Ketika Imam Abu Hanifah Disuruh Bertakwa oleh Seseorang

Dalam kitab Siyar A’lam al-Nubalâ’, Imam al-Dzahabi mencatat sebuah peristiwa saat Imam Abu Hanifah disuruh bertakwa oleh seseorang. Berikut riwayatnya:

وعن زيد بن كميت سمع رجلا يقول لأبي حنيفة: اتق الله. فانتفض واصفرّ وأطرق. وقال: جزاك الله خيرا, ما أحوج الناس كل وقت إلى من يقول لهم مثل هذا.

Dari Zaid bin Kumait, ia mendengar seseorang berkata kepada (Imam) Abu Hanifah: “Bertakwalah kepada Allah.”

(Mendengar itu), (Imam Abu Hanifah) gemetar, (wajahnya) pucat pasi, dan (kepalanya) menunduk. Kemudian ia berkata: 

“Semoga Allah membalasmu dgn kebaikan. Betapa manusia sangat membutuhkan seseorang yg berkata seperti ini kepada mereka setiap saat” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1982, juz 6, h. 400).

****

Imam Abu Hanifah bukan orang sembarangan. Ia seorang ulama besar. Keilmuan dan akhlaknya begitu termasyhur. Menghabiskan hampir seluruh usianya buat belajar dan mengajar. Meski demikian, peristiwa dalam kisah di atas masih dapat terjadi, bahkan pada ulama besar seperti Imam Abu Hanifah. Mari kita urai perlahan-lahan.

Daya tarik utama kisah di atas ialah respon Imam Abu Hanifah terhadap ucapan tersebut. Ketika mendengar kalimat, “bertakwalah kepada Allah”, sekujur tubuhnya terpengaruh. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, dan pandangannya menunduk. Menariknya, semua itu terjadi bukan sebab amarah dan ketersinggungan, tapi sebab ia benar-benar merasakannya, atau lebih tepatnya, ia benar-benar menganggap ucapan tersebut sebagai nasihat.

Respons semacam inilah yg perlu kita teladani. Sebab, tak jarang dari kita, mau tersinggung dan marah saat di hadapkan pada situasi semacam ini. Padahal, bila kita berpikir jernih, amarah dan ketersinggungan ialah bentuk kesombongan diri sekaligus self-proclaimed (proklamasi diri) bahwa kita telah benar dan bertakwa. Seakan-akan kita mengatakan, “kami tak butuh wasiat takwamu, sebab kami telah banyak amal dan bertakwa.”

 

Baca juga: Kisah Imam Abu Hanifah dan Tetangga yg Menjengkelkan

 

Memang, ada kalanya nasihat yg datang dgn kasar, atau berasal dari sudut pandang penghakiman, meninggalkan luka bagi yg mendengar. Tentu, dalam batas tertentu, itu hal yg wajar. Namun, alangkah baiknya bila kita mulai berpikir jernih dalam menanggapinya, apalagi bila yg disampaikan ialah wasiat takwa. Dalam hal ini, kisah di atas menjadi penting buat dipelajari.

Kita tahu, Imam Abu Hanifah ialah ulama besar yg tak perlu diragukan keilmuannya. Ia ialah pendiri mazhab hanafi, salah satu dari empat mazhab fiqih yg paling masyhur. Menurut banyak riwayat, Imam Abu Hanifah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak tujuh ribu kali, dan hampir tak pernah tidur malam sebab sibuk beribadah. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, juz 6, h. 399-401). 

Meski demikian, ia masih merasa tak cukup bertakwa, dan menerima ucapan orang tersebut dgn rasa syukur yg tinggi. Ia berkata: “Semoga Allah membalasmu dgn kebaikan. Betapa manusia sangat membutuhkan seseorang yg berkata seperti ini kepada mereka setiap saat.” 

Imam Abu Hanifah menekankan bahwa manusia sangat membutuhkan seseorang yg dapat berkata seperti itu. Salah satu tujuannya, mungkin, supaya manusia tak terjebak dalam kesombongan seperti Iblis. Kesombongan yg melahirkan hasud, dan tak terima bila ada yg lebih baik darinya. Dalam kasus Iblis ialah Nabi Adam. Bisa jadi, apa yg menimpa Iblis sebab dia tak pernah mengalami kejadian yg dialami Imam Abu Hanifah. Saling menasihati sesama makhluk.

Penting bagi kita buat meneladani Imam Abu Hanifah. Dengan menganggap semua yg datang ialah masukan dan nasihat, meskipun datang dgn kasar. Ketika hardikan datang, misalnya, “dasar orang munafik”, kita harus akui bahwa di setiap diri manusia ada kemunafikan. Tak terkecuali dgn diri kita. Maka, kita perlu meraba diri kita buat menemukannya, dan berusaha memperbaikinya. 

Begitu pun bila ada nasihat, “bertaubatlah, wahai pendosa.” Tentu, kita juga tak dapat pungkiri ada dosa di diri kita, dan di diri siapa pun dari kita, kecuali para nabi. Karena itu, ketimbang disibukkan dgn amarah, lebih baik kita mengikuti jejak Imam Abu Hanifah, yg ketika mendengar sesuatu, ia selalu mencari dan melihat ke dalam dirinya terlebih dahulu, sebelum mencari dan melihat ke diri orang selainnya.

Dengan demikian, cara pandang kita terhadap kebaikan harus jernih. Fokusnya hanya pada isi atau kebaikan itu tersendiri. Jangan biarkan amarah mengintervensi; jangan biarkan ketersinggungan mengganggu. Cukup fokus pada kebenarannya saja, seperti yg dilakukan Imam Abu Hanifah. Misal pun ia menerima ucapan, “bertakwalah kepada Allah”, dgn kasar, ia tetap mau gemetar dan menunduk, serta berterima kasih kepada yg mengucapkannya. Karena ia melihat pada sisi “kebenaran” dari ucapan tersebut.

Namun, alangkah baiknya bila sebuah nasihat disampaikan dgn cara yg “ma’ruf”, sebab tak banyak orang yg dapat seperti Imam Abu Hanifah. Lagi pula, nasihat yg disampaikan dgn cara baik pun terkadang tak meninggalkan pengaruh berarti, apalagi yg disampaikan dgn kasar. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.

Wallahu a’lam bish-shawwab….
 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.