Mengenal Istilah ‘Amrad’ dalam Syariat

Meskipun secara kodrati seorang lelaki ditakdirkan menyukai perempuan, begitupun sebaliknya, tak dapat dipungkiri bahwa ada kejadian-kejadian yg menyebabkan seseorang dapat terjebak dalam pesona sesama jenis. Tentu hal ini dilarang agama. Dalam fiqih, hal ini kerap dibahas dalam masalah amrad hasan.

Meskipun tak populer di masyarakat, kejadian-kejadian yg tak dimaukan akibat interaksi seorang pria dgn amrad ini kerap terjadi. Secara bahasa, dalam kamus Lisanul Arab  karya Ibnul Manzhur, amrad berasal dari kata al-mardu (المرد) yg memiliki arti bersih, meluruh. Ibnul A’rabi, sebagaimana dikutip Ibnul Manzhur, menyebutkan bahwa al-mardu ialah pipi yg bersih dari kumis dan jenggot, diserupakan sebagaimana dahan yg bersih dari dedaunan.

Amrad didefinisikan sebagai berikut:

والأَمْرَدُ: الشابُّ الَّذِي بلغَ خُرُوجَ لِحْيته وطَرَّ شَارِبُهُ وَلَمْ تَبْدُ لِحْيَتُهُ

Artinya: Amrad ialah pemuda yg selumrahnya telah tumbuh jenggot dan kumisnya, namun belum tumbuh.

Ukuran usia muda ini tak dibatasi sampai usia tertentu. Dikatakan para ulama bahwa anak-anak yg masih polos dan belum tampak ciri laki-lakinya seperti bulu kaki dan tangan, kumis serta jenggot, kerap mengundang syahwat akibat ketampanan atau keelokan parasnya. Secara fiqih, yg menjadi masalah dalam hal ini ialah mereka ini juga menimbulkan hasrat bahkan bagi kaum pria.

Apakah ini penyimpangan? Ulama terdahulu mengantisipasi adanya kemungkinan munculnya hasrat lelaki kepada sejenisnya, terutama pada pemuda yg belum muncul ciri-ciri kelelakiannya itu. Para fuqaha’ pun menyusun penjelasan tentang amrad hasan yaitu seorang amrad yg berparas rupawan.

Amrad hasan, atau anak muda yg belum tumbuh kumis atau jenggot sehingga tampak rupawan dan memesona sesamanya, dalam beberapa hal dihukumi sebagaimana interaksi lelaki dgn perempuan, seperti dalam perihal melihat aurat. Imam an Nawawi menyebutkan dalam Al Majmu’ Syarhul Muhaddzab mengenai hal ini:

ولا يجوز النظر إلى الأمرد من غير حاجة لأنه يخاف الافتتان به كما يخاف الافتتان بالمرأة

Artinya: Tidak diperbolehkan melihat kepada amrad tanpa kepentingan tertentu sebab ditakutkan mau terjadi fitnah sebagaimana terjadinya fitnah bagi perempuan (yg bersama laki-laki)

Selanjutnya, Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarhun Nawawi ‘ala Shahih Muslim mengenai alasan larangan melihat seorang amrad, baik dgn syahwat maupun tak, maupun dikhawatirkan fitnah atau tak.

وَدَلِيلُهُ أَنَّهُ فِي مَعْنَى الْمَرْأَةِ فَإِنَّهُ يُشْتَهَى كَمَا تُشْتَهَى وَصُورَتُهُ فِي الْجَمَالِ كَصُورَةِ الْمَرْأَةِ بَلْ رُبَّمَا كَانَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ أحْسَنَ صُورَةً مِنْ كَثِيرٍ مِنَ النِّسَاءِ بَلْ هُمْ فِي التَّحْرِيمِ أَوْلَى لِمَعْنًى آخَرَ وَهُوَ أَنَّهُ يَتَمَكَّنُ فِي حَقِّهِمْ مِنْ طُرُقِ الشَّرِّ مالا يَتَمَكَّنُ مِنْ مِثْلِهِ فِي حَقِّ الْمَرْأَةِ

Alasan larangan melihat amrad sebagaimana larangan melihat aurat perempuan. Sesungguhnya amrad juga dapat merangsang syahwat akibat keelokan parasnya sebagaimana perempuan, bahkan ada sebagian besar yg lebih bagus parasnya dari perempuan. Tetapi, dalam hal melihat amrad, keharaman itu lebih utama, sebab dimungkinkan sekali terjadi perbuatan buruk yg tak terjadi sebagaimana interaksi pria dan perempuan.

Dari beberapa argumen ini, ulama fiqih memberikan pandangan terhadap kekhawatiran mereka mau kecenderungan seorang lelaki menyukai lelaki, terlebih pada anak-anak yg belum tampak “tanda kelelakiannya”. Kekerasan seksual pada anak kerap kali dapat bermula dari hal-hal seperti ini.

Melalui penjelasan di atas, kiranya perlu bagi orang tua, para pendidik, maupun masyarakat buat mendapat edukasi seksual yg bijak dan menyadari adanya penyimpangan-penyimpangan yg tak sejalan dgn ajaran Islam, sehingga keluarga dan orang-orang sekitar dapat terhindar dari hal-hal yg tak dimaukan. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.