Khutbah I
Â
Ùَقَدْ قَالَ الله٠تَعَالىَ ÙÙÙŠ ÙƒÙØªÙŽØ§Ø¨Ùه٠الْكَرÙيْمÙ: Ø¥Ùنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. ÙÙŽØµÙŽÙ„Ù‘Ù Ù„ÙØ±ÙŽØ¨Ù‘ÙÙƒÙŽ وَانْØÙŽØ±Ù’. Ø¥Ùنَّ Ø´ÙŽØ§Ù†ÙØ¦ÙŽÙƒÙŽ Ù‡ÙÙˆÙŽ الْأَبْتَرÙ
Â
Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yg kita peringati tiap tahun tak dapat terlepas dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya telah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil. Diceritakan bahwa kurban yg diterima ialah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yg Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.
Â
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yg dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Kendati sejarah kurban telah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim buat menyembelih anak kesaygannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yg ia idam-idamkan bertahun-tahun sebab istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat ash-Shaffat dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa:
Â
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yg termasuk orang-orang yg shalih.â€
Allah lalu memberi kabar gembira dgn anugerah kelahiran seorang anak yg amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji dgn sebuah mimpi. Ia berkata, “Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yg meminta aku buat menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?” Anak yg saleh itu menjawab, “Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu mau dapati aku termasuk orang-orang yg sabar.”
Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dgn posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,
Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya:
Â
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yg nyata. Dan Kami tebus anak itu dgn seekor sembelihan yg besar. Kami abadikan buat Ibrahim itu (pujian yg baik) di kalangan orang-orang yg datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yg berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yg beriman.â€
Hadirin,
Ibadah kurban tahunan yg umat Islam laksanakan ialah bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setaknya ada tiga pesan yg dapat kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.
Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yg mendapat julukan “khalilullah†(kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dgn kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.
Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya buat tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri.
Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dgn memohon pendapatnya terlebih dahulu, dgn tutur kata yg halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yg ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.
Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,
Pelajaran kedua ialah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan buat jangan menganggap mahal sesuatu bila itu buat mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau buat tak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dgn domba besar ialah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yg berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—ialah hal yg diharamkan.
Manusia dgn manusia lain sesungguhnya ialah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yg diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan sebabnya mesti dijamin hak-haknya.
Pelajaran yg ketiga yg dapat kita ambil ialah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yg sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.
Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Baygkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dgn kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, buat mengantre dalam sebuah loket pejualan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih†ego kebinatangan kita, buat menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, sebab esensi kurban ialah solidaritas sesama dan ketulusan murni buat mengharap keridhaan Allah. Wallahu a’lam.Â
Â
Â
اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَر٠اَلله٠أَكْبَرÙÂ
اَلْØÙŽÙ…ْد٠لله٠عَلىَ Ø¥ÙØÙ’Ø³ÙŽØ§Ù†Ùه٠وَالشّÙكْر٠لَه٠عَلىَ تَوْÙÙيْقÙه٠وَاÙمْتÙنَانÙÙ‡Ù. وَأَشْهَد٠أَنْ لاَ اÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ Ø¥Ùلاَّ الله٠وَالله٠وَØÙ’دَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠وَأَشْهَد٠أنَّ Ø³ÙŽÙŠÙ‘ÙØ¯ÙŽÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù‹Ø§ عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الدَّاعÙÙ‰ إلىَ Ø±ÙØ¶Ù’وَانÙÙ‡Ù. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙ‘ÙØ¯Ùنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ÙˆÙØ¹ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ اَلÙه٠وَاَصْØÙŽØ§Ø¨Ùه٠وَسَلّÙمْ تَسْلÙيْمًا ÙƒÙØ«ÙŠÙ’رًا
أَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙŽØ§Ø³Ù Ø§ÙØªÙ‘ÙŽÙ‚Ùوااللهَ ÙÙيْمَا أَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكÙمْ Ø¨ÙØ£ÙŽÙ…ْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙØ¯Ù’سÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى Ø¥Ùنَّ اللهَ وَمَلآئÙÙƒÙŽØªÙŽÙ‡Ù ÙŠÙØµÙŽÙ„Ù‘Ùوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙ‘ÙØ¯Ùنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ØµÙŽÙ„Ù‘ÙŽÙ‰ الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى Ø¢Ù„Ù Ø³ÙŽÙŠÙ‘ÙØ¯Ùناَ Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ÙˆÙŽØ¹ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ ÙˆÙŽØ±ÙØ³ÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙÙŽØ§Ø¡Ù Ø§Ù„Ø±Ù‘ÙŽØ§Ø´ÙØ¯Ùيْنَ أَبÙÙ‰ بَكْر٠وَعÙمَر ÙˆÙŽØ¹ÙØ«Ù’مَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØÙŽØ§Ø¨ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ØªÙ‘ÙŽØ§Ø¨ÙØ¹Ùيْنَ ÙˆÙŽØªÙŽØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠ Ø§Ù„ØªÙ‘ÙŽØ§Ø¨ÙØ¹Ùيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ Ø¨ÙØ§ÙØÙ’سَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ Ø¨ÙØ±ÙŽØÙ’Ù…ÙŽØªÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙØ±Ù’ Ù„ÙÙ„Ù’Ù…ÙØ¤Ù’Ù…ÙÙ†Ùيْنَ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØ¤Ù’Ù…ÙÙ†ÙŽØ§ØªÙ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØ³Ù’Ù„Ùمَات٠اَلاَØÙ’يآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ Ø£ÙŽØ¹ÙØ²Ù‘ÙŽ Ø§Ù’Ù„Ø¥ÙØ³Ù’لاَمَ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùيْنَ وَأَذÙلَّ Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙØ±Ù’ÙƒÙŽ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØ´Ù’رÙÙƒÙيْنَ ÙˆÙŽØ§Ù†Ù’ØµÙØ±Ù’ Ø¹ÙØ¨ÙŽØ§Ø¯ÙŽÙƒÙŽ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙˆÙŽØÙ‘ÙØ¯Ùيَّةَ ÙˆÙŽØ§Ù†Ù’ØµÙØ±Ù’ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ Ø¯ÙŽÙ…Ù‘ÙØ±Ù’ أَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙØªÙ’Ù†ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ù…ÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً ÙˆÙŽØ³ÙŽØ§Ø¦ÙØ±Ù اْلبÙÙ„Ù’Ø¯ÙŽØ§Ù†Ù Ø§Ù’Ù„Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا ØÙŽØ³ÙŽÙ†ÙŽØ©Ù‹ ÙˆÙŽÙÙÙ‰ Ø§Ù’Ù„Ø¢Ø®ÙØ±ÙŽØ©Ù ØÙŽØ³ÙŽÙ†ÙŽØ©Ù‹ ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙØ³ÙŽÙ†ÙŽØ§ÙˆÙŽØ§Ùنْ لَمْ تَغْÙÙØ±Ù’ لَنَا وَتَرْØÙŽÙ…ْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ Ø§Ù’Ù„Ø®ÙŽØ§Ø³ÙØ±Ùيْنَ. Ø¹ÙØ¨ÙŽØ§Ø¯ÙŽØ§Ù„له٠! Ø¥Ùنَّ اللهَ ÙŠÙŽØ£Ù’Ù…ÙØ±Ùنَا Ø¨ÙØ§Ù’Ù„Ø¹ÙŽØ¯Ù’Ù„Ù ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ø¥ÙØÙ’Ø³ÙŽØ§Ù†Ù ÙˆÙŽØ¥Ùيْتآء٠ذÙÙŠ Ø§Ù’Ù„Ù‚ÙØ±Ù’بىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØÙ’شآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي ÙŠÙŽØ¹ÙØ¸ÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ùوا اللهَ اْلعَظÙيْمَ ÙŠÙŽØ°Ù’ÙƒÙØ±Ù’ÙƒÙمْ ÙˆÙŽØ§Ø´Ù’ÙƒÙØ±Ùوْه٠عَلىَ Ù†ÙØ¹ÙŽÙ…ÙÙ‡Ù ÙŠÙŽØ²ÙØ¯Ù’ÙƒÙمْ وَلَذÙكْر٠الله٠أَكْبَرْ
Alif Budi Luhur
Â
Â
Â