Mengenal Pedagang Kartel & Permainannya di Pasaran

Dalam pasar bebas (free market), persaingan merupakan hal yg biasa terjadi. Dengan persaingan ini, lahir pasar sempurna. Semua harga berlangsung kompetitif sehingga dapat memicu inovasi-inovasi produk. Hasil akhirnya, ialah lahir banyak variasi produk. 

Dengan adanya produk yg variatif, maka konsumen memiliki banyak alternatif pilihan guna memenuhi kebutuhannya dgn harga yg dapat disesuaikan dgn kapasitas cost yg dimilikinya. Namun, yg patut disaygkan ialah ada produsen yg tak siap dgn iklim persaingan usaha tersebut. Imbasnya, lahir kemudian upaya mempengaruhi harga di pasaran. Jika mereka tak mampu mempengaruhi para pembuat kebijakan dgn legislasi yg dihasilkan, maka dilakukanlah sebuah kerja sama membentuk sebuah sindikasi ilegal. 

Sindikasi yg terbentuk, masing-masing memiliki kesadaran terhadap tabiat pasar, bahwa “harga produk” berbanding lurus dgn “supply and demand” (jumlah produk dan banyaknya permintaan barang). Berbekal dua komponen inilah, maka sindikasi yg terbentuk beroperasi dgn jalan mempermainkan jumlah stock product (persediaan barang). Tujuannya, tak lain ialah mendapatkan keuntungan pribadi (sekongkol) yg sebesar-besarnya, tanpa peduli terhadap gejolak yg berlangsung di masyarakat. Komunitas sindikasi (persekongkolan) ini dalam dunia perdagangan dikenal dgn istilah “kartel.”

Walhasil, kartel ditandai oleh adanya:

1. Kerja sama antara dua atau lebih produsen independen

2. Permainan terjadi dalam jumlah stok

3. Tujuannya, mempengaruhi harga produk di pasaran sehingga memperoleh kekuatan pasar.

Karena kartel dilakukan oleh produsen independen, dan tujuannya ialah mempengaruhi harga produk di pasaran, maka jenis produk yg dijual dan hendak direkayasa harganya biasanya merupakan produk homogen (sejenis). Ciri khas utama operasional persekongkolan ini dilakukan dgn jalan membuat “langka produk” di pasaran. Ketersediaan produk yg terbatas, dapat berpengaruh terhadap kenaikan harga. 

Melihat scope bidang pemasaran produk, maka kartel ini sebenarnya memiliki banyak ragam, antara lain (1) kartel harga, (2) kartel harga pokok, (3) kartel rayon, (4) kartel kontigentering, (5) kartel syarat, (6) kartel penjualan, dan (7) kartel laba.

Kartel harga merupakan persekongkolan buat mengatur harga produk yg diproduksi. Cirinya ditandai oleh adanya penentuan harga jual minimum produk di atas kertas. Namun, dalam praktiknya, produk dijual justru dgn harga lebih rendah dari harga yg tertera dan disepakati bersama-sama. Namun, tak ada larangan bagi produsen lainnya buat menjual harga di atas harga minimum yg tertera, namun dgn risiko bila tak laku di pasaran, maka kerugian ditanggung oleh masing-masing produsen.

Kartel harga pokok merupakan persekongkolan dalam penentuan rasio laba yg boleh diambil dan harus dipatuhi oleh anggota kartel. Perbedaan yg terjadi pada tingkat laba dapat melahirkan kompetisi. Dan kompetisi inilah yg hendak dihindari oleh masing-masing pihak produsen. Pernah mendengar istilah win-win solution (sama-sama menang). Itulah ciri utama dari kartel harga pokok ini. 

Kartel rayon ditandai dgn ciri pembagian wilayah. Masing-masing produsen tak boleh menjual produknya ke wilayah operasional produsen yg lain. Tujuan dari penetapan wilayah ini ialah, supaya masing-masing pedagang sama-sama memiliki kekuatan dan penguasaan pasar. Adanya substitusi produsen lain ke wilayah produsen sejenisnya dianggap dapat mengurangi penetrasi kekuatan pasar bagi produsen yg telah terlebih dahulu menjangkaunya, disebabkan sebab ada pesaing.

Kartel kontigentering ditandai oleh penetapan volume produksi. Produsen yg lebih rendah volume produksinya berhak mendapatkan hadiah berupa premi yg diperoleh dari produsen lainnya yg lebih besar skala volumenya. Dengan demikian, hadiah ini ibarat sebuah palak/denda bagi produsen lain yg menguasai wilayah produsen tertentu (anggota kartel) yg memiliki skala volume lebih rendah. 

Kartel  syarat ditandai oleh adanya kesepakatan bersama anggota kartel dalam hal ketentuan tampilan produk, kemasan, kualitas barang, atau bahkan pengiriman sehingga terkesan seragam. Pada dasarnya, tujuan dari penetapan kesepakatan ini ialah menghilangkan persaingan di lingkup pasar.

Kartel penjualan ditandai oleh kesepakatan bersama buat mendirikan sebuah kantor pusat penjualan atau tempat berjualan itu sendiri. Dengan keberadaan kantor ini, semua produk dijual pada satu tempat yg sama (tunggal) sehingga meminimalisir penjualan. 

Kartel laba ditandai dgn adanya kesepakatan pembagian laba. Ciri utama dari kartel jenis ini ialah bahwa semua laba kotor (gross profit) dari hasil penjualan setiap anggota kartel dikumpulkan bersama-sama menjadi satu dalam satu kas umum (tersentralisasi). Selanjutnya, laba bersih (net profit) yg didapatkan dibagi ke seluruh anggota kartel dgn proporsi tertentu sesuai kesepakatan. 

Menilik dari mekanisme kartel terakhir, maka “kartel laba” ini dalam syariat kita menyerupai suatu modifikasi akad syirkah abdan. Di satu sisi ada yg membolehkan, namun dalam madzhab Syafii, syirkah semacam ini diputus sebagai haram. 

Sebagaimana diketahui bahwa pertimbangan dasar diperbolehkannya syirkah abdan, ialah sebab ada beberapa keuntungan yg dinilai dapat diterima, yaitu:

1. Memungkinkan relasi antara pihak manajemen kartel (syirkah) dgn pelaku usaha (baca: anggota kartel) menjadi lebih kondusif disebabkan sebab tuntutan laba dan keuntungan bersama-sama antara masing-masing perusahaan dapat dgn mudah dicapai

2. Risiko persaingan yg dapat mematikan usaha lain yg sama-sama bergerak di bidang industri yg sama dapat diminimalisir

3. Kerugian yg dialami masing-masing anggota kartel akibat rendahnya daya jual di pasaran juga dapat diminimalisasi

Sementara itu, dampak negatif dari syirkah abdan (kartel) ini, antara lain:

1. Berkurangnya langkah buat pengembangan inovasi produk disebabkan sebab tantangan yg dihadapi oleh anggota kartel rata-rata ialah seimbang sehingga laba yg didapat oleh setiap anggota cenderung stabil

2. Akibat dari adanya kesepakatan yg mengikat antar masing-masing anggota kartel, perusahaan minim melakukan inovasi dan melakukan terobosan ekspansi usaha. 

3. Secara tak langsung, masyarakat dirugikan sebab mereka tak mampu mempengaruhi harga. Sepenuhnya harga ada di tangan kartel. Masyarakat selaku konsumen hanya berperan pasif selayaknya korban.

4. Iklim usaha menjadi tak kondusif sebab dgn adanya kartel, timbul kecurangan-kecurangan lain yg dirahasiakan dari anggota kartel lainnya. 

Pernah dengar ada istilah ketagihan pada produk tertentu? Apa sebabnya? Ada kemungkinan sebab adanya usaha sejenis membutuhkan langkah terobosan bagi produsen tertentu dgn mempengaruhi psikis dari konsumen. Caranya dgn membuat supaya konsumen menjadi tergantung pada produknya. Salah satu caranya (yg semoga hal itu tak terjadi di Indonesia) ialah dgn memasukkan unsur candu atau narkoba ke dalamnya dalam taraf yg samar dan tak diindikasi berbahaya. Namun, imbasnya ialah tercapainya ketergantungan itu. Wallahu a’lam bish shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti dan Pengkaji bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.