Jauhi Ustadz Pengabdi Hawa Nafsu, Imbau Syekh Ibnu Athaillah

Interaksi satu sama lain tak dapat dihindari dalam kehidupan di dunia. Hanya saja dalam konteks perbaikan diri, yg diperlukan ialah interaksi atau pergaulan dgn mereka yg lebih dapat menahan diri dari segala larangan Allah SWT.

Kita yg masih dalam proses “perbaikan”, “pendidikan”, atau “penggemblengan” diri, tak boleh salah bergaul. Kita yg masih dalam “proses” ini perlu mencari orang yg sanggup menahan hawa nafsu atau dorongan dalam dirinya meskipun ia sendiri bukan orang yg menghafal ratusan ayat Al-Quran, ribuan hadits Rasulullah SAW, atau mereka yg kerap berkhotbah dan ceramah agama.

Mereka yg sedang berusaha keras dalam mengendalikan nafsu, berupaya berakhlak baik, mencoba pandai menjaga ucapan, dan sedang belajar menahan tangan supaya tak melukai orang lain atau menulis termasuk men-share semacam broadcast provokatif, ujaran kebencian, serta meresahkan atau video yg tak bermanfaat bagi orang lain apalagi hoaks, tak membutuhkan pergaulan dgn orang yg tak dapat menahan nafsu meskipun ia telah dianggap ustadz. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam butir hikmah berikut ini.

ولأن تصحب جاهلاً لا يرضي عن نفسه خير من أن تصحب عالماً يرضي عن نفسه

Artinya, “Persahabatanmu dgn orang awam yg tak merestui hawa nafsunya lebih baik dibanding persahabatan dgn pemuka agama yg merestui nafsunya.”

Mengapa demikian? Sedikit atau banyak, pergaulan dapat membawa pengaruh (buruk?) pada perkembangan batin, jiwa, atau karakter seseorang.

Pergaulan dgn orang yg “tepat” sangat dibutuhkan oleh kita yg sedang berproses dalam “mendidik” jiwa kita. Hal ini diterangkan lebih jauh oleh Syekh Syarqawi sebagai berikut.

ولأن( أى والله لأن )تصحب) أيها المريد (جاهلاً) بالعلوم الظاهرية (لا يرضي عن نفسه) بأن يسخط عليها ويعتقد نقصها (خير من أن تصحب عالماً) بذلك (يرضي عن نفسه) لأن صحبة من يرضى عن نفسه وإن كان عالما شر محض لك لأن الصحبة تؤثر فتكتسب منه هذا الوصف الخبيث فصار علمه غير نافع لك في تهذيب نفسك وجهله الذى أوجب رضاءه عن نفسه صار لك غاية الإضرار. وكأنه إن فاته العلم بعيوب نفسه حتى يرضى عنها لا علم عنده.

Artinya, “Demi Allah, (persahabatanmu) wahai murid (dgn orang awam) terhadap ilmu lahiriyah (yg tak merestui hawa nafsunya) dalam artian murka atas nafsu dan meyakini ketaksempurnaannya, (lebih baik dibanding persahabatan dgn pemuka agama) yg mengerti masalah lahiriyah itu (yg merestui nafsunya). Persahabatan dgn orang yg ridha atas nafsunya, sekalipun ia alim, sama sekali tak maslahat bagimu. Pasalnya, persahabatan itu membawa pengaruh sehingga kamu berisiko terdampak sifat buruk darinya. Walhasil, ilmu pemuka agama tersebut tak bermanfaat dalam rangka ‘pendidikan’ bagi batinmu, dan faktor ‘keawaman’ yg membuatnya senang atas hawa nafsu menjadi sangat berbahaya bagimu. Sampai-sampai dapat dikatakan, ketika seorang pemuka agama (orang alim) itu luput memahami kekurangan nafsunya sehingga ia senang atas nafsunya itu, maka hakikatnya ia tak berilmu,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, halaman 32).

Sementara Syekh Zarruq mengatakan bahwa relasi pergaulan kedua orang itu dapat dalam bentuk guru-murid, persahabatan setara, atau semacam figur yg diikuti. Semua relasi itu sama saja.

Menurutnya, orang yg dapat menahan hawa nafsu dari dalam dirinya meraih tiga keistimewaan tanpa peduli meski ia seorang yg awam dalam agama atau ia yg kesehariannya tak berpakaian putih-putih gamis. Keistimewaannya ini yg menjadi ukuran kesempurnaan keimanannya.

قلت: سواء كان شيخا أو قرينا أو تابعا: لأن الذى لا يرضى عن نفسه قد جمع مناقب ثلاثا وإن كان جاهلا، وهي الإنصاف من نفسه والتواضع لعباد الله وطلب الحق بالصدق. وقد قال عمار رضي الله عنه “ثلاث من جمعهن فقد جمع الإيمان: الإنصاف من نفسه وبذل السلام للعالم والإنفاق من الإقتار” انتهى.

Artinya, “Sama saja, apakah ia sebagai guru, sahabat, atau pengikut. Pasalnya, orang yg tak merestui hawa nafsunya memiliki tiga keutamaan meskipun ia awam, yaitu pertama keinsafan (keadilan) atas nafsunya, tawadhu terhadap hamba-hamba Allah, dan membela kebenaran dgn cara yg haq. Sahabat Ammar RA mengatakan, ‘Ketika tiga sifat ini hadir dalam diri seseorang, maka genap-sempurnalah keimanannya; yaitu keinsafan (keadilan) atas nafsunya, penebaran benih perdamaian terhadap alam semesta, dan kedermawanan dalam keadaan sempit,’” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 48).

Hikmah Syekh Ibnu Athaillah ini jangan dipahami sempit sebagai anjuran buat membenci atau menjauhi ustadz atau para kiai. Poin utamanya bukan pada soal kadar keilmuan. Poin utamanya terletak pada kebutuhan kita yg masih dalam “proses” perbaikan diri buat lebih selektif memilih sahabat, figur, atau “guru”.

Jangan sampai kita berinteraksi secara intensif dgn mereka, apapun statusnya, yg masih belum dapat mengendalikan hawa nafsunya sebab tak baik buat jiwa kita yg sedang dalam perkembangan, pertumbuhan, pendidikan, dan penggemblengan.

Bagi Syekh Ibnu Athaillah, sahabat, figur, utsadz, atau guru yg baik bagi kita itu bukan sekadar mereka yg berpakaian Islami atau penuh berhamburan ayat-ayat Al-Quran dan hadits dari mulutnya. Sahabat, figur, utsadz, atau guru yg baik bagi kita itu ialah mereka yg mampu menahan segala dorongan-dorongan nafsu dalam dirinya sehingga perilaku serta ucapannya tetap bijak dan penuh pertimbangan yg dapat kita jadikan panutan, pedoman, dan ikutan. Mereka ialah orang yg pernyataan, ucapan, sikap, perilaku, dan kebijakannya tak dilandasi dorongan nafsu, tetapi berlatar pertimbangan matang.

Hikmah ini menganjurkan kita buat berinteraksi secara intensif dgn mereka yg sanggup menahan diri dari sifat dan perilaku tercela sebagai jalan yg paling aman bagi perkembangan batin kita. Pasalnya, batin kita yg dalam “proses” masih rawan dan rentan pengaruh. Tetapi syukur alhamdulillah dan berbahagialah kita yg tengah berjalan ini menemukan sahabat, ustadz, atau guru yg perilakunya terpuji sehingga dapat menjadi teladan atau model bagi kita yg berproses dalam menahan diri.

Sebaiknya kita selalu berdoa supaya tetap dalam bimbingan Allah. Kita juga sebaiknya berdoa kepada-Nya supaya diberikan sahabat, ustadz, dan figur yg memberikan maslahat bagi perkembangan kepribadian kita. Amiiin. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.