Perangkat Hukum Penerapan Prinsip Syariah pada Lembaga Ekonomi Indonesia

Indonesia ini dihuni oleh mayoritas umat Islam. Data statistik BPS (Badan Pusat Statistik) yg dirilis tahun 2017 menyebutkan bahwa penduduk Muslim Indonesia mencakup 82% dari penduduk yg tinggal di Indonesia. Kaitannya dgn bahasan ekonomi, berdasarkan konstitusi, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia ialah wajib dgn dasar mengacu pada Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yg dgn tegas menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Melalui pentakwilan terhadap pasal ini, selanjutnya dalam wilayah ekonomi, penerapan prinsip ekonomi syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hukumnya ialah wajib diupayakan.

Setaknya ada tiga pemaknaan terhadap Pasal 29 ayat (1) Batang Tubuh UUD 1945 oleh para ekonom syariah di Indonesia, yaitu: 

1. Negara tak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yg bertentangan dgn dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa 

2. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yg memerlukannya

3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yg melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.

Kritik Islam terhadap perbankan konvensional di Indonesia bukan terletak dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan sebab di dalam operasional perbankan tersebut ada unsur yg dianggap sebagai yg dilarang oleh syara’, yaitu bunga. Di samping itu, dimungkinkan adanya unsur lain berupa unsur maisir (spekulatif), gharar (ketakpastian) dan bathil. Dan ini tak hanya berlaku pada perbankan konvensional, melainkan juga semua lembaga ekonomi yg ada di Indonesia.

Sekali lagi ini berangkat dari penakwilan di atas. Sudah barang tentu, setiap kritik selalu ada solusinya. Islam menawarkan akad-akad sebagai solusi menggantikan unsur-unsur sebagaimana dimaksud sebagai dasar dalam operasional perbankan dan lembaga ekonomi menurut prinsip syariah (Abdul Ghofur Anshori, “Perkembangan Hukum, Kelembagaan, dan Operasional Perbankan Syariah di Indonesia”, Makalah Kuliah Tamu Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan FH UGM, Yogyakarta, 14 Juni 2017, h. 1)

Pengertian Bank Islam (Islamic Bank) secara umum ialah bank yg pengoperasiannya mendasarkan pada prinsip syariah Islam. Bank Islam sendiri sering disebut dgn istilah bank syariah atau bank dgn sistem tanpa bunga (free-interest based system). Sebagian pihak ada yg mengistilahkan dgn bank tanpa riba (lariba bank). Secara yuridis, Indonesia mengistilahkan bank Islam ini sebagai Bank Syariah, atau secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah.” (Syamsudin, “Sejarah Hukum Perbankan Syariah Indonesia”, Makalah seminar Ekonomi Syariah, STAIHA Bawean, 04 Maret 2018).

Prinsip utama perbankan syariah terdiri dari larangan atas riba pada semua jenis trasaksi. Aktivitas bisnis perbankan diterapkan dgn berpedoman pada kesetaraan (equality), keadilan (fairness) dan keterbukaan (transparency); pembentukan kemitraan yg saling menguntungkan (perseroan); serta keharusan memperoleh keuntungan usaha secara halal. Bank syariah juga dituntut harus mengeluarkan dan mengadministrasikan zakat guna membantu mengembangkan lingkungan masyarakatnya.

Dalam UU Perbankan Syariah, telah ditegaskan bahwa bank-bank syariah di Indonesia yg terdiri atas bank yg sepenuhnya melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan bank konvensional yg melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah melalui Unit Usaha Syariah (UUS) yg dimilikinya, tak boleh melakukan kegiatan usaha yg melanggar prinsip syariah. prinsip syariah yg harus dipatuhi oleh bank-bank syariah menurut UU Perbankan Syariah ialah prinsip Syariah yg difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan selanjutnya telah dituangkan dalam Peraturan Bank Indoneisa (PBI). (Anonim, Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, 2014, hlm. 103)

Lebih lanjut lagi bahwa Prinsip Syariah Perbankan – yg mana dalam kedudukannya telah berubah menjadi hukum positif sebab adanya penunjukan oleh UU Perbankan Syariah – merupakan aturan yg wajib dilaksanakan oleh bank syariah maupun Unit Usaha Syariah. Pelanggaran terhadap Prinsip Syariah Perbankan mau mengakibatkan akad-akad yg dibuat antara Bank Syariah dan nasabah menjadi batal demi hukum (null and void) (Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014: 2-3).

Prinsip syariah ini diterapkan guna mencapai tujuan sesuai jalur syariah. Pasal 2 UU Perbankan Syariah mmenegaskan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan kehati-hatian, yg mana hal tersebut dielaborasi dalam Penjelasan Pasal 2 UU sebagai berikut:

(1) Prinsip syariah ialah kegiatan usaha yg berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, ialah kegiatan usaha yg tak mengandung unsur: 

a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yg tak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yg mensyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yg diterima melebihi pokok pinjaman sebab berjalannya waktu (nasi’ah);

b. maisir, yaitu transaksi yg digantungkan kepada suatu keadaan yg tak pasti dan bersifat untung-untungan; 

c. gharar, yaitu transaksi yg objeknya tak jelas, tak dimiliki, tak diketahui keberadaannya, atau tak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; 

d. haram, yaitu transaksi yg objeknya dilarang dalam syariah atau zalim, yaitu transaksi yg menimbulkan ketakadilan bagi pihak lainnya.

(2) Demokrasi ekonomi ialah kegiatan ekonomi syariah yg mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. 

(3) Prinsip kehati-hatian ialah pedoman pengelolaan Bank yg wajib dianut guna mewujudkan perbankan yg sehat, kuat, dan efisien sesuai dgn ketentuan peraturan perundang-undangan. (Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)

Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, ditegaskan bahwa pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) PBI a quo dilaksanakan dgn memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah) dan universalisme (alamiyah) serta tak mengandung gharar, maysir, riba,  dhalim, dan objek haram. (Lihat Pasal 2 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Di sini disebutkan bahwa Dalam melaksanakan jasa perbankan melalui kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank, “Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah.”)

Selanjutnya dalam rangka implementasi dan harmonisasi fatwa DSN-MUI berdasarkan amanah Pasal 26 UU Perbankan Syariah telah dibentuk Komite Perbankan Syariah (KPS) melalui keputusan PBI Nomor 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah. Pasal 1 angka 1 PBI a quo menyebutkan bahwa Komite Perbankan Syariah ialah forum yg beranggotakan para ahli di bidang syariah muamalah dan/atau ahli ekonomi, ahli keuangan dan ahli perbankan yg bertugas membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan Fatwa Majelis Ulama Indonesia menjadi ketentuan yg mau dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia.

Berdasarkan Laporan Perkembangan Keuangan Syariah 2013 yg diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan bahwa dgn terbentuknya OJK selaku otoritas pengawasan jasa keuangan, maka fungsi dan tugas Komite Perbankan Syariah termasuk bagian yg diamanahkan buat dialihkan kepada OJK yg mana sesuai dgn lingkup kewenangannya mencakup keseluruhan industri keuangan konvensional dan syariah yg tak hanya meliputi sektor perbankan namun juga Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) dan Pasar Modal, sehingga di OJK, KPS diformulasikan dalam bentuk Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS) OJK. Pembentukan KPJKS melalui Keputusan Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Nomor 120/MS1/2013, tanggal 18 Desember 2013. Realisasi dari RDK ialah dgn diterbitkannya Peraturan Dewan Komisioner (PDK) Nomor 47/PDK.02/2013 tentang Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS) di OJK, tanggal 30 Desember 2013. Dalam PDK tersebut diatur bahwa KPJKS bertanggung jawab kepada Dewan Komisioner OJK. Keanggotaan KPJKS terdiri dari unsur OJK, Kementerian Agama, MUI, dan unsur masyarakat lainnya dgn komposisi berimbang.

Tujuan pembentukan KPJKS ialah membantu OJK dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan mengembangkan jasa keuangan syariah. Sampai di sini tugas KPJKS ialah membantu pihak OJK dalam:

a. Menafsirkan fatwa MUI yg terkait dgn keuangan syariah

b. Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam POJK, dan

c. Melakukan pengembangan industri jasa keuangan syariah (Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2014: 104)

Hasil pelaksanaan tugas KPJKS disampaikan kepada OJK dalam bentuk rekomendasi KPJKS. Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugasnya, KPJKS dibantu oleh Tim Kerja KPJKS yg terdiri dari internal OJK dan eksternal OJK dan berbagai keahlian dan kepakaran terkait. Harapan dgn terbentuknya KPJKS ialah mau memberikan kemudahan bagi regulator (OJK) dalam mengimplementasikan fatwa yg dikeluarkan DSN – MUI. Keanggotaan KPJKS yg terdiri dari berbagai elemen keahlian, diharapkan mau lebih mampu menghadirkan prinsip syariah Islam di bidang ekonomi yg abstrak menjadi sesuatu yg konkrit dan implementatif.

Demikian sekilas pengetahuan tentang perangkat hukum penerapan ekonomi syariah di Indonesia. Pengetahuan ini penting demi menumbuhkan rasa cinta kita kepada pemerintah negara Indonesia, yg telah mengadopsi kepentingan umat Islam buat terhindar dari segala praktik muamalah yg tak dibenarkan oleh syariat. Selebihnya kita dukung, demi restorasi dan reservasi sebesar-besarnya buat kepentingan bangsa dan negara.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean; Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.