Ketika nafsu telah tenang dgn Allah, tenteram dgn mengingat-Nya, berpulang kepada-Nya, rindu berjumpa dgn-Nya, bersandar pada kedekatan-Nya, maka itulah nafsu muthmainnah. Nafsu ini pula yg diseru jadi hamba yg ridha dan diridhai:
Â
يَا أَيَّتÙهَا النَّÙْس٠الْمÙطْمَئÙنَّة٠ارْجÙعÙÙŠ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ رَبّÙك٠رَاضÙيَةً مَّرْضÙيَّة
Â
“Hai jiwa yg tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dgn hati yg ridha lagi diridhai-Nya,†(QS. al-Fajr [89]: 27-28).
Â
Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas, nafsu muthmaninnah ialah nafsu yg membenarkan ketuhanan Allah. Sedangkan menurut Qatadah, nafsu muthmaninnah ialah nafsu seorang mukmin yg yakin terhadap janji-janji Allah, tenang berada di pintu makrifat kepada asma dan sifat-sifat-Nya, yakin terhadap segala yg dikabarkan rasul-Nya, percaya atas apa yg terjadi di alam barzakh dan hari akhir. Karena yakinnya, ia melihat semua perkara yg dijanbilan Allah seakan-akan nyata dan berada di depan matanya.
Â
Â
Tak hanya itu, nafsu muthmainnah juga tenang dgn takdir Allah. Ia pasrah dan rida terhadap segala ketentuan-Nya. Tak pernah mengeluh dan tergoyahkan keimanannya. Tak pernah putus asa atas rahmat-Nya. Tak pernah terlena dan terbuai atas segala pemberian-Nya. Sebab, ia yakin apa pun yg menimpa terjadi atas izin dan hikmah-Nya:
Â
مَا أَصَابَ Ù…ÙÙ† مّÙصÙيبَة٠إلاّ بÙØ¥Ùذْن٠الله٠وَمَن ÙŠÙؤْمÙÙ† بÙالله٠يَهْد٠قَلْبَهÙ
Â
“Tidak ada suatu musibah pun yg menimpa seseorang kecuali dgn ijin Allah; dan barangsiapa yg beriman kepada Allah niscaya Dia mau memberi petunjuk kepada hatinya,†(QS. At-Taghabun [64]: 11).
Â
Keistimewaan lain dari nafsu muthmainnah ialah taat terhadap segala perintah-Nya, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, murni mengharap ridha-Nya. Tidak pernah menunaikan perintah Allah hanya sebab kemauan atau hawa nafsunya. Tidak pernah taklid bila bukan di jalan yg hak. Tidak pernah tenang dgn sesuatu yg menentang perintah-Nya. Tak pernah mengmaukan sesuatu yg bukan haknya. Demikian sebagaimana yg diungkap oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
Â
لَا ÙŠÙŽØÙقّ٠الْعَبْد٠Øَقَّ صَرÙÙŠØ٠الْإÙيمَان٠Øَتَّى ÙŠÙØÙبَّ Ù„ÙلَّهÙØŒ ÙˆÙŽÙŠÙبْغÙضَ Ù„ÙلَّهÙØŒ ÙÙŽØ¥Ùذَا Ø£ÙŽØَبَّ Ù„ÙلهÙØŒ وَأَبْغَضَ Ù„ÙلهÙØŒ Ùَقَد٠اسْتَØَقَّ الْوَلَاءَ Ù…ÙÙ†ÙŽ اللهÙØŒ ÙˆÙŽØ¥Ùنَّ أَوْلÙيَائÙÙŠ Ù…Ùنْ عÙبَادÙÙŠØŒ ÙˆÙŽØ£ÙŽØÙبَّائÙÙŠ Ù…Ùنْ خَلْقÙÙŠ الَّذÙينَ ÙŠÙذْكَرÙونَ بÙØ°ÙكْرÙÙŠØŒ ÙˆÙŽØ£Ùذْكَر٠بÙØ°ÙكْرÙÙ‡Ùمْ
Â
Artinya, “Seorang hamba tak mau mampu mewujudkan keimanan seterang-terangnya hingga ia mencintai sesuatu sebab Allah dan membenci sesuatu sebab Allah. Ketika seorang hamba telah mencinta dan membenci sebab Allah, maka dia berhak mendapat pertolongan dari-Nya. Disebutkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya para wali-Ku di antara hamba-Ku dan para kekasih-Ku di antara makhluk-Ku ialah mereka yg berdzikir mengingat-Ku, sehingga Aku pun berdzikir mengingatnya,’†(HR. Ahmad).
Â
Secara tak langsung, hadits di atas membuktikan ayat Al-Quran yg menyatakan bahwa dzikir dapat menenangkan hati dan jiwa:
Â
الَّذÙينَ آمَنÙوا وَتَطْمَئÙنّ٠قÙÙ„ÙوبÙÙ‡Ùمْ بÙØ°Ùكْر٠اللَّه٠أَلَا بÙØ°Ùكْر٠اللَّه٠تَطْمَئÙنّ٠الْقÙÙ„ÙوبÙ
Â
(Yaitu) orang-orang yg beriman dan hati mereka manjadi tenteram dgn mengingat Allah. Ingatlah, hanya dgn mengingati Allah, hati menjadi tenteram, (QS. Ar-Ra‘d [13]: 28).
Â
Atas dasar itu, hamba yg bernafsu muthmainnah mau beralih dari maksiat kepada taubat, dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada pengetahuan, dari kelalaian kepada dzikir, dari khianat kepada amanah, dari riya kepada ikhlas, dari dusta kepada benar, dari lemah kepada kuat, dari ujub kepada rendah hati, dari sombong kepada tawadlu. Di sana nafsu muthmainnah berada.
Â
Namun, langkah pertama menuju nafsu muthmainnah ialah berjalan menuju Allah dan meniti ke negeri akhirat. Dasarnya ialah sadar sebagai hamba yg hina, merasa kecil di hadapan kuasa Allah, selalu melihat segala sesuatu dgn pandangan pelajaran dan hikmah, melihat akhirat sebagai kehidupan panjang yg lebih baik, sedangkan melihat dunia sebagai kehidupan sementara yg lekas berakhir. Tanpa dasar ini yg terjadi ialah penyesalan yg menyengsarakan diri, sebagaimana yg diungkap Al-Quran.
Â
“Supaya jangan ada orang yg mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yg memperolok-olokkan (agama Allah ),†(QS. Az-Zumar [39]: 56). (Lihat: Syekh Ahmad Farid, Tazkiyatun Nufus, [al-Iskandariyyah: Darul Aqidah], 1993, jilid 1, hal. 67).
Â
Â
Dari gambaran di atas, nafsu muthmainnah ialah nafsu tertinggi, sekaligus kebalikan dari nafsu amarah. Ketika nafsu muthmainnah menguat, maka hati mau terlindung dalam bentengnya, dan semakin dekat dgn kerajaannya. Sementara nafsu amarah kian tersisih. Ia tak lagi mampu memerintah yg buruk.
Â
Â
Ingatlah bahwa nafsu mutmainnah ialah peredam dan penghadang tentara setan, yakni nafsu amarah, marah, dan syahwat. Sementara syahwat ialah tabiat kebinatangan. Dengan syahwat, manusia mau zalim kepada dirinya akibat ketamakan dan kekikirannya. Kemudian marah merupakan tabiat buas kebinatangan yg lebih berbahaya dari syahwat. Sebab, dgn marah, manusia mau zalim kepada diri dan orang lain akibat ujub dan kesombongannya. Terakhir hawa nafsu atau nafsu amarah lebih besar bahayanya dari syahwat dan marah. Dengan hawa nafsu, manusia mau berani menantang Penciptanya, kufur dan menyekutukan-Nya.
Â
Walhasil, nafsu muthmainndah ialah nafsu yg terang dgn cahaya hati, sehingga ia terlepas dari sifat-sifat tercela, dan penuh dgn sifat-sifat terpuji. Tak dipungkiri nafsu lawwamah pun mampu melahirkan perangai terpuji. Hanya saja, nafsu lawwamah sesekali masih cenderung kepada kelalaian. Keyakinan, ketenangan, dan kekhusyuan ialah buah dari nafsu muthmainnah, sedangkan taubat, istigfar, dan berpulang ke jalan Allah ialah buah dari nafsu lawwamah. Dan berbagai keburukan dan perangai tercela, seperti hasud, sombong, ujub, marah dan permusuhan datang dari nafsu amarah. (Lihat: Syekh Shalih ibn ‘Abdullah, dkk., Nadlratan Na‘im fi Makarimil Akhlaqir Rasul, [Jeddah: Darul Wasilah], cet. keempat, jilid 8, hal. 3306).
Â
Â
Penulis: M. Tatam Wijaya
Editor : Mahbib