Serpihan Kisah Cara Dakwah Wali Songo

Wali Songo, menurut Agus Sunyoto, semacam lembaga dakwah yg beranggotakan sembilan tokoh penyebar agama Islam. Mereka berdakwah secara sistematis dan terorganisasi melakukan usaha-usaha pengislaman masyarakat Jawa dan pulau-pulau lainnya. Anggota dewan dakwah ini tetap sembilan orang, sehingga bila ada salah seorang anggotanya yg meninggal, maka anggota lain masuk menggantikan.

 

Semuanya bergelar sunan selaku gelar kehormatan penguasa dunia sekaligus gelar guru spiritual yg memiliki sejumlah keistimewaan. Masing-masing memiliki tugas dalam dakwah Islam melalui berbagai perbaikan sistem nilai dan sistem sosial budaya masyarakat. Kesembilan anggota Wali Songo yg termasyhur ialah Sunan Gresik; Sunan Ampel; Sunan Bonang; Sunan Drajat; Sunan Kudus; Sunan Giri; Sunan Kalijaga; Sunan Muria (Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekontruksi Sejarah yg Disingkirkan, [Jakarta: Transpustaka], 2011, hal. 59).

 

Secara umum, dapat dikatakan, meski kegiatan dakwah di Nusantara telah dimulai sejak abad ke-7, tetapi Islam belum diterima secara masif oleh penduduk pribumi. Dan itu berlangsung hingga pertengahan abad 15. Baru pada abad ke-15, tepatnya era dakwah yg dipelopori para sufi yg dikenal Wali Songo, Islam dgn cepat diserap melalui asimilasi dan sinkretisme budaya Nusantara. Lantas, mengapa di tangan para Wali Songo, Islam begitu cepat diterima penduduk Nusantara, khususnya penduduk pulau Jawa? (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah, [Jakarta: Iman], 2012, hal. 48).

 

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kunci gerakan dakwah Wali Songo ialah damai, toleran, dan berpijak pada dua prinsip, yaitu bil-mau’izhatil-hasanah wajadilhum billati hiya ahsan dan prinsip al-muhafazhatu alal-qadimish shalih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah. Artinya, dakwah dikemas dalam nasihat-nasihat yg bijak dan argumen yg kuat, disampaikan secara bertahap dan tak frontal, sambil melestarikan budaya-budaya lokal yg baik dan telah ada, menyerapnya ke dalam Islam, dan mewarnainya dgn ajaran tauhid.

 

Dakwah mereka dilakukan dgn pendekatan persuasif, keteladanan, kasih sayg, dan kedermawanan. Jalan dakwah yg ditempuh Wali Songo melalui proses asimilasi dan sinkretisme antara Islam yg terbuka, luwes, dan akomodatif dgn agama asli Nusantara, yakni agama Kapitayan sebagai penganut animisme-dinamisme dan pemuja dewa-dewa Hindu-Budha, tanpa terlibat konflik yg berarti. Dakwah dikemas dalam bahasa yg bijak, diramu dalam ajaran yg sederhana, dan disesuaikan dgn pemahaman masyarakat sesuai dgn adat dan kepercayaan setempat (Muhammad Zakki, dkk., Jejak Kanjeng Sunan: Perjuangan Wali Songo, [tanpa cat. penerbit: Yayasan Festival Wali Songo], 1999, hal. 116).

 

Berbeda halnya dakwah Islam yg dilakukan dgn cara-cara intimidasi dan kekerasan, atau cara yg cenderung frontal dan kurang strategis seperti tujuh abad sebelum dakwah Wali Songo. Fakta sejarah di India menyebutkan, aktivitas dakwah lewat penaklukan oleh Mahmud Ghazna, Dinasti Khijlia, Tughlaq, Lodia, Aurangzeb, Haidar Ali, dan Tipu Sultan yg ditandai pembunuhan massal, kekerasan, khitan paksa, dan tindakan-tindakan kejam, ternyata tak cukup mampu mendorong penyebaran Islam secara masif di tengah penduduk pribumi. Tidak sedikit kasus menunjukkan, setelah kelompok-kelompok penduduk diislamkan lewat kekerasan, pada saat ada kesempatan mereka kembali memeluk agama semula (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo: Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah, [Jakarta: Iman], 2012, hal. 44).

 

Sementara dakwah yg dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi dan para wali dgn pendekatan persuasif, keteladanan, kasih sayg, kedermawanan, toleransi, menjadikan Islam begitu melekat dalam perikehidupan penduduk India, bahkan dgn sukarela memeluk Islam. Dikabarkan, atas ikhtiar dakwah Syekh Syaraf bin Malik, Malik bin Dinar, dan Malik bin Habib, Raja Cranongore di Malabar berkenan masuk Islam, dan berkat surat wasiat darinya para sufi bebas mengembangkan Islam di antara penduduk Malabar.

 

Demikian halnya strategi dakwah yg ditempuh oleh para Wali Songo di pulau Jawa pada abad ke-15 dan 16, tepatnya di pantai utara pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Seiring dgn merosot dan berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara, dan gencarnya aktivitas dakwah Wali Songo, maka Islam jadi lebih mudah tersebar ke seantero Jawa, bahkan ke luar Jawa.

 

Di bidang pendidikan, asimilasi dilakukan para Wali Songo dalam pengembangan pesantren, pesulukan, peguron yg terbuka bagi seluruh masyarakat. Menurut Zaini Azis, bentuk ini merupakan pengambilalihan dari bentuk pendidikan sistem “biara”, “asrama”, dan “dukuh” yg dipakai para pendeta dan bhiksu buat menuntut ilmu pengetahuan sebagai Gurubakti yg berisi tata tertib, sikap hormat, dan sujud bakti yg wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhani. Ada pula yg menyebut sistem itu sebagai pengambilalihan dari lembaga pendidikan Syiwa-Budha yg telah diadaptasi dgn ajaran Islam. Konsep “dukuh” oleh para Wali Songo kemudian disebut pesantren, atau tempat belajar santri. Istilah santri itu sendiri dambil dari istilah sashtri yg belajar kitab suci atau sashtra. Konsep Gurubhakti sendiri oleh Wali Songo diisi dgn tata krama dan etika pelajar dari kitab Ta’lim Mutaallim karangan Syekh Az-Zarnuji (Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekontruksi Sejarah yg Disingkirkan, [Jakarta: Transpustaka], 2011, hal. 130).

 

Media seni juga menjadi sarana dakwah yg cukup efektif bagi Wali Songo. Melalui nyanyian religi, selawatan, pupujian, dan tembang rakyat seperti Kinanthi, Pucung, dan Maskumambang, mereka memasukkan ajaran-ajaran Islam. Begitu pula pertunjukan wayg, yg kala itu digemari masyarakat, dijadikan sebagai sarana pemenarik. Namun cerita wayg yg semula bernuansa Hindu-Budha, diganti para Wali Songo dgn kisah para nabi dan rasul, tauhid, akhlak, tasawuf, dan ajaran Islam lainnya. Tokoh dan kejadian dalam wayg hanya sebagai simbol yg diberi tafsiran filosofis sesuai dgn tafsiran ajaran Islam.

 

Sementara itu, pemanfaatan seni arsitektur juga pernah ditunjukkan, Wali Songo, dalam hal ini Sunan Kudus. Contohnya, dua bangunan Menara Kudus dan Lawang Kembar Masjid, yg tak lain merupakan perpaduan kompromistis antara arsitektur Islam dgn arsitektur setempat yg bernuansa Hindu. Perpaduan unsur lokal dgn tradisi Islam, sekaligus bukti toleransi yg tinggi, tampak dalam cerita legendaris Sunan Kudus yg melarang warganya memontong hewan sapi yg tak lain merupakan hewan yg dihormati para penganut Hindu (Solichin Salam, Menara Kudus, [Jakarta: Gema Salam], 1993, hal. 16).

 

Ada pula kisah yg menuturkan bahwa sewaktu tersesat di hutan dan kehilangan jalan hingga petang sepulang dakwahnya, Sunan Kudus mendengar suara genta yg ternyata berasal dari sekawanan sapi yg sedang berjalan. Sunan Kudus pun lalu mengikuti kawanan sapi itu hingga tiba di sebuah desa. Merasa sangat berutang budi, Sunan Kudus melarang pengikutnya memotong hewan tersebut, termasuk saat lebaran Idul Adha, dan menggantinya dgn kerbau. Itu pula yg menyebabkan di daerah Kudus hingga sekarang sulit ditemukan makanan olahan daging sapi, sebab warga tak berani melanggar larangan Sunan Kudus (Tri Utomo, Berburu di Hutan Makna: 69 Cerita Budaya dan Karakter Bangsa, [Yogyakarta: Garudhawaca], 2014, hal. 31).

 

Selain itu, tradisi-tradisi keagamaan yg telah berkembang di masyarakat tak ditentang secara frontal oleh para tokoh Wali Songo. Sebagaimana usulan Sunan Kalijaga, adat dan tradisi Jawa tak langsung dilarang dan dihentikan, sebab menurutnya, mau menyebabkan masyarakat lari dari para ulama. Adat istiadat itu justru diberi warna atau unsur Islam. Tradisi bancakan atau sesaji yg dipersembahkan di tempat angker, misalnya, diganti dgn kenduri atau tahlilan, yg berisi kiriman doa kepada leluhur dgn menggunakan doa-doa keislaman. Demikian pula tradisi-tardisi lain, seperti mitoni atau tujuh bulanan usia kehamilan, diubah para Wali Songo dgn acara syukuran, selamatan, dan sedekah makanan kepada fakir miskin, dan masih banyak lagi tradisi lain yg masih dipertahankan tetapi diberi warna Islam (Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta: LKis, cet. vi., 2008).

 

Berkenaan dgn tradisi lama yg dipertahankan Sunan Kalijaga, dikisahkan dalam sebuah musyawarah di Masjid Agung Demak, Sunan Ampel sempat menyampaikan, “Apakah di kemudian hari tak dikhawatirkan bahwa adat istiadat dan upacara lama itu dianggap ajaran Islam, bila hal ini dibiarkan nantinya mau jadi bid’ah?”

 

Sunan Kudus coba menjawab kekhawatiran Sunan Ampel, “Saya setuju dgn pendapat Sunan Kalijaga, adat istiadat lama yg masih dapat diarahkan kepada ajaran tauhid, kita mau beri warna Islam. Sedangkan adat dan kepercayaan lama yg jelas menjurus kepada kemusyrikan, kita akan tinggalkan. Sebagai contoh, gamelan dan wayg kulit kita dapat memberi warna Islam sesuai dgn selera masyarakat. Adapun kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di kemudian hari mau ada orang yg menyempurnakannya.”

 

Sepintas, kedua pendapat itu bertolak-belakang, namun sejatinya mengandung hikmah mendalam dan tujuan yg sama. Sunan Ampel mengmaukan Islam langsung disiarkan secara murni dan konsekuen agar umat tak tergelincir pada bid’ah dan syirik. Sementara Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang mengmaukan Islam disebarkan secara bertahap, dan cara itu terbukti cepat diterima masyarakat. Berkat usaha asimilasi di tangan Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, penduduk Jawa secara sukarela berbondong-bondong masuk Islam.

 

Naskah yg berisi diskusi Sunan Ampel dan Sunan Kudus ini tertulis dalam dokumen perpustakaan Leiden di Belanda. Menurut Darul Aqsha, tokoh Wali Songo yg mengmaukan buat lebih menjaga keaslian Islam dipelopori Sunan Ampel dan Sunan Giri, sedangkan yg memilih buat memanfaatkan tradisi lama dipelopori Sunan Kalijaga dan Sunan Giri (Darul Aqsha, K.H. Mas Mansur 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Jakarta: Erlangga, hal. 2).

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor: Mahbib





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.