Khutbah I
وقال تعالى يَا اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا اتَّقÙوْا اللهَ Øَقَّ تÙقَاتÙه٠وَلاَ تَمÙوْتÙنَّ Ø¥Ùلاَّ وَاَنْتÙمْ Ù…ÙسْلÙÙ…Ùوْنَ. صدق الله العظيم.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Pada tahun 628 M atau tahun 6 H, sekitar 1400 kaum Muslim yg dipimpin Rasulullah SAW berangkat ke Mekah buat melaksanakan ibadah haji. Mengetahui kehadiran kaum Muslimin di Mekkah ini, orang-orang Quraisy bersiaga penuh. Melihat situasi yg tak kondusif, Nabi Muhammad SAW mencoba menempuh jalur diplomasi dan bukan jalur militer atau perang buat menghindari pertumpahan darah. Bagaimanapun Mekkah ialah tempat suci yg harus dijaga kesuciannya.
Jalur diplomasi tersebut ialah kesepakatan damai yg tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu antara lain berisi bahwa kedua belah pihak sepakat buat berdamai selama 10 tahun. Kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dan baru pada tahun berikutnya boleh kembali ke Mekah buat berhaji.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Sebelum Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani oleh kedua belah pihak, ada peristiwa penting dan sangat menarik yg dapat kita ambil sebagai pelajaran berharga. Peristiwa itu ialah penolakan Suhail bin Amr sebagai juru bicara orang-orang Quraisy buat menandatangani perjanjian tersebut. Hal yg dipersoalankan ialah teks perjanjian itu diawali dgn kalimat yg berbunyi: “Inilah perjanjian perdamaian yg dilaksanakan antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amrâ€. Suhail menolak kata-kata “Muhammad Rasulullah†dalam kalimat pembuka tersebut dan menuntut supaya kata-kata itu diganti dgn “Muhammad bin Abdullah†yg berarti “Muhammad anak laki-laki Abdullahâ€. Suhail bin Amr mengatakan:
Artinya: “Kalau kami mengetahui bahwa kamu (Muhammad) ialah Rasulullah, maka kami tak mau menghalang-halangimu dari Baitullah dan tak mau memerangimu.â€
Pernyataan Suhail di atas merupakan alasan penolakannya atas kata-kata “Muhammad Rasulullah†dalam teks perjanjian itu sebab secara teologis orang-orang Quraisy tak percaya apalagi mengakui bahwa Muhammad ialah utusan Allah. Orang-orang Quraisy hanya mengakui bahwa Muhammad tak lebih dari anak laki-laki Abdullah. Karena itulah mereka memusuhi kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yg memegang keyakinan iman tauhid, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad ialah utusan-Nyaâ€.
Bagaimanakah sikap Rasulullah SAW menanggapi tuntutan Suhail bin Amr di atas?
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Menanggapi hal itu Rasulullah SAW tak marah dan tak pula merasa tersinggung sebab persoalan keyakinan memang tak boleh dipaksakan sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 256:
Artinya: “Tidak ada paksaan di dalam (memeluk) Islam.â€
Rasulullah SAW kemudian segera memerintahkan Ali bin Abi Thalib selaku sekretaris yg menyiapkan draft Perjanjian Hudaibiyah buat merevisi dgn menghapus kata-kata “Muhammad Rasulullah†dan menggantinya dgn “Muhammad bin Abdullah”.
Namun apa jawaban Ali bin Abi Thalib menaggapi perintah Rasulullah SAW tersebut?
Sayyidina Ali menjawab:
Artinya: “Demi Allah saya tak mau menghapusnya.â€
Mungkin kita tak pernah membaygkan Ali bin Abi Thalib, orang pertama dalam sejarah dari kalangan anak-anak yg memeluk agama Islam, menolak perintah Rasullah SAW. Apalagi penolakan itu diawali dgn sumpah “Demi Allahâ€. Sungguh ini seperti tak masuk akal orang dekat Rasulullah SAW menolak perintah beliau mentah-mentah.
Lalu bagaimana reaksi Rasulullah SAW terhadap Ali bin Abi Thalib, sang menantu, yg berani membantah perintah itu?
Menanggapi hal itu, ternyata Rasulullah SAW tak marah dan tak pula merasa tersinggung sebab persoalan keyakinan memang tak dapat dipaksakan, baik dipaksakan buat diyakini atau tak diyakini. Rasulullah SAW sangat memahami kesulitan yg dihadapi Ali bin Abi Thalib. Ada dilema besar dalam diri beliau. Di satu sisi, kalau Ali bin Abi Thalib menghapus kata-kata “Rasulullah†dalam teks perjanjian itu berarti beliau telah mematuhi perintah Rasulullah. Ini positif dan baik. Tetapi bukankah itu sekaligus dapat berarti Sayyidina Ali tak lagi mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang-orang Quraisy?
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mungkin itulah alasan mengapa Sayyidina Ali memilih membantah perintah Rasulullah ketimbang mengorbankan keimanan atau keyakinannya bahwa Muhammad bukan sekedar anak laki-laki Abdullah tetapi sekaligus Rasulullah yg diutus kepada seluruh umat manusia di jagat raya ini.
Rasullah SAW kemudian menjawab:
Artinya: “Tunjukkan padaku mana yg ada tulisan kata ‘Rasulullah’ itu?â€
Sudah barang tentu kita sangat memahami mengapa Rasulullah SAW minta ditujukkan mana tulisan kata-kata “Rasulullah†dalam teks perjajian itu sebab beliau seorang Nabi yg ummi, yakni seseorang yg memiliki kesulitan membaca dan menulis. Bahkan banyak yg memaknai ummi berarti buta huruf, yakni seseorang yg tak mampu membaca dan menulis sama sekali.
Ali bin Abi Thalib kemudian menunjukkan kepada Nabi Muhammad SAW mana tulisan “Rasulullah†dalam teks perjanjian perdamaian tersebut. Setelah ditunjukkan, Rasulullah SAW kemudian menghapus sendiri kata-kata itu sesuai dgn tuntutan orang-orang Quraisy yg diwakili Suhail bin Amr. Rasulullah SAW tak keberatan menghapus kata-kata itu demi menghormati kebebasan berkeyakinan sekaligus buat mencapai perdamaian antara kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy yg memusuhinya.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Setelah Rasulullah SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullahâ€, lalu siapakah yg kemudian menuliskan kata-kata “bin Abdullah†yg artinya “anak laki-laki Abdullah†buat mengganti kata-kata “Rasulullahâ€?
Pertanyaan itu dapat kita temukan jawabannya dalam Tafsir Al Qurthubi karya Abu ‘Abdullah bin Ahmad Al-Qurtubi Al-Maliki dalam tafsir Surah Al’Ankabut ayat 48. Di dalam tafsir ayat ini dgn mengacu pada hadits riwayat Bukhari diceritakan bahwa setelah Rasulullah SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullahâ€, beliau sendirilah yg kemudian menuliskan kata-kata “bin Abdullah†dgn tangan kanan beliau sendiri.
Rasulullah SAW pada dasarnya memang tak dapat atau tak pandai membaca dan menulis tetapi dalam keadaan sangat terjepit, Rasulullah dgn pertolongan Allah SWT dapat menulis seperti menulis kata-kata “bin Abdullah†buat merevisi teks Perjanjian Hudaibiyah setelah Ali bin Abi Thalib menolak buat melakukannya.
Al-Qur’an surah Al’Ankabut ayat 48 berbunyi:
Â
Artinya: “Dan engkau (Muhammad) tak pernah membaca sesuatu Kitabpun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tak (pernah) menulis suatu Kitab dgn tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yg mengingkarinya.â€
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tak pernah membaca dan menulis sesuatu apa pun sebelum turunnya Al-Qur’an. Hal ini buat menjamin bahwa Al-Qur’an bukan karya Muhammad tetapi wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril. Tetapi setelah Al-Qur’an turun ada kemungkinan Nabi Muhammad SAW pernah suatu ketika menulis sesuatu. Dan kemungkinan itu terwujud ketika beliau harus menulis sendiri kata-kata “bin Abdullah†buat mengganti kata-kata “Rasulullah†dalam teks Perjanjian Hudaibiyah setelah Ali bin Abi Thalib menolak melakukan hal itu.
Sidang Jum’ah rahimakumullah,
Mudah-mudahan apa yg telah saya uraikan di atas dapat memberikan manfaat khususnya diri saya sendiri dan sidang Jum’ah pada umumnya. Pelajaran berharga dari peristiwa Perjanjian Hudaibiyah tersebut ialah pentingnya menjunjung tinggi perdamaian. Lewat diplomasi, Rasulullah menghindari pertumpahan darah, meski dgn begitu beliau merelakan Islam pada tataran simbol (bukan substansi) tak tampil menonjol. Nabi juga menunjukkan sikap tak mau memaksakan kehendak dalam hal perbedaan keyakinan.
Kisah tersebut juga dapat menjadi insirasi bagi kita dalam hidup bermasyarakat yg majemuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebesaran hati dan sikap menghormati keyakinan orang lain yg berbeda sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW menjadi hal yg sangat penting dalam rangka menjaga kerukunan bersama. Mudah-mudahan kita semua dimudahkan oleh Allah SWT dalam upaya kita meneladani Rasulullah SAW. Amin, amin ya rabbal alamin.
Khutbah II
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.