Keadilan Ekonomi dalam Islam Menurut Imam al-Ghazali

Ekonomi Islam pada dasarnya dibangun berdasarkan sistem ekonomi pasar. Anda dapat lihat kembali kitab fiqih. Pasal pertama dalam muamalah selalu berbicara soal jual beli (bai‘) yg berisikan penjelasan tentang syarat dan rukun jual beli, serta pembagian jual beli apakah sah atau tak dilihat dari sisi akad dan barang.

Berpaku pada bangunan utama bahwa sistem ekonomi Islam ialah berdasarkan ekonomi pasar, maka seharusnya “keadilan ekonomi” di wilayah yg berpenduduk mayoritas Muslim telah bukan lagi menjadi bahan pertanyaan yg penting dalam keseharian masyarakat. Namun, faktanya pertanyaan itu tak dapat hilang. Bahkan dalam situasi BBM (Bahan Bakar Minyak) sedang naik atau turun, harga barang mengalami inflasi atau deflasi, selalu saja hal ini dijadikan alasan telah terjadi ketakadilan dalam sistem ekonomi. 

Padahal, bagaimanapun juga, dalam sistem ekonomi pasar, selalu berlaku yg dinamakan keadilan pasar. Barang yg harganya tinggi dgn kualitas yg biasa tak mau laku dijual, sementara barang yg diproduksi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tak memiliki pangsa internasional, mau tetap dinilai tinggi manakala kualitas barang juga tinggi. Inilah prinsip keadilan pasar itu. 

Rukun pasar dalam hukum ekonomi Islam, antara lain ialah wajib adanya produsen, konsumen, distributor dan pemerintah serta institusi ekonomi. Anda dapat membuka kitab Ihyâ Ulum al-Dîn li al-Ghazâli, Juz 4. Asal muasal dari rukun ini ialah wajib adanya produsen dan konsumen saja. Namun, seiring pertimbangan distribusi ke berbagai wilayah, maka masuk di dalamnya ada distributor produk. Pemerintah berperan mengawasi harga lewat institusi ekonomi yg didirikannya serta berperan memberikan jaminan terhadap keberlangsungan transaksi antara produsen dan konsumen tersebut sehingga tak ada yg dirugikan antara satu sama lain (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94).

Baca juga:
• Mazhab Ekonomi Al-Ghazali
• Apakah Fondasi Ekonomi Indonesia itu Islami?

Jadi, apabila masih dijumpai adanya ketakadilan, maka yg perlu dipertanyakan ialah peran dari elemen-elemen ekonomi penyusun rukun ekonomi itu. Bisa jadi objek permasalahannya ada pada produsen, atau mungkin ongkos distribusi yg terlalu tinggi diakibatkan sarana buat menuju ke wilayah konsumen menjadi sulit dijangkau. 

Jika keadilan ekonomi itu terjadi akibat pemerintah dan institusi ekonomi, maka ada kemungkinan munculnya ketakadilan tersebut ialah disebabkan ketakberpihakan kebijakkan terhadap konsumen dan produsen. Misalnya ialah disebabkan bea distribusi yg tinggi, lewat pajak atau cukai. Bisa jadi juga akibat pejabat yg korup yg melakukan pemalakan liar terhadap pihak konsumen dan distributor sehingga menyebabkan bea produksi menjadi semakin tinggi ketika barang tersebut telah sampai kepada konsumen. 

Kadangkala, sebagian ekonom menerapkan parameter keadilan ekonomi berdasarkan pada terjadi atau taknya krisis moneter. Menurut al-Ghazali, memang salah satu instrumen mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ialah dibutuhkan pada perhatian tak hanya kepada keempat rukun ekonomi di atas. Perhatian lain juga harus sama diberikan kepada penjagaan jumlah uang yg beredar di masyarakat (penjagaan moneter) dan perilaku konsumtif masyarakat. Menurut al-Ghazali, krisis moneter terjadi sebab hal berikut:

وكل من عامل معاملة الربا على الدرهم والدنانير فقد كفر النعمة وظلم لأنهما خلقا لغيرهما لالنفسهما إذ لاغرض في عينهما فإذا اتجر في عينهما فقد اتخذهما مقصودا على خلاف وضع الحكمة إذ طلب النقود لغير ما وضع له ظلم وكموقع المرآة من الألوان فأما من معه نقد فلو جاز له أن يبيعه بالنقد فيتخذ التعامل على النقد غاية عمله فيبقى النقد مقيدا عنده وينزل منزلة المكنوز

Artinya: “Setiap orang yg melakukan muamalah riba (pertukaran uang) atas (mata uang) dirham dan dinar maka sesungguhnya ia telah kufur nikmat dan telah berbuat dhalim sebab keduanya diciptakan bukan buat ditukarkan dgn selain keduanya dan bukan buat sesamanya. Hal ini mengingat keduanya bukan buat tujuan ‘ain-nya, maka dari itu apabila keduanya diperdagangkan, maka sama artinya dgn telah memperlakukannya tak sebagaimana dimaksud sebelumnya. Oleh sebab itulah, maka memperlakukan keduanya tak sebagaimana fungsinya merupakan sikap dhalim. Ibarat cermin yg merefleksikan warna-warna, demikianlah seseorang yg bersamanya sebuah mata uang. Apabila ia diperbolehkan buat menjual uang, padahal uang menjadi perantara muamalahnya sehari-hari, jadilah kemudian uang yg beredar menjadi terbatas. (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94)

Al-Ghazali mengibaratkan uang layaknya sebuah cermin. Cermin tak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Jika cermin dijual, maka tak mau terefleksi lagi warna-warna. Uang bukanlah komoditas sehingga tak dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan uang ialah ibarat memenjarakannya, sebab hal ini mau mengurangi jumlah yg beredar dan berfungsi sebagai alat tukar. Efeknya kemudian ialah timbul krisis. 

Singkatnya bahwa perdagangan mata uang merupakan pangkal dari krisis. Namun, apakah benar bahwa krisis moneter dapat berlaku sebagai tolok ukur ketakadilan pasar? Menurut al-Ghazali, pasar memiliki tabiat dasar yg bersifat alami. Ia tak dipengaruhi oleh jumlah uang yg beredar, melainkan dipengaruhi oleh faktor distribusi barang dan permintaan. Kurang lebihnya al-Ghazali menjelaskan bahwa dapat saja petani hidup tanpa keberadaan alat-alat pertanian di sisinya. Namun hal itu tak dapat dilakukan oleh tukang kayu yg tak memiliki lahan pertanian. Kebutuhan imbal balik buat saling melengkapi antara tukang kayu dan petani merupakan akar dari pasar. Tabiat ini mau selalu ada seiring manusia tak dapat memenuhi beberapa kebutuhannya sendiri. 

Jadi pada prinsipnya, keadilan ekonomi tak dipengaruhi oleh peredaran keuangan, melainkan oleh tabiat dasar manusia yg membentuk pasar. Tabiat pasar ini mau dgn sendirinya terbentuk seiring ruang dan waktu yg memisahkan antara produsen dan konsumen. Jadi, dalam mewujudkan keadilan pasar, maka peran pokok keempat rukun ekonomi pasar di atas, merupakan sarana pokok yg mutlak diusahakan. Semakin kecil hambatan yg menghalangi sampainya distribusi barang ke konsumen, maka semakin kecil pula jurang terjal ketakadilan dapat dikurangi. 

Bersyukurlah Indonesia, dgn konsentrasi pembangunan infrastruktur yg hari ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Infrastruktur merupakan bagian dari memperkecil gap harga antara tempat produksi dgn konsumen. Tetap bersyukur menjadi warga dan negara Indonesia. Wallâhu a’lam bi al-shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.