Kisah Imam Abu Hanifah & Tetangga yg Menjengkelkan

Dikisahkan, Imam Abu Hanifah memiliki seorang tetangga yg sering mengganggu dan menyakitinya. Hampir tiap hari, si tetangga kerap menyombongkan diri, berteriak keras, dan memukuli tiang rumah Imam Abu Hanifah. Tak jarang saat sang imam sedang duduk bersama murid-muridnya, dan hendak mengawali pembicaraan, si tetangga datang mengetuk-ngetuk tiang majelisnya, kemudian mendendangkan beberapa bait syair. Dalam syairnya, si tetangga mengaku telah dibiarkan dan ditelantarkan oleh orang-orang. Petikan syairnya mengatakan:

 

Mereka telah sia-siakan aku,

Padahal pemuda mana yg mereka abaikan?

Aku tentara berkuda kaumku

Mereka tak tahu kehormatanku

 

Kebanyakan orang mungkin mau merasa terganggu dgn ulah orang seperti tetangga Imam Abu Hanifah. Itu pula yg terjadi pada murid-muridnya. Namun, tak demikian halnya dgn sang imam sendiri. Saat mereka mengatakan, “Wahai Imam, sampaikanlah pada tetanggamu supaya berhenti mengganggu kami,” beliau menjawab dgn tenang, “Dia itu tetanggaku. Aku sama sekali tak terganggu olehnya.”

 

Pada suatu malam, Imam Abu Hanifah mengajar murid-muridnya. Namun, saat itu mereka tak lagi mendengar suara gaduh dari tetangga yg biasa mengganggunya. Tak lama kemudian, sang imam bertanya kepada murid-muridnya, “Di manakah kawanku yg selalu melantunkan syair:

 

Mereka telah sia-siakan aku,

Padahal pemuda mana yg mereka abaikan?

Aku tentara berkuda kaumku

Mereka tak tahu kehormatanku

 

Murid-muridnnya tak langsung menjawab. Mereka malah saling menoleh satu sama lain sambil tertawa. Imam Abu Hanifah bertanya, “Mengapa kalian tertawa?” Mereka menjawab, “Allah telah membebaskanmu dari keburukan tetanggamu itu.” Sang imam bertanya, “Memangnya apa yg telah menimpa tetanggaku itu?” Muridnya menjawab, “Dia telah ditangkap oleh pihak keamanan dan dijebloskan ke penjara.” Imam Abu Hanifah menjawab, “Aku wajib” Pada saat itu pula, sang imam bangkit. Ditanya oleh murid-muridnnya, “Wajib apa, wahai Imam?” Beliau menjawab, “Wajib memberikan pertolongan.”

 

Saat itu pula, sang imam berangkat, padahal waktu telah cukup malam. Beliau mengetuk pintu Khalifah yg ada di Baghdad. “Siapa yg di pintu?” tanya salah seseorang dari dalam rumah. “Aku an-Nu‘man Abu Hanifah.” Terdengar lagi jawaban dari dalam, “Abu Hanifah!! Benarkah? Sebab Abu Hanifah tak datang kepada Khalifah kecuali bila diminta atau diundang.” Akhirnya pintu dibuka. Dan ternyata benar, di depan pintu telah berdiri Imam Abu Hanifah. “Selamat datang, Tuan,” kata penjaga rumah Khalifah. “Aku mau bertemu Khalifah,” ucap sang imam. “Khalifah telah masuk ke kamar istrinya. Aku tak tahu apakah beliau telah tidur atau belum,” jawab si penjaga. “Coba lihat dan tanyakan padanya,” desak Imam Abu Hanifah.

 

Baca: 12 Adab Bertetangga menurut Imam Al-Ghazali

 

Kemudian, si penjaga mengetuk pintu Khalifah. Khalifah pun terkejut dan bertanya, “Siapa di sana?” Dijawab oleh si penjaga, “Ada tuan kita Imam Abu Hanifah.” Dijawab oleh Khalifah, “Apakah engkau telah tak sehat? Sebab Abu Hanifah biasanya tak datang kepada kami kecuali di siang hari. Mengapa sekarang datang di malam hari? Selain itu, dia juga tak biasa datang kecuali diminta oleh kami.” Dijawab lagi oleh si penjaga, “Sekarang dia telah berada di sini.”

 

Akhirnya, Sang Khalifah mengenakan pakaian seperlunya lalu keluar. “Ada apa, wahai Imam?” tanya Sang Khalifah. Abu Hanifah lantas menceritakan maksud kedatangannya. “Aku punya seorang tetangga. Namun, ditangkap oleh aparat kemanan. Walau dia seorang yg kurang baik, namun aku bertanggung jawab kepadanya. Seandainya dapat ditebus maka aku mau menebusnya. Maka bebaskanlah dia.” Sang Khalifah bertanya, “Apakah hanya buat tujuan itu engkau datang ke sini jam segini?” jawab Abu Hanifah, “Benar, dia tetanggaku, wahai Amirul Mukminin.”

 

Khalifah pun menyggupi. “Esok hari, engkau datang lagi. Insya Allah, kami mau memberikan keputusan sesuai dgn permintaanmu.” Namun Abu Hanifah menolak, “Bagaimana bila malam ini, hai Amirul Mukminin?” Khalifah menjawab, “Kau mau malam ini, Tuan Abu Hanifah.” Pada saat itu pula, Khalifah meminta pembantunya buat membangunkan penjaga penjara guna mengeluarkan tetangga Abu Hanifah tadi. Sambil menunggu tetangganya dibebaskan, Abu Hanifah berdiri di depan penjara. Begitu keluar, lelaki itu pun disambutnya. Akhirnya, sang imam berhasil pulang membawa laki-laki yg biasa mengganggunya. Di perjalanan, sang imam mendendangkan syair yg biasa dilantunkan tetangganya itu.

 

Spontan si tetangga menjawab, “Sekarang tak seorang pun menyia-nyiakanku. Justru aku yg telah menyia-nyiakan diriku, wahai Imam. Aku bersaksi bahwa aku mau bertobat.”

 

Sejak itu, dia berguru kepada Imam Abu Hanifah. Demikian kisah kebesaran hati Imam Abu Hanifah terhadap tetangganya, walaupun tetangganya kerap mengganggu dan berbuat onar. (Lihat: al-Habib ‘Ali al-Jufri, Ayyuhal Murîd, hal. 191). Wallahu a’lam.

 

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor : Mahbib





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.