Dewasa ini, pelecehan dan kekerasan seksual memiliki banyak ragam dan rupa bentuk. Adakalanya bentuk itu berupa pandangan visual semata atau berupa sentuhan-sentuhan yg memuat unsur fâhisyah (tabu), seperti mencium, meraba, atau menyentuh organ intim lawan jenis atau milik sendiri dan dipertontonkan pada kalangan tertentu, dan bahkan mungkin berupa tulisan atau suara. Beberapa kasus ajakan perselingkuhan kepada sosok pribadi terhormat, misalnya kasus SMS/chatting mesum, ialah masuk kategori pelecehan seksual. Â
Illat yg dijadikan dasar bahwa hal tersebut masuk kategori pelecehan ialah sebab adanya unsur memaksa orang lain buat menonton atau mendengar, menerima dan mengonsumsi suatu hal yg berbau pornografi yg tak dikehendakinya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Øدثنا علي بن Øجر Øدثنا معمر بن سليمان الرقي عن الØجاج بن أرطاة عن عبد الجبار بن وائل بن Øجر عن أبيه قال استكرهت امرأة على عهد رسول الله ï·º Ùدرأ عنها رسول الله ï·º الØد وأقامه على الذي أصابها ولم يذكر أنه جعل لها مهرا قال أبو عيسى هذا Øديث غريب وليس إسناده بمتصل وقد روي هذا الØديث من غير هذا الوجه قال: سمعت Ù…Øمدا يقول عبد الجبار بن وائل بن Øجر لم يسمع من أبيه ولا أدركه يقال إنه ولد بعد موت أبيه بأشهر والعمل على هذا عند أهل العلم من أصØاب النبي ï·º وغيرهم أن ليس على المستكرهة Øد
Artinya: Ali ibn Hajar telah menceritakan kepadaku, dari Mu’ammar ibn Sulaimân al-Raqâ, dari Al-Hajjâj ibn Arthah, dari Abd al-Jabbâr ibn Wâil ibn Hajar, dari bapaknya Al Jabbâr, ia berkata: Suatu ketika ada seorang perempuan telah dipaksa (dilecehkan/diperkosa) pada masa Rasulullah SAW, lalu Rasul membebaskan had padanya namun beliau mendirikan had bagi orang yg telah memaksanya (melecehkan/memperkosanya). Rasul juga tak menyebut wajibnya pelaku membayar mahar kepada Si Korban. Abu Isa menjelaskan bahwa hadits ini termasuk gharib. Sanad haditsnya tak muttashil. Karena ada hadits lain yg menyebut bahwa: Aku mendengar Muhammad berkata bahwa Abd al-Jabbâr ibn Wâil ibn Hajar tak mendengar hadits ini dari bapaknya, dan aku juga tak mendapati keterangan bahwa yg disebut bapaknya Abdu al-Jabbar ini memiliki anak setelah kematiannya. Adapun dalam beramal berdasar hadits ini menurut ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW serta beberapa kalangan lain ialah bahwa sesungguhnya bagi perempuan yg menjadiÂ
korban pemaksaan (pelecehan/pemerkosaan) ialah tak adanya had.†(Syekh Abd al-Rahmân al-Mubarakfury, Tuhfatu al-Ahwadzy, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.: 14)
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa tindakan kekerasan seksual harus disertai dgn adanya unsur pemaksaan. Dengan demikian, maka pelaku masuk kategori mukrih/mukrihah, sementara korban ialah mustakrah atau mukrah. Karena setiap kekerasan ialah disertai dgn perbuatan aniaya (dhulm), maka pelaku juga dapat disebut dhâlim/dhalimah, sementara korban disebut sebagai madhlûm atau madhlûmah.
Dalam kaitannya dgn masalah status hukum orang yg melakukan pelecehan, ada sebuah hadits yg diriwayatkan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas radliyallâhu anhu:.Â
الØديث الأول عن عبد الله بن عباس قال ما رأيت شيئاً أشبه باللمم مما قال أبو هريرة إن النبي {ï·º} قال إن الله كتب على ابن آدم Øظه من الزنا أدرك ذلك لا Ù…Øالة Ùزنا العينين النظر وزنا اللسان النطق والنÙس تمنى وتشتهي والÙرج يصدق ذلك أو يكذبه
Artinya, “Hadits pertama dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata bahwa aku tak melihat sesuatu yg lebih mirip dgn ‘kesalahan kecil’ berdasar hadits yg tertuang pada riwayat Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yg mau dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata ialah melihat. Zina mulut ialah berkata. Zina hati ialah berharap dan berkemauan. Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya,’†(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
Di dalam hadits ini disinggung beberapa perbuatan yg dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak kesalahan kecil dan masuk kategori zina. Setiap anggota tubuh memiliki potensi zina tersebut. Mata, mulut, hati, sebagaimana digambaarkan dalam hadits tersebut, hanyalah merupakan sebuah perumpamaan kecil saja. Jika dikaitkan dgn konteks sekarang, maka termasuk bagian dari zina mata ialah melihat taygan-taygan mesum. Apabila taygan tersebut dipaksakan oleh orang lain dgn niat melecehkan atau ajakan berbuat mesum kepada sosok terhormat, maka taygan tersebut dapat masuk unsur pelecehan seksual.Â
Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthy mengategorikan tindakan pelecehan seksual sebagai zina majâzi, sehingga pelakunya masuk kategori pezina majâzi. Lebih jauh ia menjelaskan di dalam kitabnya:
إن الله سبØانه تعالى كتب على بن آدم Øظه من الزنى الØديث معناه أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى Ùمنهم من يكون زناه Øقيقيا بإدخال الÙرج ÙÙŠ الÙرج الØرام ومنهم من يكون زناه مجازا) بالنظر الØرام ونØوه من المذكورات Ùكلها أنواع من الزنى المجازي والÙرج يصدق ذلك أو يكذبه أي إما أن ÙŠØقق الزنى بالÙرج أو لا ÙŠØققه بأن لا يولج وإن قارب ذلك وجعل بن عباس هذه الأمور وهي الصغائر تÙسيرا للمم Ùإن ÙÙŠ قوله تعالى الذين يجتنبون كبائر الإثم والÙواØØ´ إلا اللمم النجم عمر ÙتغÙر باجتناب الكبائر
Artinya, “Maksud hadits ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina’ ialah bahwa setiap anak Adam ditakdirkan melakukan sebagian dari zina. Sebagian dari mereka ada yg berzina hakiki dgn memasukkan alat kelamin ke dalam kelamin yg diharamkan. Sebagian lainnya berzina secara majazi, yaitu memandang yg diharamkan atau semisalnya yg tersebut dalam hadits. Semua yg tersebut itu merupakan zina majazi. Sedangkan alat kelamin membuktikan (membenarkannya) atau mendustakannya, dapat jadi dgn merealisasikan zina dgn alat kelamin atau tak merealisasikannya dgn tak memasukkan alat kelaminnya meski hanya mendekati. Ibnu Abbas memahami tindakan itu semua sebagai dosa kecil sebagai tafsiran atas kata ‘al-lamam’ atau kesalahan kecil. Allah berfirman, ‘Orang yg menjauhi dosa besar dan perbuatan keji selain kesalahan kecil,’ pada surat An-Najm. Kesalahan kecil itu dapat diampuni dgn menjauhi dosa besar,†(Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj, Saudi: Dâr Ibni Affân: 1996 M/1416 H, juz VI, halaman 20)
Apakah pelaku zina majâzi ini dapat dikenai had (pidana)? Tentu dalam hal ini kembali kepada dasar syariah dalam menetapkan ta’zir (sanksi) yaitu dgn menimbang kepada besar kecilnya jenjang kesalahan. Bentuk ta’zir yg paling ringan ialah permintaan taubat sebab tindakan pelecehan visual ialah masuk kategori maksiat. Sementara itu bentuk ta’zir yg lain ialah menjauhinya dari pergaulan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Thabary dalam menjelaskan maksud firman Allah SWT pada QS. Al-Anfaal ayat 25:
وَاتَّقÙوا ÙÙتْنَةً لَّا تÙصÙيبَنَّ الَّذÙينَ ظَلَمÙوا Ù…ÙنكÙمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمÙوا أَنَّ اللَّهَ شَدÙيد٠الْعÙقَابÙ
Artinya: “Takutlah kalian terhadap fitnah yg tiada ditimpakan hanya kepada orang-orang yg zalim dan berada di antara kalian secara khusus saja. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT ialah Dzat Yang Maha Pedih siksaan-Nya.†(QS. Al-Anfâl: 25)
Al-Thabary memberi penafsiran terhadap siapa yg disebut dgn الذين ظلموا di dalam kitabnya Jâmi’u al-Bayan fi ayi Al-Qurân, sebagai berikut:
وهم الذين Ùعلوا ما ليس لهم Ùعله, إما أجْرام أصابوها، وذنوب بينهم وبين الله ركبوها. ÙŠØذرهم جل ثناؤه أن يركبوا له معصية، أو يأتوا مأثمًا يستØقون بذلك منه عقوبة
Artinya: Yaitu orang-orang yg telah melakukan tindakan kepada orang yg bukan seharusnya ia melakukannya. Adakalanya dgn melakukan perbuatan yg melukai (jarîmah) ke pihak tertentu sehingga terjadilah perbuatan dosa di antara dia dan korbannya dan di hadapan Allah SWT atas apa yg dilakukannya. Allah SWT memerintahkan meninggalkan mereka sebab kemaksiatan yg dilakukannya dan membiarkannya pada perbuatan dosa yg dilakukan sehingga mereka berhak menerima siksa dari Allah SWT.†(Ibn Jarir al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân li Ayi al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.: Juz 13, halaman: 474)
Berdasarkan penafsiran ini, maka tindakan menjauhi buat pelaku yg melakukan pelecehan seksual merupakan tindakan yg paling maksimal. Pengucilan/pengisoliran ini dalam konteks sekarang dapat dilakukan melalui pemenjaraan. Namun, seluruhnya harus didasarkan pada pertimbangan dari hakim berdasarkan tingkat kesalahan yg dilakukannya. Wallâhu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus BM Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Uncategorized