Khutbah I
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Hampir tiap Jumat minimal kita mendengarkan anjuran dari sang khatib buat senantiasa meningkatkan takwa: memupuk kesadaran ilahiyah yg manifestasinya ialah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Anjuran itu mengandung pesan supaya kita semua meningkatkan bukan hanya amal ubudiyah kepada Allah melainkan juga kebaikan bermuamalah dgn sesama manusia. Juga mengingatkan kita tentang pentingnya menjauhi maksiat-maksiat, mulai dari yg paling ringan seperti membuang sampah sembarangan sampai yg terberat seperti syirik atau memakan harta anak yatim.
Kita semua tentu bersyukur bila pesan rutin sang khatib itu dapat dipenuhi secara konsisten. Artinya, ada penambahan kualitas takwa dari waktu ke waktu. Kalau pun belum terpenuhi, semoga kita termasuk orang-orang yg sedang berikhtiar memenuhi pesan tersebut sebagai wujud pelaksanaan bunyi Surat Ali ‘Imran ayat 102:
“Hai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.â€
Ayat tersebut menekankan tentang usaha menjalani takwa secara maksimal. Kata-kata haqqa tuqâtihi mengasumsikan adanya kerja keras dalam beragama buat meraih puncak kemuliaan sebagai manusia paling bertakwa. Sebab, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum (sesungguhnya yg paling mulia di antara kalian ialah yg paling bertakwa). Di sini sangat jelas bahwa ukuran kemuliaan ialah takwa, bukan jabatan, kekayaan, garis keturunan, klaim keunggulan ras, atau sejenisnya.
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Namun demikian, yg mesti dicatat ialah bahwa saat orang menjalani ketakwaan, saat itu pula ia mengemban tanggung jawab yg lebih berat. Ia bertanggung jawab buat selalu istiqamah (konsisten) terhadap amalnya, bertanggung jawab buat tak angkuh atas prestasi ibadah atau amal kebaikannya. Syekh Ibnu Athai’illah as-Sakandari dalam al-Hikam mengatakan:
“Engkau lebih membutuhkan belas kasih-Nya ketika taat ketimbang ketika bermaksiat.”
Sudah pasti ketaatan tetap lebih utama ketimbang kemaksiatan. Ketaatan lebih memberi jaminan tentang kebahagiaan hidup ketimbang kemaksiatan. Ketaantan juga lebih membawa maslahat bagi masyarakat ketimbang kemaksiatan. Namun, apakah kelebihan-kelebihan itu lantas mengantarkan manusia pada level aman? Tidak. Tugas tak ringan ternyata dipikul setelah itu.
Dengan menelaah kata bijak Syekh Ibnu Athai’illah tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yg taat lebih memerlukan pertolongan Allah sebab ia berada pada kondisi yg rawan tergelincir. Karena merasa sangat saleh, seseorang dapat saja punya kecenderungan buat mengabaikan bahaya dosa-dosa kecil. Karena merasa banyak ibadah, seseorang kadang punya tendensi meremehkan orang lain. Dan seterusnya. Demikianlah, ketaatan membawa jebakan yg dapat menjerumuskan manusia ke dalam perasaan ‘ujub (bangga diri), angkuh, atau sombong.
Dikatakan tanggung jawab orang yg taat lebih berat ketimbang orang yg bermaksiat sebab orang yg bermaksiat punya potensi buat insaf, introspeksi, tobat, hingga pembenahan diri. Tapi bukan berarti maksiat lebih baik dari taat. Sebab, yg dibicarakan di sini ialah tentang olah rohani, suasana batin, yg sering diterlewatkan dari pikiran manusia lantaran tak terlihat oleh kasat mata. Kebanggaan atas prestasi ibadah kerap muncul samar-samar di dalam hati, dan justru di sinilah tantangan terberatnya.
Pernyataan Syekh Ibnu Atha’illah tersebut mengingatkan kita semua bahwa semakin bertakwa seseorang seharusnya semakin takut ia terperosok pada takabur. Beribadah atau berbuat baik mungkin ialah hal yg susah, tapi jelas lebih susah beribadah dan berbuat baik namun tanpa merasa lebih baik ketimbang orang yg tak beribadah atau berbuat baik. Karena itu prestasi ketakwaan secara lahiriah harus diimbangi dgn terus-menerus koreksi diri secara batiniyah.
Dalam al-Hikam Syekh Ibnu Athai’illah juga menyebutkan:
“Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”
Dalam hidup ini kualitas usia manusia tak diukur panjang-pendeknya, melainkan sejauh mana umur itu berfaedah buat menuju atqâkum (hamba paling bertakwa). Perbaikan diri berjalan maju: dari yg bermaksiat menjadi taat, dan yg taat mesti senantiasa bermuhasabah supaya tak terseret kepada kemaksiatan baru yaitu takabur. Semoga kita semua selalu dalam lindungannya, terhindar dari jebakana-jebakan itu, buat menjadi orang benar-benar diridhai Allah subhânahu wa ta‘âlâ.
Khutbah II
أَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا أَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكÙمْ بÙأَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى Ø¥Ùنَّ اللهَ وَمَلآئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ أَبÙÙ‰ بَكْر٠وَعÙمَر وَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ أَعÙزَّ اْلإÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ أَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! Ø¥Ùنَّ اللهَ يَأْمÙرÙنَا بÙاْلعَدْل٠وَاْلإÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙŠ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوا اللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur