Jual Beli Bersyarat yg Diperbolehkan Syariat

Mencari orang yg mahu membeli suatu aset kadang sulit dan kadang mudah. Banyak orang sampai menaruh papan pengumuman di tempat umum atau bahkan mengambil kolom iklan di harian surat kabar besar, hanya gara-gara mau menjual barang yg dimilikinya. Karena harga aset yg hendak dijual ialah mahal, maka kadang membutuhkan waktu yg lama buat menunggu. Ditunggu-tunggu tak kunjung datang.

Karena tak sabar, aset itu disewakan ke orang lain selama satu tahun. Maksud hati sambil menunggu dan biar rumah tak rusak sebab tanpa penghuni, Eh… lima bulan jalan masa sewa, calon pembeli pun datang. Setelah dijelaskan kronologis rumahnya, kemudian penjual bilang kepada calon pembelinya: “Mas, rumah ini terlanjur saya sewakan selama satu tahun. Dan penyewanya telah 5 bulan jalan menempati rumah itu. Kurang lebih 7 bulan ke depan, rumah itu dapat Anda tempati. Apakah saudara mau menunggu selama jangka waktu itu?” Dan ternyata pembelinya menyatakan bersedia menunggu. Akhirnya, terjadilah transaksi jual beli dgn syarat menunggu tersebut.

Persoalan di atas ialah contoh jual beli dgn syarat. Pembeli punya dua pilihan, antara bersedia menunggu dan dilanjutkan transaksi jual belinya, atau tak bersedia menunggu, dalam arti bila ada calon pembeli berikutnya yg bersedia menunggu, maka rumah itu mau dijual oleh pemilik ke pihak tersebut. Di satu sisi, sang calon pembeli butuh memiliki rumah. Persoalannya ialah apakah syarat yg demikian ini termasuk diperbolehkan dalam fiqih?

Kupasan kita kali ini ialah berkaitan dgn syarat yg diperbolehkan buat diturutsertakan dalam jual beli mengingat kebutuhan yg terpaksa tak dapat dihindari. Karena, betapa sulitnya hidup ini bila tak saling bertoleransi dalam jual beli semacam ini. Pembeli membutuhkan aset yg dapat dimiliki dan dibeli, sementara penjual membutuhkan orang yg dapat membeli rumahnya. Menetapkan syarat dalam jual beli, hampir sama pengertiannya dgn riba. Itulah sebabnya kasus ini juga disebut kasus syubhat riba, yaitu kasus yg mirip-mirip riba.

Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ amshar terkait dgn jual beli dgn syarat. Sebagian fuqaha’ menyatakan kebolehannya dan sebagian yg lain menyampaikan tak sahnya akad. 

Ulama Hanabilah menyatakan sahnya akad jual beli dgn syarat, dgn catatan syarat yg diberlakukan hanya satu saja. Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah menyatakan syaratnya boleh dan sah, namun jual belinya termasuk fasid (rusak). Salah satu ulama’ madzhab Hanafi, Syeikh Alauddin Al-Samarqandy dalam Tuhfatu al-Fuqaha’ li al-Samarqandi menjelaskan:

لأن اشتراط المنفعة لأحد المتعاقدين من باب الربا أو شبهة الربا

Artinya: “Karena sesungguhnya penetapan syarat kemanfaatan bagi salah satu pihak yg bertransaksi ialah termasuk pasal riba atau merupakan bagian dari syubhatnya riba.” (‘Alauddin Al-Samarqandy, Tuhfatu al-Fuqaha’ li al-Samarqandy, juz 2, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1984: 52-52).

Adapun pendapat dari kalangan Syafi’iyyah, ialah sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, sebagai berikut:

إن بين المدة فطريقان: أصحها فساد البيع والثاني فيه وجهان أصحها الفساد والآخر الصحة, وإن لم يبين المدة فالبيع باطل

 

Artinya: “Ada dua metode istinbath hukum terkait dgn syarat penetapan jangka waktu (dalam jual beli). Metode yg paling shohih menyatakan rusaknya akad jual beli. Metode kedua menghasilkan dua pendapat, yaitu: pendapat yg paling shahih ialah rusaknya akad jual beli, dan pendapat yg kedua (shahih) ialah sahnya akad jual beli, namun bila tak dijelaskan maksud dari masa, maka jual-belinya bathil.” (Lihat: Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawy, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al- Mathba’ah al-Munîrah, tt.,: 6/364)

Mendasarkan diri pada pendapat Imam Nawawi, ternyata kalangan fuqaha’ Syafi’iyyah tak satu pendapat terkait dgn bolehnya menyertakan syarat sebagaimana telah disebutkan di atas. Hasil kesepakatan yg paling shahih (qaul ashah) menyatakan “rusaknya akad” sehingga jual beli dipandang sebagai tak sah. Namun, pendapat lain yg lebih rinci di kalangan Syafiiyah menyatakan (shahih), jual beli yg demikian ini ialah “sah bila ada penjelasan lebih lanjut mengenai waktu yg dimaksud.” Merujuk pada pendapat yg terakhir ini, maka para fuqaha’ menyampaikan pandangannya mengenai batasan-batasan kebolehan syarat yg dapat diikutsertakan dalam jual beli. 

Ada tiga batasan syarat yg dapat diikutsertakan dalam jual beli, antara lain:

1. Syarat merupakan bagian dari tujuan akad (muqtadla al-aqdi), seperti buat dapatnya saling menerima barang, kontannya harga, dan semisal. Semua bentuk persyaratan ini, baik disampaikan ke konsumen ataupun tak disampaikan ke konsumen, ialah sama saja dan tak mempengaruhi sahnya akad. 

2. Syarat berada di luar ketentuan akad, dan tak bertentangan dgn tujuan akad. Syarat ini umumnya disampaikan supaya tercapai kemaslahatan syar’i dalam objek transaksi. Misalnya, membeli mobil dgn syarat belum pernah dipergunakan, atau membeli ternak namun dgn syarat mampu memproduksi susu yg banyak. Syarat-syarat sebagaimana disebutkan ini ialah sah bila disertakan dalam transaksi. Jika syarat tersebut tak dijumpai dalam barang yg dibeli, pembeli boleh melakukan khiyar (memilih) yaitu, antara melanjutkan akad, membatalkannya, mengambil kompensasi (arsyun) perbedaan antara barang yg disyaratkan dgn barang yg dihadirkan. Batasan dari diperbolehkannya menyertakan syarat semacam dalam jual beli ialah bilamana syarat tersebut memungkinkan buat ditepati dan masuk akal, serta tak bertentangan dgn syara’. Apabila syarat bersifat tak masuk akal dan bertentangan dgn syara’ maka jual beli dapat dibatalkan. 

3. Apabila syarat disertai dgn menyebutkan pengecualian manfaat tertentu yg bersifat mubah terhadap objek transaksi. Contoh: mau menjual mobil namun setelah pemakaiannya satu bulan ke depan, atau mau menjual rumah setelah usai masa satu tahun ia tinggali, atau mau menjual tanah tegal setelah habisnya masa tanam di musim kemarau dgn ketentuan paling lambat bulan Agustus, telah dapat diterimakan kepada pembeli.

Ketiga gambaran di atas, merupakan model-model syarat yg disepakati oleh sebagian fuqaha’ mau kebolehannya. Pembaca dapat merujuk pada keterangan yg disampaikan oleh Syeikh Ahmad Yusuf dalam ‘Uqûdu al-Muâwadlât al-Mâliyyah fî Dlaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah, halaman 42-43 yg diterbitkan oleh Daru al-Ulum, Jâmi’ah al-Azhar. 

Dengan demikian, kesimpulan hukum dari jual beli sebagaimana dicontohkan dalam kasus di atas ialah boleh, manakala ada kejelasan waktu kapan berakhirnya syarat tersebut sehingga pembeli dapat menerima barang yg dibelinya. Syarat mutlak harus diterapkan menimbang tak mungkin membatalkan akad sewa-menyewa yg telah terlebih dahulu terjadi antara penyewa dan orang yg menyewa. Syarat menunggu sampai habisnya waktu sewa merupakan bagian yg ada di luar akad transaksi jual beli sehingga tak bersifat membatalkan jual beli. Pembeli tetap dapat melakukan khiyar, apakah dia memutuskan menunggu atau membatalkan akad. Wallahu a’lam bish shawab.

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.