Makna Hijrah & Pisah Ranjang dalam Tafsir Surat An-Nisa

Allah SWT berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya, “Laki-laki itu pelindung bagi perempuan (istri) sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yg lain (perempuan), dan sebab mereka telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yg salehah ialah mereka yg taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tak ada, sebab Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yg kamu khawatirkan mau nusyuz hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi bila mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan buat menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar,” (Surat An-Nisa ayat 34).

Menurut Al-Qurthuby, di dalam ayat ini tersimpan 11 masalah. Dalam tulisan ini, penulis hanya mau menyabilan salah satu dari 11 masalah itu. Lafal الرجال قوامون على النساء merupakan jumlah ismiyah yg terdiri atas mubtada’ dan khabar. Dilihat dari sudut pandang ilmu kaidah tafsir, jumlah ini berfaedah menunjuk makna tsubut (keteguhan) dan istimrar (terus menerus).

الجملة اسمية Ú¾ÙŠ ما تركبت من مبتدأ وخبر، ÙˆÚ¾ÙŠ تفيد بأصل وضعھا ثبوت شيئ لشيئ ليس غير – بدون نظر إلى تجدد Ùˆ, استمرار – نحو ارض متحركة – فيستفاد منھا سوى ثبوت الحركة للأرض، بدون نظر إلى تجدد ذلك Ùˆ, حدوثه

Artinya, “Jumlah ismiyah ialah jumlah yg tersusun atas mubtada’ dan khabar. Faedah susunannya ialah menunjukkan makna tsubut (teguh) suatu hal buat sesuatu yg lain, sehingga tak ada peluang buat berpaling ke obyek lain, dgn tanpa perlu berpikir ulang. Jumlah ini juga berfaedah menunjukkan makna keteguhan yg terus menerus. Contoh, “Bumi berguncang (الأرض متحركة)”. Dengan susunan ini, diperoleh faedah menyampingkan adanya guncangan pada benda lain selain dari bumi (yg menjadi fokus pembicaraan) tanpa perlu berfikir lagi kepada hal lain yg baru dan bagaimana terjadinya,” (Al-Masih,  Mu’jamu Qawa’idil Lughah Al-‘Arabiyyah, [Libanon, Maktabah Lubnan: 1981], halaman 181).

Jumlah ini mengisyaratkan sebuah faedah yg menyimpan makna hierarki hubungan antara dua insan yg berbeda jenis dalam lingkup rumah tangga.

Diksi قوام merupakan kata benda dgn shighat mubalaghah yg menunjukkan makna penguatan/penekanan terhadap aktivitas melindungi. Bentuk shighat tashghir-nya (tanpa penguatan/penekanan) ialah lafal قيم. Kurang lebihnya, perbedaan kalimat قوام dgn قيم ialah sama pengertiannya dgn dua kalimat berikut, yaitu فعيل  (bersifat pelaku) dgn فَعَّالٌ (orang yg bersifat terampil sekali dalam menjadi pelaku). عليم ialah orang yg memiliki karakter berilmu.

 

Namun, makna mau berbeda mana kala memakai shighat علامة, yg memiliki pengertian orang yg memiliki karakter sangat ‘alim. Jadi, penggunaan shighat mubalaghah pada diksi قوامون dalam ayat di atas, Allah SWT seolah hendak menyampaikan bahwa posisi seorang laki-laki (dalam lingkup rumah tangga) ialah merupakan sosok yg sangat ditekankan perannya dalam melindungi istrinya.

Ada dua penyebab yg menjadikan peran perlindungan ini diamanahkan kepada laki-laki (suami), yaitu:

1.    يقومون بالنفقة عليهن والذب عنهن = disebabkan sebab nafaqah yg diberikan pada istrinya dan perlindungannya.

2.    فإن فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو ، وليس ذلك في النساء = sebab posisi hakim, pemimpin, dan berperang ialah kewajiban laki-laki serta bukan kewajiban seorang perempuan.

Al-Qurthuby berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan tentang: ووجه النظم أنهن تكلمن في تفضيل الرجال على النساء في الإرث (Arah dari susunan ayat ini sesungguhnya ialah berbicara tentang keutamaan laki-laki atas seorang perempuan dalam urusan mawarits). Disebutkan lebih jauh oleh Al-Qurthuby bahwa keutamaan tersebut disebabkan sebab kewajiban memberikan mahar dan nafaqah dalam keluarga ialah pihak laki-laki.

Dalam satu riwayat disebutkan: إن الرجال لهم فضيلة في زيادة العقل والتدبير ؛ فجعل لهم حق القيام عليهن لذلك (Laki-laki memiliki keutamaan pada panjangnya akal dan kelebihan dalam mengatur. Oleh sebab itu diberikan amanah bagi mereka hak buat memberi perlindungan kepada kaum hawa)

Masih dalam riwayat yg lain disebutkan bahwa:

للرجال زيادة قوة في النفس والطبع ما ليس للنساء ؛ لأن طبع الرجال غلب عليه الحرارة واليبوسة ، فيكون فيه قوة وشدة ، وطبع النساء غلب عليه الرطوبة والبرودة ، فيكون فيه معنى اللين والضعف ؛ فجعل لهم حق القيام عليهن بذلك 

Artinya: “Seorang laki memiliki kelebihan berupa kekuatan yg terdapat dalam diri dan watak, yg mana hal ini tak dimiliki seorang perempuan. Watak kaum laki-laki ialah berani menghadapi situasi panas dan kering. Situasi seperti ini membutuhkan sosok dgn kepribadian yg kuat dan keras. Sementara itu kaum hawa memiliki watak berani menghadapi situasi yg basah dan dmau. Dengan demikian gambaran watak pribadinya ialah sosok yg bepengertian lemas dan lemah. Karena alasan-alasan inilah maka dijadikan hak bagi laki-laki buat melindungi kaum hawa.”

Dasar dari penafsiran terakhir ini berangkat dari penggalan ayat: وبما أنفقوا (dan sebab apa yg mereka nafkahkan).

Di lihat dari sisi riwayat tafsir, ada banyak sebab turunnya ayat ini. Banyaknya sebab ini menunjukkan bahwa ayat ini pernah turun berulang (takrar). Salah satu sebab turunnya ayat ini ialah meneguhkan putusan hukum yg berlaku atas kasus Sa’ad ibnur Rabi’. Suatu ketika istrinya melakukan tindakan nusyuz (membangkang). Lalu Sa’ad memukul istrinya tersebut, yaitu Habibah binti Zaid ibn Kharijah ibn Zuhair. Lalu bapak dari Habibah ini tak terima. Akhirnya ia melaporkan ke Rasulullah SAW:

يا رسول الله ، أفرشته كريمتي فلطمها

Artinya: “Wahai Rasulullah, Aku hendak mengadukan kasus anakku tercinta yg dipukul suaminya.”

Rasulullah SAW menjawab:

 

لتقتص من زوجها

Artinya: “Baginya hak qishash berlaku atas suaminya.”

Lalu bapak dan anak ini berangkat buat menuntut qishash terhadap Sa’ad ibnur Rabi’. Setelah kepergiannya, tiba-tiba Jibril datang kepada Rasulullah SAW menyampaikan ayat ini. Selanjutnya Rasulullah menyampaikan kepada para sahabat supaya mendatangkan lagi bapak dan si anak tersebut.

 

ارجعوا هذا جبريل أتاني فأنزل الله هذه الآية

 

Artinya: “Tolong kembalikan mereka berdua! Jibril telah datang kepadaku dgn membawa wahyu dari Allah.”

Selanjutnya beliau Rasulullah SAW bersabda:

 

أردنا أمرا وأراد الله غيره

 

Artinya: “Aku menghendaki putusan perkara tersebut (sebagaimana telah aku sampaikan). namun ternyata Allah SWT menghendaki putusan lain.”

Hadits riwayat tafsir ini disampaikan oleh Al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya disertai beberapa syawahid (bukti riwayat dari jalur berbeda). Dengan demikian, kedudukan riwayat tafsir ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum.

Adapun berkaitan dgn lafal فاهجروهن في المضاجع, khusus buat lafal في المضاجع ada riwayat qiraah yg lain dari Ibnu Mas’ud dan An-Nakhai serta beberapa imam lain yg tak dapat disebutkan satu per satu, mereka condong kepada membaca dgn qiraah في المضجع (fil madlja’i) yg artinya di tempat pembaringan. Kalimat ini merupakan bentuk singular dari kalimat في المضاجع yg merupakan shighat muntahal jumu’ (shighat puncak isim jama’). Dengan demikian, pembaringan yg dimaksud dalam shighat muntaha al-jumu’ dalam ayat di atas ialah semua bentuk pembaringan, dan di manapun tempat ia berada.

Adapun lafal Al-Hajr di dalam ayat tersebut memiliki beberapa arti oleh kalangan mufassir, antara lain sebagai berikut:

1.    Menurut Ibnu Abbas :

 

والهجر في المضاجع هو أن يضاجعها ويوليها ظهره ولا يجامعها

Artinya: Makna الهجر في المضاجع ialah bila tetap menemaninya tidur mau tetapi dgn memalingkan punggung serta tak menjimaknya.”

2.    Menurut Ibnu Mujahid:

جنبوا مضاجعهن

Artinya: “Jauhi pembaringan-pembaringannya!” 

3.    Menurut Ibrahim An-Nakhai, Al-Sya’by, Qatadah, dan Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Wahbin, Ibnu Qasim, Imam Malik dan Ibnul Araby:

ويعضده اهجروهن من الهجران ، وهو البعد

 

Artinya: “Menekankan memisahi dgn sebenar-benar pisah, atau menjauh”. 

Jika kita memakai pendapat terakhir ini, memisahinya suami-istri, ketika si istri ditemukan indikasi adanya pembangkangan ialah dgn sebenar-benarnya menjauhi ranjang sang istri selama beberapa waktu sehingga tak terjadi jima’. Lain halnya dgn pendapat Ibnu Abbas, beliau masih mentolerir buat tinggal satu ranjang, namun dgn posisi tidur saling membelakangi. Pendapat Ibnu Mujahid kiranya agak lebih moderat, namun memiliki kaitan erat dgn pendapat terakhir. 

1.    Hak bagi suami menjauhi istri ketika ditemukan adanya gelagat pembangkangan ini disebabkan beban yg ditanggungnya. Ibnu Araby menegaskan:

 

حملوا الأمر على الأكثر الموفي

Artinya: “Mereka menanggung perintah yg mayoritas harus dilaksanakan.”

Walhasil, ayat di atas seolah memberikan penekanan bahwa:

1.    Suami merupakan yg mendapatkan beban taklif melindungi istrinya. Beban taklif ini sangat dikuatkan berdasarkan teks nash syariat.

2.    Ada hak bagi suami yg dibenarkan oleh syariat dalam tata cara mendidik istrinya ketika terjadi nusyuz, yaitu:

•    Dibenarkan baginya buat memberikan nasehat

•    Menjauhi istrinya dari tempat tidurnya sehingga tak terjadi jima’ (pisah ranjang).

•    Diperbolehkan memukul selain wajah, dgn catatan berupa pukulan mendidik dan tak menunjukkan arti aniaya.

3.    Tindakan hajr (yg merupakan asal dari isim musytaq hijrah) dalam ayat di atas bermakna berpisah ranjang. 

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah–Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.