Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tak. Sebuah fenomena yg sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.
Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yg lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.
Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yg dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, sebab tuduhan “sekejam†itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?
Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:
Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:
Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:
Artinya: “Segala ikatan dan kesulitan dapat lepas sebab Nabi Muhammad.”
وَتَنْÙَرÙج٠بÙه٠الْكÙرَبÙ
Artinya: “Segala bencana dapat tersingkap dgn adanya Nabi Muhammad.”
وَتÙقْضَى بÙه٠الْØَوَائÙجÙ
Artinya: “Segala kebutuhan dapat terkabulkan sebab Nabi Muhammad.”
وَتÙنَال٠بÙه٠الرَّغَائÙبÙ
Artinya: “Segala kemauan dapat didapatkan dgn adanya Nabi Muhammad.”
Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan sebab secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yg hanya dimiliki Allah, seperti dapat menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan kemauan serta doa hanyalah Allah.
Bantahan dari Ilmu Sharaf dan Nahwu Dasar
Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yg memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.
Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil sebab mereka besar justru sebab keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil sebab persoalan bahasa ialah perkara teknis yg tentu telah dikuasai oleh mereka yg telah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yg tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yg justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.
Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yg berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata Ù…Øمّد.
Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.
تَنْØَلّ٠بÙه٠الْعÙقَد٠وَتَنْÙَرÙج٠بÙه٠الْكÙرَب٠وَتÙقْضَى بÙه٠الْØَوَائÙج٠وَتÙنَال٠بÙه٠الرَّغَائÙبÙ
Pertama, تَنْØَلّ٠بÙه٠الْعÙقَد٠.
Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْØَلّ٠merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْØَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْÙَعَلَ yg memiliki fungsi/faedah لمÙطَاوَعَة٠Ùَعَلَ (dampak dari Ùَعَلَ). Demikian penjelasan yg kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.
Contoh:
كَسَرْت٠الزّÙجَاجَ Ùَانْكَسَرَ
“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.†Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) sebab dampak dari tindakan subjek “saya†yg memecahkan.
Contoh lain:
Øَلّ اللهÙ العÙقَدَ ÙَانْØَلَّتْ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.†Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas sebab Allahlah yg melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْÙَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi†sebab ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْØَلّ٠بÙه٠الْعÙقَد٠dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu ialah kesimpulan yg keliru, sebab tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya (dan hakikinya) tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمÙطَاوَعَة٠Ùَعَلَ.
Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:
رَبّ٠اشْرَØÙ’ Ù„ÙÙŠ صَدْرÙÙŠ وَيَسّÙرْ Ù„ÙÙŠ أَمْرÙي وَاØْلÙلْ عÙقْدَةً Ù…Ùنْ Ù„ÙسَانÙÙŠÂ ÙŠÙŽÙْقَهÙوا قَوْلÙÙŠ
“Ya Rabbku, lapangkanlah buatku dadaku, mudahkanlah buatku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.â€
Kedua, تَنْÙَرÙج٠بÙه٠الْكÙرَبÙ
Senada dgn penjelasan di atas, تَنْÙَرÙج٠merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْÙَرَجَ, yg juga mengikuti wazan انْÙَعَلَ. Faedahnya pun sama لمÙطَاوَعَة٠Ùَعَلَ (dampak dari Ùَعَلَ).
Ketika dikatakan تَنْÙَرÙج٠بÙه٠الْكÙرَب٠maka dapat diandaikan bahwa Ùَرَجَ الله٠الكÙرَبَ ÙَانْÙَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yg membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.
Ketiga, تÙقْضَى بÙه٠الْØَوَائÙجÙ
Kata تÙقْضَى ialah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Dalam ilmu nahwu, fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il sebab dianggap telah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْØَوَائÙج٠menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul†maka kita dapat mengandaikan adanya pelaku pemukulan yg sedang disamarkan.
Dengan demikian kita dapat mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.
يَقْضÙÙŠ الله٠الْØَوَائÙجَ
“Allah mau mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.â€
Keempat, تÙنَال٠بÙه٠الرَّغَائÙبÙ
Penjelasan ini juga nyaris sama dgn kasus تÙقْضَى بÙه٠الْØَوَائÙجÙ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan kemauan-kemauan sebab Allah-lah yg melakukan hal itu yg dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tak disebutkan sebab dianggap telah diketahui.
Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan kemauan-kemauan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yg dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dgn susunan redaksi shalawat yg tak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yg berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.
Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya dapat menjerumuskan kepada pemahaman yg keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dgn modal teks terjemahan. Wallahu a’lam. (Mahbib Khoiron)