Kisah Kiai Mahmud Ihsan & Kitab Kuning ‘Gondrong’

Kisah hikmah ini ialah kelanjutan dari kisah sebelumnya tentang Mbah Kiai Mahmud (Allahyarham). Masih dgn sumber yg sama, yaitu Pak Tauhid. Walaupun obrolan saya dan Pak Tauhid tak panjang, tapi cukup banyak kisah yg disampaikan Pak Tauhid kepada saya. Dan bagi saya, kisah Mbah Kiai Mahmud merupakan cucuran hikmah luar biasa, khususnya pelajaran tentang hidup dan kehidupan.

(Baca: Kiai Mahmud Ihsan dan Penghormatan Terhadap Tamu)

Sebagai santri yg dekat dgn Mbah Kiai Mahmud, Pak Tauhid cukup banyak tahu kebiasaan Mbah Kiai Mahmud. Salah satu kebiasaan Mbah Kiai Mahmud ialah menuliskan makna Arab pegon di setiap kitab kuningnya. Kata Pak Tauhid, setiap Mbah Kiai Mahmud memberikan arti di kitab-kitabnya tak ada satu pun makna yg terlewatkan. Beliau dgn teliti dan tekun menuliskannya.

Menurut Pak Tauhid, kebiasaan itu dilakukan telah dari dulu, semenjak Mbah Kiai Mahmud masih mesantren. Artinya, kebiasaan Mbah Kiai Mahmud menandakan bagaimana keseriusan Mbah Kiai Mahmud dalam belajar. Semua kitab kuning Mbah Kiai Mahmud dipenuhi makna Arab pegon yg beliau tulis sendiri, ada catatan refrensi tambahan, dan ada coretan-coretan penting. Ini semua dilakukan sebab Mbah Kiai Mahmud mempunyai prinsip belajar, “padange kitab dadekno petenge ati, petenge kitab dadekno padange ati.”—(terangnya kitab menjadikan gelapnya hati, gelapnya kitab menjadikan terangnya hati).

“Padange kitab” maksudnya—kitab itu sama sekali tak ada makna, tak ada catatan refrensi tambahan dan tak ada coretan-coretan penting. Sedangkan “gelapnya kitab”maksudnya—kitab itu penuh dgn catatan-catatan dan makna-makna Arab pegon, tak kosong. Mbah Kiai Mahmud meyakini, ketika kitab itu kosong tanpa ada tulisan apa pun menandakan kegelapan hati, namun ketika kitab itu penuh dgn makna dancatatan-catatanpenting menandakan hati yg bercahaya. 

Bagi saya, sangat logis—proses belajar dgn cara tersebut mau lebih mengena, sebab dilakukan dgn teliti, tak hanya asal lewat setelah itu lupa. Mbah Kiai Mahmud sangat teliti dan sungguh-sungguh, beliau serap maknanya satu per satu, dari kata per kata, kalimat per kalimat, dan paragraf per paragraf, sekaligus tautan ilmu per ilmunya dan ide per idenya.

Dugaan saya, dalam proses belajar, Mbah Kiai Mahmud tak hanya menimba pengetahuan semata, beliau sedang berusaha, supaya apa yg beliau pelajari tak hanya ilmu-ilmu tok, melainkan sebagai jalan beliau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan cara tersebut, tertutuplah pintu-pintu kesombongan. Beliau tak gengsi apalagi takut dianggap tak mampu membaca kitab kuning dgn baik, sebab kitabnya “gondrong” (penuh catatan terjemahan; tak gundul, red), Mbah Kiai Mahmud membuang jauh-jauh sesuatu yg dapat melahirkan kesombongan. 

Mbah Kiai Mahmud meyakini, melalui proses belajar seperti itu, maka cahaya Ilahi mau masuk ke dalam hati. Beliau melakukan itu semua sebagai cara beliau dalam belajar, sangat mudah bagi beliau tak melakukan itu. Namun, prinsip beliau telah paten—dgn kebiasaan tersebut, Mbah Kiai Mahmud merasa lebih dekat dgn Sang Pencipta.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu yg biasanya ditujukan buat mencari keridhoan Allah, tiba-tiba ia tak mempelajarinya, kecuali hanya buat mendapatkan harta benda keduniaan, maka ia tak mau memperoleh bau harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud). “Janganlah kalian menuntut ilmu buat membanggakannya terhadap para ulama dan buat diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya…..” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Teladan yg dapat kita ambil dari kebiasaan Mbah Kiai Mahmud ialah kesungguhan beliau dalam belajar dan ketelitian beliau sekaligus kesabaran beliau. Bukanlah aktifitas yg mudah memaknai seluruh isi kitab tanpa tertinggal satu kata pun. Bagi kita yg pernah singgah di pesantren, memaknai kitab butuh kehati-hatian dan kesabaran. Apalagi kitab yg dimaknai tak satu atau dua kitab saja, melainkan banyak kitab dgn berbagai macam ketebalannya.

Kisah ini dapat dijadikan panutan buat kita semua, apalagi di era yg serba instan seperti sekarang, kebanyakan dari kita tak mau repot dalam belajar, kita telah terbius oleh pesona ‘alam maya’ yg siap menyuguhkan berbagai macam pengetahuan. Namun, yg harus disadari, tak sedikit “jebakan” di dalamnya. Tanpa guru dan tanpa usaha sungguh-sungguh dalam belajar—sepertinya kita susah buat mencapai taraf yg lebih tinggi, dari hanya sekadar “pintar”.

Para ulama dan kiai, khususnya Mbah Kiai Mahmud Ihsan menjadi alim bukan terjadi begitu saja, melainkan melalui proses panjang, selalu membaca, menyimak, memberi makna dan memberi catatan isi kitab. Kealiman beliau membawa berkah, pada saat beliau mengasuh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab (Pondok Tengah), Kamulan, Tranggelek—Allah SWT mengamanati beliau santri dgn jumlah ribuan. Dan Mbah Kiai Mahmud mengurusi itu semua dgn telaten.

Hebatnya, kata Pak Tauhid, kebiasaan Mbah Kiai Mahmud itu tak surut sampai beliau sepuh. Beliau berpedoman, proses belajar sampai kapan pun tak mau pernah ada ujungnya, kualitas hidup manusia terus meningkat dari setiap fasenya, sebab usia manusia terus bertambah. Sabda Rasulullah, “Belajar/menuntut ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”

Untuk generasi milenial, para santri, dan siapa saja yg mau berproses kreatif dan sukses dalam belajar, tirulah Mbah Kiai Mahmud, insya Allah—Allah mau memberikan kenikmatan belajar luar biasa kepada kita. Sedikit mengutip Gus Mus, “Jangan berhenti belajar!” Telah jelas, buat mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat harus dgn ilmu, berarti harus belajar.

Dari kisah ini, saya pun mulai mencoba memberikan banyak catatan kepada buku-buku yg saya baca, ternyata benar—lebih mengena, tak gampang lupa, dan ada proses kreatif. Setaknya, bilalau kita lupa, catatan berupa makna dan refrensi tambahan dapat dijadikan sebagai pengingat. Yang pasti, sangat mujarab buat diamalkan. Hadiah Fatihah buat Mbah Kiai M. Mahmud Ihsan, Al-fatihah.

Aswab Mahasin, tinggal di Yogyakarta dan pembaca setia NU Online





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.