Kajian Demokrasi & Syirik dalam Al-Qur’an

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an

Kita telah mengetahui bersama bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara Islam dan bukan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, melainkan menggunakan sistem demokrasi.

Akhir-akhir ini, ada sebagian kelompok yg menganggap bahwa menjalankan hukum dan sistem pemerintahan dgn hukum dan sistem lain selain hukum Allah SWT juga termasuk syirik, seperti sistem demokrasi di Indonesia.

Bahkan penerapan hukum di luar hukum disebut sebagai syirik akbar. Sedangkan para penganut syirik akbar ini dianggap batal syahadatnya, bahkan telah disebut kafir.

Salah satu ayat yg digunakan ialah Surat Al-Kahfi ayat 26.

وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Dan Allah tak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorang pun.”

Ayat ini menjadi pegangan oleh salah satu terpidana terorisme yg telah dijatuhi hukuman mati, Aman Abdurrahman, buat melakukan kekerasan dan terorisme.

Ayat di atas dipahami oleh kelompok mereka bahwa setiap orang yg menyekutukan hukum Allah SWT, yakni menganut hukum yg tak dibuat oleh Allah SWT, maka mereka termasuk golongan orang yg musyrik.

Golongan musyrik ini mencakup orang-orang yg membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti parlemen (DPR/MPR), para pembuat kebijakan yg tak merujuk kepada Al-Qur’an sebagai representasi hukum Allah SWT, orang yg membuat dan mengikuti hukum positif, para pelaksana hukum positif seperti hakim, pengacara, jaksa, dan polisi.

Menurut mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat peraturan yg hanya dimiliki oleh Allah SWT. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan hukum atau peraturan.

Lalu, benarkah demikian? Benarkah seluruh orang yg mengakui sistem demokrasi, sekaligus pelaksananya berhak menyandang status musyrik dan kafir hanya sebab divonis menyekutukan hukum Allah SWT? Benarkah ayat tersebut berkaitan dgn hal itu?

Namun sebelum kita membahas lebih jauh maksud dan pendapat para ahli tafsir terkait ayat tersebut, ada baiknya bila kita membaca ayat tersebut secara utuh.

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yg tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan,’” (Surat Al-Kahfi ayat 26).

Secara utuh, ayat tersebut sebenarnya mengisahkan bagaimana Allah SWT menengahi perdebatan terkait waktu lamanya para ashabul kahfi menetap di dalam gua. Dan tentunya, ayat ini tak boleh dipisahkan dari ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-Kahfi ayat 25:

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

Artinya, “Mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi),” (Surat Al-Kahfi ayat 25).

Inti dalam ayat tersebut ialah bahwa kita tak perlu memperdebatkan berapa lama ashabul kahfi tinggal di dalam gua. Berapa lama pun mereka tinggal di dalam gua, semua itu ialah ketentuan Allah SWT.

Yang perlu diyakini ialah Allah SWT mampu membuat ashabul kahfi tertidur dalam waktu yg cukup lama. Semua ialah ketentuan Allah. Allah mampu membuat mereka tertidur sangat lama tanpa mengalami kerusakan jasad.

Allah mampu membangkitkan mereka kembali setelah sekian lama. Allah menentukan semua itu. Dia tak perlu meminta pendapat pada orang lain dalam membuat ketentuan. Dia juga tak perlu bantuan orang lain dalam mewujudkan kehendak dan keputusan-Nya.

Kata “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 berarti ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tak membagi kekuasaan-Nya pada orang lain mengatur semua kisah ajaib yg terjadi pada ashabul kahfi.

Kata “hukum” pada ayat ini bukan hukum dalam artian peraturan atau sistem yg digunakan dalam sebuah negara. Itulah mengapa diksi yg dipilih oleh Kementrian Agama dalam menerjemahkan kata “hukum” pada ayat ini dgn kata “ketentuan.”

Hal ini diperkuat dgn pendapat para mufassir yg menyebutkan bahwa kata “hukum” dalam ayat tersebut berkaitan dgn masa atau waktu tidur ashabul kahfi. Al-Baghawi (wafat pada 516 H) mengatakan bahwa maksud “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 ialah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detail cerita ashabul kahfi yg ajaib.

Kata “hukum” dalam konteks ini ialah ilmu gaib, yg maksudnya bahwa Allah SWT tak bersekutu dgn seorang pun dalam mengetahui perkara gaib, (Lihat Al-Baghāwī, Ma’ālimut Tanzīl, [Beirut, Dārul Kutub: 1995 M], juz III, halaman 188).

Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marāḥ Labīd, ayat tersebut menunjukkan bahwa kita tak boleh bertanya kepada seorang pun tentang apa yg telah diberitahukan Allah SWT terkait jumlah ashabul kahfi serta lamanya mereka tertidur dalam gua.

Kita, kata Syekh Nawawi Al-Bantani, memang diperbolehkan buat mendiskusikan kisah ashabul kahfi di dalam gua, tapi harus dibatasi pada keputusan Allah SWT. Kita tak diperbolehkan buat menyekutukannya terkait pengetahuan atas peristiwa ini, (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marāḥ Labīd, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, halaman 647).

Namun, ada juga ulama tafsir yg menafsirkan hukum dalam ayat tersebut sebagai undang-undang. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Amin As-Syinqithi dalam Tafsir Adwā’ul Bayān:

“Dengan teks-teks langit yg telah kami sebutkan tampak jelas bahwa orang-orang yg mengikuti hukum positif yg disyariatkan setan melalui lisan para pengikutnya ialah bertentangan dgn syariat Allah yg disampaikan para rasul-Nya. Bahwa tak ragu kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yg Allah butakan batinnya,” (Lihat Muhammad Amin As-Syinqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M], juz III, halaman 259).

Terkait penafsiran As-Syinqithi yg berbeda dgn penafsiran para ulama tafsir ini sebenarnya telah dijawab sendiri oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan buat melakukan beberapa hal yg pada dasarnya sesuai dgn prinsip demokrasi.

Pertama, Al-Qur’an mengajarkan buat bermusyawarah. Hal ini tercantum jelas dalam Surat Al-Syu’ara ayat 38.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya, “Dan (bagi) orang-orang yg menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dgn musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yg Kami berikan kepada mereka.”

Jika memang benar bahwa Allah SWT menolak hukum yg dibuat oleh manusia, maka Allah SWT tak mungkin memerintahkan manusia buat bermusyawarah yg tujuannya ialah membuat keputusan atau produk hukum.

Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajarkan buat selalu menepati perjanjian yg dilakukan. Bahkan Rasulullah sendiri melakukan beberapa perjanjian, di antaranya perjanjian Hudaibiyah, perjanjian Fathu Makkah, dan Piagam Madinah.

Jika hukum manusia ialah syirik, maka tentu hasil dari perjanjian-perjanjian Rasulullah SAW tersebut mau ditentang oleh Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 177:

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ

Artinya, “Orang-orang yg menepati janjinya apabila ia berjanji,” (Surat Al-Baqarah ayat 177).

Oleh sebab itu, syirik dalam konteks Surat Al-Kahfi di atas, sebenarnya bukan dalam konteks syirik pemerintahan atau sistem hukum yg diberlakukan di masyarakat, melainkan termasuk syirik dalam hal yg berkaitan dgn hal gaib, termasuk berapa lamanya waktu tidur ashabul kahfi sebagai bagian dari kekuasaan Allah SWT. Wallahu a’lam.

(Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.