Kartu Kredit Online atau Paylater menurut Hukum Islam

Hari ini kita mendapati adanya sistem pembayaran Paylater di beberapa pengguna produk finansial teknologi (fintech). Secara bahasa, paylater bermakna bayar tunda atau bayar nanti. Polanya menyerupai kartu kredit, hanya saja basisnya ialah teknologi informasi.

 

Jika ditilik dari mekanismenya, produk paylater ini menawarkan sebuah pembayaran tunda dari suatu proses transaksi yg dilakukan pada marketplace tertentu atau mitra usaha dari marketplace tertentu. Semisal OVO Paylater, merupakan produk yg diusung oleh Grab dan berguna buat memesan jasa atau makanan yg ditawarkan oleh Grab, dan bilamana saldo OVO menipis, ia dapat mengajukan sistem paylater, yaitu bayar nanti. Jadi, bila ada seseorang naik grab, kemudian saldo OVO-nya tak mencukupi, kekurangannya itu dapat dipenuhi dgn paylater. Sekilas memang memudahkan bagi para pengguna OVO.

 

Tidak hanya Grab, beberapa produsen lain juga menerapkan sistem pembayaran yg sama. Traveloka ialah salah satu dari produsen tersebut. Jika seseorang melakukan paket perjalanan rekreasi, Traveloka menawarkan sebuah fasilitas pembayaran tiket, penginapan, dan sejenisnya kepada penggunanya dgn dibayar tunda tanpa ribet (demikian pendakunya).

 

Baik Grab maupun Traveloka menerapkan bunga pada produk paylater-nya ini. Untuk Grab mengenakan tarif 2000 rupiah per hari. Sementara pada produk Traveloka dikenakan bunga cicilan flat (rata) antara 2.14% sampai dgn 4.78% per bulan. Sebuah harga yg sebenarnya cukup tinggi. Perusahaan lain yg menggunakan sistem serupa ialah Gojek, Shopee, Lazada, Bukalapak, dan lain-lain.

 

Yang dipermasalahkan ialah apakah pola transaksi sebagaimana paylater ini termasuk yg diperbolehkan dalam syariat?

 

Ada beberapa pendapat yg memungkinkan buat kita ambil dalam transaksi ini.

 

Pertama, utangan yg diberikan oleh Grab/Traveloka lewat produk paylater ialah termasuk kategori riba qardli (riba utang) yg diharamkan sebab adanya unsur ziyadah (tambahan) yg disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya.

 

Bagaimanapun juga, paylater ini ialah aplikasi berbasis utang (qardl). Hal itu tercermin dari konsumen yg mengakses situs pesan barang atau jasa terlebih dulu, dan selanjutnya buat pembayarannya ditanggung dulu oleh penerbit paylater (misalnya, Grab, Traveloka, atau lainnya). Dengan demikian, pihak konsumen memiliki utang terhadap perusahaan tersebut. Sampai di sini maka bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yg diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli. Sebab, hukum asal dari utang ialah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yg diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.

 

Kedua, utangan yg diberikan oleh perusahaan-perusahaan itu lewat aplikasi Paylater tersebut bukan termasuk riba yg diharamkan sebab tambahan tersebut hanya dapat diperoleh lewat penggunaan aplikasi. Karena harus memakai aplikasi, maka tambahan itu termasuk bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi). Hal ini, berangkat dari qiyas terhadap kaidah berikut:

 

ولو أقرضه تسعين دينارا بمائة عددا والوزن واحد وكانت لا تنفق في مكان إلا بالوزن جاز وإن كانت تنفق برؤوسها فلا وذلك زيادة لأن التسعين من المائة تقوم مقام التسعين التي أقرضه إياها ويستفضل عشرة

 

“Seseorang memberi utang orang lain sebesar 90 dinar, namun dihitung 100, sebab (harus melalui jasa) timbangan yg satu, sementara tak ada jalan lain melainkan harus lewat penimbangan itu, maka hukum utangan (terima 90 dihitung 100) itu ialah boleh. Adapun bila 100 itu hanya sekedar digenapkan pada pokok utang (tanpa perantara jasa timbangan) maka tak boleh sebab hal itu termasuk tambahan (yg haram). Karena bagaimanapun juga, nilai 90 ke 100 ialah menempati maqam 90, sementara 10 lainnya ialah tambahan yg dipinta.”

 

Aplikasi kedudukannya diqiyaskan dgn timbangan yg mau tak mau harus dilalui, dan keberadaannya dihitung sebagai jasa (ijarah). Sebagaimana yg berlaku pada timbangan di atas, kedudukannya ialah sebagai jasa (ijarah) yg disewa dgn besaran upah yg ma’lum (diketahui secara jelas) sebesar 10, dan ini sesuai dgn peran aplikasi Grab yg mematok tarif 2000 rupiah per bulan. Lain halnya, bila pinjaman itu tak dilalui lewat aplikasi, maka angka 2000 per bulan dapat dikategorikan sebagai ziyadah yg diharamkan.

 

Ketiga, mendudukkan akad di atas sebagai akad bai’ tawarruq. Yang sulit diterima pada paylater Traveloka yg memberlakukan bunga itu dgn nilai persentase dalam rentang 2.14% – 4.78% per bulan. Pihak Traveloka sebenarnya telah menyatakan bahwa bunga itu berlangsung flat (rata). Artinya, setiap bulan, besar cicilan yg disampaikan ialah selalu sama hingga akhir masa cicilan.

 

Dalam catatan penulis, sebenarnya, bila cicilan itu berlaku rata setiap bulan hingga masa jatuh tempo, maka pola transaksi yg terjadi antara konsumen, pedagang, dan Traveloka, ialah menyerupai bai’ tawarruq sehingga hukumnya boleh.

 

Apa itu bai’ tawarruq? Di dalam kitab Fathu al-Qadir, halaman 213 disebutkan contoh dari bai’ tawarruq itu sebagai berikut:

 

كأن يحتاج المديون فيأبى المسئول أن يقرض بل أن يبيع ما يساوي عشرة بخمسة عشر إلى أجل فيشتريه المديون ويبيعه في السوق بعشرة حالة ، ولا بأس في هذا فإن الأجل قابله قسط من الثمن والقرض غير واجب عليه دائما بل هو مندوب

 

“Seperti orang yg membutuhkan utangan, namun pihak yg diutangi enggan memberikan pinjaman, dan bahkan justru menjual kepada orang tersebut barang seharga 10 dgn harga 15 secara kredit, lalu orang tersebut (menerima, lalu) menjual barang tersebut di pasar dgn harga 10 secara tunai, maka [jual beli seperti itu] ialah boleh sebab kredit sifatnya ialah berimbal harga, sementara memberi pinjaman hukumnya ialah selamanya tak wajib melainkan sunnah.”

 

Syarat dari berlakunya bai’ tawarruq ini ialah juga menitiktekankan jelasnya harga, yaitu 15. Selanjutnya, selisih antara 15 dan 10, yg sebesar 5, dijabarkan dalam bentuk cicilan bulanan. Jika mekanismenya berlaku sedemikian rupa, maka tak dapat dipungkiri bahwa itu merupakan transaksi kredit. Masalahnya ialah, paylater Traveloka menerapkan persentase. Jadi, tak mungkin kita menggunakan kaidah di atas.

 

Keempat, ada solusi yg hampir mendekati pandangan di atas, yaitu menjadikannya akad ju’alah (sayembara). Jadi, seolah telah terjadi transaksi antara konsumen paylater dgn Traveloka lewat jasa aplikasi pada saat pihak konsumen mulai mengaksesnya dan mengontak pihak Traveloka. Saya mau membeli menyewa tempat ini dgn harga sekian, tolong diuruskan, nanti kamu saya kasih fee sebesar sekian persen per juta biayanya.

 

قال الشافعية لو قال لغيره اقترض لي مائة ولك علي عشرة فهو جعالة

 

“Ulama kalangan Syafiiyah berkata: “Seandainya ada orang yg berkata kepada rekannya: Carikan aku utangan sebesar 100, dan kamu mau mendapatkan dariku 10%-nya.” Maka akad seperti ini masuk kelompok ju’alah (sayembara).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

 

Ulama’ kalangan Hanabilah menyebut sebagai berikut:

 

إذا استقرض الإنسان لغيره بجاهه قال الحنابلة: له أخذ جعل منه مقابل اقتراضه له بجاهه بخلاف أخذ الجعل على كفالته له فإنه غير جائز

 

“Apabila seseorang meminta orang lain supaya mencarikan utangan buat dirinya dgn berbekal kepercayaan yg dimilikinya, maka para ulama Hanabilah berkata: “Boleh bagi orang tersebut mengambil akad ju’alah, yg dgnnya ia mengambil fee sebanding dgn utangan yg berhasil didapatkannya berbekal jah (kepercayaan) yg dimilikinya. Hal ini tentu berbeda bila pengambilan akad ju’alah tersebut menjadikan pihak yg berposisi mencarikan berubah menjadi kafil. Pada saat pihak yg mencarikan utangan berlaku sebagai kafil, maka hukumnya ialah tak boleh (sebab kedudukan kafil ialah setara dgn pihak yg berutang. Ia mau dimintai pelunasan bila pihak debitur mangkir dari pelunasan).” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz 33, halaman 33-34)

 

Alhasil, dgn mencermati berbagai takyif (rincian akad) yg dilalui di atas, serta menimbang peran kebutuhan yg mendesak dalam penggunaan aplikasi Paylater, maka hukum penggunaannya dapat dibagi menjadi 4.

 

Adapun, langkah bijak dalam menyikapi perbedaan hukum di atas, ialah dgn jalan mengambil kaidah keluar dari ikhtilaf ialah mustahab (yg dianjurkan). Maksudnya, bagi yg sangat berkepentingan dgn jasa paylater, maka solusi yg tepat baginya ialah mengikut jalur pendapat yg membolehkan. Adapun, bila kondisi itu tak bersifat darurat, maka sebaiknya tak menggunakan aplikasi tersebut mengingat adanya indikasi unsur riba yg diharamkan di dalamnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.