sebagai pihak yg bersalah.

Maka dari itu, jangan sampai kita dimakan oleh kebencian yg membabi buta, entah kepada orang yg kita kenal, maupun yg tak kita kenal. Bukankah hidup terlalu singkat buat membenci? Bukankah hati terlalu berat buat terus marah? Bukankah pikiran terlalu lelah buat terus memusuhi? Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad. Lagi pula, kedamaian dan cintalah yg mengindahkan dunia. Bukankah demikian? Wallahu a’lam bis shawwab…..

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.