Allah SWT mengharamkan perbuatan zina. Di dalam QS. Al-Nûr: 2, Allah SWT berfirman:
Â
الزَّانÙيَة٠وَالزَّانÙÙŠ ÙَاجْلÙدÙوا ÙƒÙلَّ وَاØÙد٠مÙنْهÙمَا Ù…Ùائَةَ جَلْدَة٠ۖ وَلَا تَأْخÙذْكÙمْ بÙÙ‡Ùمَا رَأْÙÙŽØ©ÙŒ ÙÙÙŠ دÙين٠اللَّه٠إÙنْ ÙƒÙنْتÙمْ تÙؤْمÙÙ†Ùونَ بÙاللَّه٠وَالْيَوْم٠الْآخÙر٠ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهÙمَا طَائÙÙÙŽØ©ÙŒ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙؤْمÙÙ†Ùينَ
Artinya: “Perempuan yg berzina dan laki-laki yg berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu (menjalankan) agama Allah bila kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yg berimanâ€. (QS. An-Nur: 2)
Di dalam ayat di atas, Allah SWT sekaligus menyinggung soal had (hukuman) bagi pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan. Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsirnya menyampaikan penjelasan dari ayat tersebut sebagai berikut:Â
يعني هذه الآية الكريمة Ùيها Øكم الزاني ÙÙŠ الØد وللعلماء Ùيه تÙصيل، Ùإن الزاني لا يخلو إما أن يكون بكراً وهو الذي لم يتزوج، أو Ù…Øصنًا وهو الذي وطئ ÙÙŠ Ù†ÙƒØ§Ø ØµØÙŠØ ÙˆÙ‡Ùˆ Øر بالغ عاقل، Ùأما إذا كان بكراً لم يتزوج Ùإن Øده مائة جلدة كما ÙÙŠ الآية، ويزاد على ذلك إما أن يغرب عاماً عن بلده عند جمهور العلماء، خلاÙاً لأبي ØنيÙØ© رØمه اللّه Ùإن عنده أن التغريب إلى رأي الإمام إن شاء غرّب وإن شاء لم يغرب
Artinya: “Ayat yg mulia ini menghendaki penjelasan tentang had pezina, dan para ulama dalam hal ini memiliki perincian. Yang dinamakan pezina, tak mengenyampingkan kondisi yg kadangkala pelakunya ialah perempuan yg masih perawan dan belum menikah, dan adakalanya merupakan orang yg terjaga kehormatannya, yaitu orang yg melakukan pernikahan secara shahih sementara ia ialah seorang yg merdeka, baligh dan berakal. Jika pelaku ialah perempuan yg masih perawan dan belum menikah, maka had baginya ialah 100 kali cambukan sebagaimana bunyi ayat. Had ini ditambah adakalanya dgn cara mengasingkannya selama satu tahun dari negaranya, sebagaimana hal ini ialah kesepakatan jumhur ulama kecuali Imam Abu Hanîfah rahimahu allah. Menurut Abu Hanifah, pandangan perlu diasingkan atau tak ialah mengikut pada pandangan Imam. Jika imam memutus perlu pengasingan maka diasingkan, namun bila diputus tak perlu, maka tak diasingkan.†(Ismâ’îl ibn Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-‘Adhîm, Beirut: Dâr Thayibah, 2002: Juz 6, halaman 10)
Bagaimana bila kedua bunyi teks ayat dan tafsirnya di atas kita bawa ke ranah kekerasan seksual misalnya pemerkosaan? Penting sebelumnya buat diketahui bahwa dalam ranah kekerasan seksual, yg wajib terkena had zina ialah pelaku kekerasan (mukrih) dan bukan korban (mukrah/mustakrah) sebagaimana hal ini diketahui berdasarkan hadits: ليس على المستكرهة Øد (tak had bagi perempuan yg dipaksa/diperkosa).Â
Jika mengikut bunyi teks di atas, maka pihak yg berlaku sebagai mukrih/mustakrih/pemerkosa, dapat dihukum menurut dua jalur perzinaan, tergantung pada kondisi mukrih itu sendiri. Kondisi yg dipertimbangkan, ialah:
1. Pertimbangan status perkawinan. Apakah pelaku merupakan seorang yg telah menikah atau belum
2. Usia pelaku pemerkosaan. Terkait dgn usia pelaku, dalam syariat dikenal dgn hukum taklifi yaitu hukum yg hanya berlaku buat orang yg telah mukallaf. Maksud dari mukallaf ialah mereka yg telah berusia baligh, berakal, dan merdeka sehingga wajib mengikuti ketentuan nash syariat.Â
3. Pertimbangan faktor agama. Dalam hal ini, kadang pelaku dan korban ialah pihak yg memiliki status agama berbeda. Menikahkan pelaku dan korban yg memiliki status agama yg berbeda merupakan kebijakan yg tak dibenarkan oleh syariat.Â
Dilihat dari segi status perkawinan, maka ada dua kategori pelaku, yaitu:
1. mereka dikelompokkan sebagai pezina ghairu muhshan, yakni pelaku belum nikah sama sekali
2. mereka dikelompokkan sebagai pezina muhshan, yakni pelaku merupakan orang yg telah menikahÂ
Pelaku sendiri juga dapat dikelompokkan menurut hubungan familinya, yaitu:Â
1. adakalanya masih ada hubungan famili dgn korban (misalnya: kakak, paman, bapak), danÂ
2. adakalanya merupakan orang lain yg tak ada hubungan famili dgn korban.Â
Terkadang dalam tradisi masyarakat sering dilakukan upaya jalan pintas yaitu menikahkan kedua pelaku dan korban apabila tak ada hubungan famili. Solusi ini kadang berjalan efektif, namun di sisi yg lain juga dapat membawa mudarat bagi korban sebab 1) dapat berakibat pada semakin leluasanya pelaku memperalat korban, 2) apalagi bila antara pelaku dan korban ialah pihak yg berbeda agama/keyakinan, ditambah lagi 3) apabila sebelumnya ada permusuhan antara kedua pelaku dan korban.
Untuk pelaku yg masih ada hubungan famili, tak mungkin diambil cara kekeluargaan melalui jalan menikahkan keduanya sebab pernikahan tersebut bertentangan dgn nash agama. Sementara di sisi yg lain, pihak korban harus menerima keadilan.Â
Had buat pezina ghairu muhshan berdasarkan nash, dapat dikenai hukuman berupa:
1. Dicambuk sebanyak 100 kali
2. Diasingkan (taghrib) selama satu tahun
Adapun buat had pelaku zina muhshan, yg mana pelaku merupakan pihak yg telah pernah menikah, sementara korban ada kemungkinan telah menikah dan ada kalanya juga belum, maka dalam teks nash syariat ditetapkan had bagi pelaku ialah rajam (hukuman mati). Apabila memaksa bahwa penjenjangan hukum harus diberlakukan terhadap kasus pemerkosaan zina muhshan, maka ada beberapa pertimbangan lain buat hukum bagi pelaku zina muhshan ini yg harus diperhatikan, yaitu:Â
1. Tebusan akibat penghilangan keperawanan (arsy al-bikarah), yg mau disampaikan dalam tulisan mendatang
2. Had hukuman yg sebanding dgn hukuman mati (misalnya: penjara seumur hidup)
Kembali ke soal zina ghairu muhshan, khusus buat taghrib (pengasingan), ada dua pandangan hukum dalam syariat. Pertama, menurut jumhur ulama ialah muthlaq perlu pengasingan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, diserahkan keputusannya kepada hakim, apakah hakim perlu melakukan pengasingan atau tak. Jika hakim memandang perlu dilakukan pengasingan, maka pihak pemerkosa diasingkan keluar dari wilayah tempatnya berada. Namun, apabila imam memutuskan tak perlu diasingkan, maka tak dilakukan pengasingan. Sudah pasti dalam hal ini yg dijadikan bahan pertimbangan ialah sisi keadilan. Di satu sisi pihak korban mengalami kerugian psikis dan fisik berupa hilangnya kehormatan yg dapat jadi mau terus membekas terhadap dirinya. Sementara itu, pihak pelaku juga memiliki pertimbangan yg sama, bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.Â
Yang harus menjadi catatan ialah bahwa setiap individu pelaku memiliki hak yg melekat pada dirinya, yaitu: (1) hak buat bertaubat (2) hak buat diterima kembali di masyarakat manakala ia telah selesai menjalani masa hukuman (sanksi). Khusus buat hak yg terakhir ini mau disampaikan dalam tulisan terkait dgn masalah publikasi pelaku pemerkosaan oleh pemerintah. Wallahu a’lam bish shawâb.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus Bahtsul Masail Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Uncategorized