Mengapa Banyak Hadits Dhaif di Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Sudah sangat masyhur bahwa Imam al-Ghazali merupakan salah satu ulama terkemuka mazhab Syafi’i. Tidak dapat diragukan lagi kapasitas keilmuaannya. Saking alimnya, beliau mendapat julukan Hujjatul Islam yg berarti bukti atau dalil agama Islam. 

 

Kitab-kitab karya beliau terbilang cukup banyak, dan hampir seluruhnya telah tersebar di berbagai penjuru negeri. Di antara beberapa karyanya yg cukup fenomenal ialah kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu Agama). Di Indonesia—khususnya di kalangan pesantren—kitab ini merupakan pegangan para santri tingkat paripurna. Dalam dunia pesantren dikenal ungkapan bahwa kurang sempurna bagi seorang santri bila dalam masa nyantrinya belum pernah ngaji kitab Ihya’ Ulumiddin ini.

 

Sayyid al-Qutb As-Syekh ‘Abdullah bin Abi Bakr al-‘Idrus radliyallahu ‘anhu pernah memuji kedahsyatan Imam al-Ghazali dan kitab-kitab karangannya sebagai berikut:

 

أجمع العلماء العارفون بالله تعالى على أنه لا شيء أنفع للقلب وأقرب إلى رضى الرب سبحانه من متابعة الغزالي ومحبة كتبه. وكتب الغزالي لباب الكتاب والسنة ولباب المعقول والمنقول. انتهى.

 

“Para ulama al-‘arif billah sepakat bahwa tak ada sesuatu yg lebih bermanfaat bagi hati dan lebih dekat menuju ridha Allah dibanding mengikuti Imam al-Ghazali dan mencintai kitab-kitabnya. Kitab al-Ghazali merupakan inti sari dari Al-Qur’an dan hadits dan juga inti sari dari sesuatu yg dapat dijangkau oleh akal dan tak terjangkau oleh akal” (Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawi, hal. 249).

 

As-Syekh al-Qutb Abdurrahman as-Segaf bahkan secara khusus menegaskan pentingnya mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin, beliau berkata:

 

ومن لم يطالع «الإحياء» فما فيه حياء

 

“Barangsiapa yg tak mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin maka ia tak memiliki rasa malu” (Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawi, hal. 249)

 

Namun bila kita menelaah kitab Ihya’ Ulumiddin secara seksama, seringkali kita temukan dalil hadits yg disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab tersebut banyak yg berstatus hadits dhaif, bahkan hadits yg bertaraf munkar. Lantas apakah hal ini mau tak menurunkan terhadap kredibilitas kitab Ihya’ Ulumiddin?

 

Ulama terkemuka Damaskus, Syekh Said Ramadhan al-Buthi pernah ditanya hal serupa dalam majelis fatwanya. Beliau menegaskan bahwa pencantuman berbagai hadits dhaif dalam kitab Ihya’ Ulumiddin bukanlah hal yg perlu dipermasalahkan, sebab Imam al-Ghazali mencantumkan hadits-hadits dhaif tersebut umumnya dalam menjelaskan hal-hal yg berkaitan dgn fadhail al-a’mal (keutamaan beberapa pengamalan), bukan sebagai dalil atas penetapan hukum syara’. Sangat masyhur dalam pandangan para ulama hadits bahwa hadits dhaif masih dapat diamalkan dalam ranah fadhail al-a’mal, selama hadits dhaif tersebut tak terlalu parah kedhaifannya, misalkan sampai bertaraf hadits maudhu’. Berikut penjelasan beliau mengenai hal ini:

 

لماذا تكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة فى إحياء علوم الدين للإمام الغزالى وهو الذي يدّعى حجة الإسلام؟

 

أكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة الواردة فى كتاب إحياء علوم الدين للإمام الغزالى تتعلّق بفضائل الأعمال الثابت فضلها بأدلّة ثابتة أخرى. وعلماء الحديث متفقون على أنه لا ضير فى الإستشهاد بالأحاديث الضعيفة لفضائل الأعمال بشرط أن لا يشتدّ ضعفه وأن لا يوهم الراوي أثناء الإستشهاد بها بأنّها صحيحة على أنّ الله قيّض لهذه الأحاديث من أبرزها وميّزها وبيّن ضعفها وهو الحافظ العراقي فما الإشكال الذي يؤرق بالك من هذا الأمر الذي لا إشكال فيه.

 

“Mengapa banyak hadits dhaif dan hadits munkar dalam kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam al-Ghazali, padahal beliau mendapat julukan Hujjatul Islam?

 

Mayoritas hadits dhaif dan hadits munkar yg terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam Al-Ghazali berhubungan dgn keutamaan beberapa pengamalan (fadhail al-a’mal) yg keutamaannya memang tetap dgn beberapa dalil konkrit yg lain. Para ulama hadits sepakat bahwa tak masalah menjadikan dalil hadits dhaif buat urusan keutamaaan beberapa pengamalan (fadhail al-a’mal) dgn syarat sifat lemahnya tak terlalu parah dan tak menjadikan salah paham pada pertengahan mendalil bahwa hadits yg disampaikan ialah hadits shahih. Selain itu, Allah juga menetapkan hadits-hadits ini pada seseorang yg menampilkan, membedakan dan menjelaskan kedhaifan hadits-hadits tersebut, dia ialah Al-Hafiz al-‘Iraqi. Lantas kemuskilan apa yg terbesit dalam hatimu tentang persoalan ini yg sebenarnya tak perlu dimuskilkan?” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 149).

 

Baca juga:

● Ini Cara Al-Iraqi Verifikasi Hadits di Kitab Ihya’ Ulumiddin

● Bagaimana Sikap Muslim Terhadap Hadits Dhaif dan Hadits Palsu?

 

Maka dgn demikian dapat disimpulkan bahwa berbagai hadits dhaif yg terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin sama sekali tak menurunkan kredibilitas serta kualitas kitab tersebut sebagai kitab rujukan. Sebab mayoritas pencantuman hadits dhaif dalam kitab Ihya’ Ulumiddin ini bukan buat menjadikan dalil penetapan hukum syara’, tapi dalam ranah menjelaskan fadhail al-a’mal yg telah disepakati kelegalannya oleh para ulama hadits dgn berdasarkan hadits yg dhaif. Wallahu a’lam.

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.