Penerapan Mazhab Maliki & Syafi’i dalam Jual-Beli di Era Kontemporer

Kiranya telah lumrah di dalam kebiasaan masyarakat Indonesia bahwa ketika membeli sesuatu, seperti membeli kue atau makanan, mereka mengambil atau menikmati terlebih dahulu makanan tersebut. Tidak jarang juga bahwa mereka menikmati makanan atau membeli barang (seperti di swalayan) lebih dari satu. Mereka baru membayarnya kepada penjual setelah beberapa saat, bahkan sering sambil ngobrol selama berjam-jam.

Saat belanja di swalayan, setelah memilih barang-barang yg dimaukan, mereka lalu menyerahkannya ke kasir buat dihitung. Pembelanjaan online yg telah sedemikian lumrah saat ini juga menunjukkan hal yg hampir sama dgn kenyataan di atas, meskipun ada beberapa aspek yg berbeda.

Jika diamati, setaknya ada tiga tahapan dalam kebiasaan jual beli semacam ini: lihat, pilih, dan bayar. Hal yg berbeda dgn kenyataan jual beli online ialah bahwa dalam jual beli online barang ditunjukkan dgn diwakili gambar dan deskripsi. Juga bahwa dalam banyak kasus penjual dan pembeli tak bertemu kecuali bila melakukan (apa yg secara salah kaprah disebut dgn) COD (cash on delivery). Serta pembayaran dilakukan dgn metode transfer melalui rekening bank.

Membaca pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i di satu sisi, dan kenyataan masyarakat sebagaimana telah diuraikan di atas di sisi lain, kita mau menemukan sisi-sisi hikmah dan kekaguman mau intelektualitas keduanya. Kedua Imam tersebut memiliki pendapat yg berbeda mau kenyataan masyarakat yg demikian. Secara umum dapat dikatakan bahwa Imam Malik membolehkan model jual beli sebagaimana berlaku dalam masyarakat Indonesia itu. Di sisi lain Imam Syafi’i tak membolehkannya. Meskipun terdapat ulama di kalangan Syafi’iyyah (pengikut Imam Syafi’i) yg membolehkannya dgn suatu atau beberapa ketentuan.

Dari kitab fiqih Syafi’iyyah seperti dalam Kifayataul Akhyar karya Al-Imam Taqyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Hasany Al-Hishny Ad-Dimasyqi (beliau merujuk kepada kitab Syarh Muhadzab yg ditulis oleh Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi), kita melihat bahwa rukun dari akad (transaksi) jual beli ada 3 (tiga) yaitu: (1) orang yg bertransaksi (al-‘aqid), yakni penjual dan pembeli; (2) sighat (redaksi) ijab-qabul; dan (3) barang yg dijual (ma’qud alaih). Dalam kitab Kifayah Al-Akhyar halaman 239 disebutkan: 

وأما العقد فأركانه ثلاثة، قاله النووى فى شرح المهذب: العاقد، ويشمل البائع والمشترى، والصيغة وهي الإيجاب والقبول، والمعقود عليه

Artinya: “Adapun aqad (transaksi) maka rukunnya ada 3 (tiga), (sebagaimana) dikatakan An-Nawawi di dalam Syarh Muhadzab (yaitu): (1) kedua belah pihak yg bertransaksi, meliputi penjual dan pembeli; (2) sighat transaksi; yaitu redaksi ijab-qabul; dan (3) barang yg diperjualbelikan” (Kifayah Al-Akhyar: 239)

Dari pernyataan di atas kita dapat mengetahui bahwa redaksi transaksi (sighat) jual beli ialah menjadi rukun bagi mazhab Syafi’i. Sebagai rukun, maka ia harus dipenuhi, bila tak maka jual beli tersebut tak sah. Kita melihat bahwa di dalam kitab-kitab Syafi’iyyah bahkan lafadz-lafadz redaksi yg benar dalam ijab-qabul jual beli telah dicontohkan. Seperti perkataan pembeli yg mengatakan: “Aku beli barang ini dgn harga segini!” dan jawaban penjual yg mengatakan: “Ya, aku jual barang itu dgn harga demikian!” Demikian pula perkataan penjual yg mengatakan terlebih dahulu kata: “Aku jual barang ini dgn harga sekian!”, dan jawaban pembeli yg mengatakan: “Ya, aku beli barang itu dgn harga sebagaimana kamu katakan baru saja.”

Perbedaan pendapat terjadi ketika (sebagaimana dideskripsikan di dalam Kifayatul Akhyar) jual beli tak dilaksanakan dgn menggunakan redaksi sama sekali. Yakni terjadi sebagaimana dideskripsikan dalam awal wacana tulisan ini. Yaitu, pembeli mengambil terlebih dahulu barang yg ia dimaukan atau menikmati dahulu makanan yg dihidangkan kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada penjual. Apakah itu cukup?

Mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yg dapat dijelaskan. Pertama, pendapat mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hal demikian ini ialah tak cukup. Dalam arti bahwa itu tak sah. Kedua, pendapat Ibnu Suraij (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa hal tersebut cukup (sah) dalam jual-beli yg kecil (seperti kue dan sebagainya). Ketiga, pendapat Imam Malik bahwa hal ini sah. Keempat, pendapat Imam Nawawi (dari kalangan Syafi’iyyah) yg menyatakan bahwa hal ini ialah sah hukumnya. Adalah menarik buat menjelaskan alasan dari berbagai pendapat tersebut. Di dalam Kifayatul Akhyar halaman 240 dikatakan demikian: 

Ù€ …. المذهب فى أصل الروضة أنه لا يكفى لعدم وجود الصيغة، وخرج ابن سريج قولا أن ذلك يكفى فى المحقرات، وبه أفتى الرويانى وغيره، والمحقر كرطل خبز ونحوه مما يعتاد فيه المعاطاة، وقال مالك رحمه الله تعالى ووسع عليه: ينعقد البيع بكل ما يعده الناس بيعا، واستحسنه الإمام البارع ابن الصباغ، وقال الشيخ الإمام الزاهد أبو زكريا محي الدين النووى قلت: هذا الذى استحسنه ابن صباغ هو الراجح دليلا، وهو المختار، لأنه لم يصح فى الشرع اشتراط اللفظ فوجب الرجوع إلى العرف كغيره 

Artinya: “… Mazhab ini (mazhab Syafi’i) dalam landasan kitab Raudlah bahwasanya (demikian itu) taklah cukup (tak sah) sebab tak adanya redaksi transaksi, kecuali pendapat Ibnu Suraij yg mengatakan bahwa hal itu (jual beli tanpa redaksi) ialah cukup dalam jual beli perkara yg kecil. Dengan pendapat ini Imam Rauyani dan yg lain berfatwa. Sesuatu yg kecil sebagaimana dimaksud ialah seperti satu rihtl roti sebagaimana apa yg telah dibiasakan masyarakat serah terima (tanpa redaksi jual beli). Sedangkan Imam Malik (kasih sayg Allah selalu buatnya) (mengatakan): “transaksi dgn sendirinya terjadi berdasarkan setiap bentuk transaksi yg dianggap masyarakat (secara kolektif) sebagai jual beli. Imam Al-Bari’ Ibnu Shabbagh mengambil (pendapat ini) berdasarkan istihsan. Imam Az-Zahid Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi berkata: ‘saya berpendapat: bahwa pendapat yg di-istihsan-kan oleh Ibnu Shabbagh ialah pendapat yg unggul dalilnya, dan pendapat ini ialah yg terpilih (oleh saya), sebab penyaratan lafadz (redaksi) tak disahkan (diputuskan) oleh (nash) syariat maka dalam hal ini wajib merujuk pada tradisi sebagaimana juga yg lain (dalam ketentuan mazhab Syafi’i) …. (Kifayatul Akhyar: 240).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana berikut ini: (Pertama) bahwa pendapat asal mazhab Syafi’i mengatakan bahwa jual-beli tanpa menggunakan redaksi sighat ialah tak sah. (Kedua) Ibnu Suraij sebagai pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual-beli tanpa menggunakan redaksi sighat ialah sah adanya dalam jual-beli barang yg kecil (remeh-temeh). (Ketiga) bahwa Imam Malik mengatakan jual-beli tanpa redaksi ijab-kabul ialah sah sebab masalah redaksi ijab-qabul ini tak ditentukan oleh syariat, sehingga hukumnya dikembalikan kepada tradisi masyarakat setempat. (Keempat) Imam Nawawi sebagai ulama Syafi’iyyah lebih memilih pendapat yg sama dgn Imam Malik dan dgn alasan yg sama pula. Yakni Imam Nawawi berpendapat bahwa sebab masalah sighat ini tak diatur di dalam nash syariat, maka hukumnya dikembalikan kepada adat masyarakat setempat tempat jual beli itu dilangsungkan.

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa mazhab Syafi’i pun juga menerima adat atau tradisi (‘urf) sebagai dsar hukum. Dalam hal ini seperti dikatakan dalam kitab Kifayatul Akhyar halaman 249 berikut ini: 

 لأن الشيء إذا لم يكن محدودا فى الشرع كان الرجوع فيه إلى العادة

Artinya: “…. sebab sesuatu yg tak diatur di dalam (nash) syariat maka landasannya dalam masalah tersebut kembali kepada tradisi.”

Adalah menarik bagi kita buat melihat perspektif mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i dalam hal ini. Kita melihat bahwa mazhab Maliki secara faktual melihat kenyataan bahwa memang tak ada nash yg mengatur masalah redaksi dalam jual beli. Dan dgn demikian beliau beralih pada dalil tradisi (‘urf). 

Di sisi lain, Mazhab Syafi’i menetapkan kewajiban sighat berdasarkan sebuah hadits nabi yg mengatakan bahwa jual beli harus berlandaskan saling rela (‘an taradlin). Dalam pandangan mazhab Syafi’i, masalah kerelaan hati ini ialah masalah yg samar ada di dalam hati dan dapat dikata sebagai tak dapat dilihat atau diukur. Karenanya, maka sesuatu yg samar dan tak terukur harus ditampakkan supaya terukur. Dalam perkataan lain bahwa masalah kerelaan hati ini ialah variabel kualitatif yg perlu dikuantitatifkan. Walhasil, redaksi ijab-qabul dalam jual beli itu merupakan indikator kerelaan pihak yg melaksanakan jual beli. Yang dalam hal ini ialah penjual dan pembeli.

Di dalam kitab Fathul Mu’in halaman 67, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari mengatakan: 

Ù€…. وذلك لتتم الصيغة الدال على اشتراطها قوله صلى الله عليه وسلم إنما البيع عن تراض. والرضا خفي فاعتبر ما يدل عليه من اللفظ فلا ينعقد بالمعاطة

Artinya: “… dan (contoh redaksi) itu ialah supaya menyempurnakan redaksi yg ditunjukkan pensyaratannya oleh sabda Rasulullah SAW: ‘hanya dgn asas saling rela-lah jual beli dapat terjadi.’ Dan (variabel) ‘rela’ ini ialah sesuatu yg samar (bersifat kualitatif) maka (harus) diukur dgn lafadz apa yg menunjukkan hal tersebut. Maka transaksi tak dapat terjadi dgn sendirinya hanya dgn proses serah-terima ….(Fathul Mu’in: 67)

Kita menemukan kenyataan unik dalam kaitannya dgn perbedaan dua mazhab ini. Di satu sisi pendapat mazhab Syafi’i ini kiranya juga didukung oleh 2 (dua) mazhab yg lain yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Namun di sisi lain juga terdapat sekumpulan ulama dari kalangan pengikut mazhab Syafi’i yg juga mengambil pendapat Imam Malik tersebut sebelumnya. Di dalam kitab Al-Mizan Al-Kubra juz 2 halaman 63 Imam Abil Mawahib Abdil Wahhab bin Ahmad bin Ali Al-Anshari yg dikenal juga sebagai As-Sya’rani mengatakan demikian: 

ومن ذلك قول الشافعى فى أرجح قوليه وأبى حنيفة وأحمد فى إحدى الروايتين عنهما إنه لا ينعقد البيع بالمعاطاة مع قول مالك إن البيع ينعقد بها واختاره ابن صباغ والنووى وجماعة من الشافعية وهو قول الشافعى الأخر وقول أبى حنيفة وأحمد فى الرواية الأخرى عنهما

Artinya: “Dan di antara (perbedaan pendapat) itu, ialah pendapat As-Syafi’i dalam pendapat yg lebih unggulnya dan juga pendapat Abi Hanifah dan Ahmad di dalam salah satu periwayatan dari mereka, bahwa transaksi jual beli tak otomatis terjadi hanya dgn proses serah-terima (bertentangan) dgn pendapat Imam Malik bahwa transaksi jual beli secara otomatis terjadi dgn proses tersebut. Dan pendapat ini diambil oleh Ibnu Shabbagh dan An-Nawawi serta sekumpulan ulama Syafi’iyyah dan itu ialah pendapat imam Syafi’i yg lain dan juga pendapat Abu Hanifah dan Ahmad di dalam salah satu riwayat dari keduanya” (Al-Mizan Al-Kubra: 63).

Dari perbedaan pendapat di atas kita mengerti bahwa pemberlakuan redaksi (sighat) ijab-qabul dalam mazhab Syafi’i ialah bentuk usaha buat menjadikan variabel kualitatif kepada variabel kuantitatif. Dengan demikian maka variabel yg semula tak dapat diukur menjadi dapat diukur. Pengukuran ini kiranya dilakukan dalam mengambil keputusan mau keabsahan jual beli.

Terlepas dari itu semua setaknya dapat mengambil hikmah berikut ini: di satu sisi kita melihat bahwa mazhab Maliki menjadi lebih fleksibel buat diterapkan dalam kondisi maraknya e-commerce saat ini. Di sisi lain, jual-beli perkara yg besar seperti tanah, rumah, perusahaan, dan sebagainya tetap memerlukan kehati-hatian melalui redaksi konkret dalam transaksi sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i di atas. Di masa sekarang, aturan tersebut  dapat dirupakan ke dalam pernyataan tertulis ‘hitam di atas putih’. As-Sya’rani dalam Al-Mizan Al-Kubra juga mengatakan bahwa keduanya dapat digunakan (bergantian) berdasarkan pertimbangan dgn menyesuaikan konteks yg mengitarinya. 

Selanjutnya, As-Sya’rani mengatakan bahwa pendapat Imam Syafi’i sangat penting digunakan terutama ketika terjadi persengketaan (tanazu’) antara penjual dan pembeli yg kemudian diajukan kasusnya ke depan hakim (pengadilan). Hal demikian tentu saja tak cukup hanya dgn kesaksian orang yg melihat peristiwa jual-beli itu. Melainkan persaksian mau orang yg bersaksi menyaksikan dan ‘mendengarkan’ redaksi akad tersebut.

Di sisi lain, pendapat Imam Malik dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk (dalalah iqtiran) terhadap kasus hukum sebagaimana dicontohkan di sini. Di mana persaksian seseorang yg menyaksikan bahwa si-A menyerahkan sejumlah uang kepada si-B dan si-B sebaliknya menyerahkan sebuah barang kepada si-A. Ini tentu saja merupakan bukti petunjuk (dalalah iqtiran) bagi hakim buat menelusuri bukti-bukti selanjutnya. Demikian sejauh dapat dipahami dari kitab Al-Mizan Al-Kubra juz 2 halaman 63.

Demikian barakallahu lana walakum jami’an…

R. Ahmad Nur Kholis, Sekretaris LBM NU Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang; Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Kepanjen Malang; Anggota Pebelajar di Haraka Institute Junrejo Kota Batu
 





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.