Siapa Orang Kafir pada Awal Surat Al-Baqarah?

Ketika selesai menjelaskan mengenai sifat dan ciri orang yg bertaqwa di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 1-5, Allah SWT memperingatkan mengenai ahwal orang-orang yg kafir. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 6, Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Artinya, “Sungguh orang-orang yg kafir itu, baik kamu peringatkan atau tak, mereka tiada mau beriman,” (Surat Al-Baqarah ayat 6).

Mengapa mereka tetap tak mau beriman meskipun telah diperingatkan? Allah SWT menjawab dalam ayat berikutnya: 

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya, “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Demikian pula, Allah memasang penutup atas penglihatan mereka. Bagi mereka ialah adzab yg maha pedih,” (Surat Al-Baqarah ayat 7).

Sekilas ayat ini menyebut bahwa keimanan ternyata memiliki penghalang (al-mawani’). Mawa’ni’ ini disebutkan oleh Allah SWT sebagai khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim (Allah berkehendak buat mengunci hati mereka dan pendengaran mereka).  As-Sa’dy dalam kitab tafsirnya menjelaskan kondisi ini sebagai:

طبع عليها بطابع لا يدخلها الإيمان, ولا ينفذ فيها، فلا يعون ما ينفعهم, ولا يسمعون ما يفيدهم

Artinya, “Allah mengunci hati mereka dgn kunci yg sebabnya iman tak dapat masuk ke dalam hati dan mengakar ke dalam. Jika telah demikian, maka tiada sesuatu pun yg dapat memberi manfaat kepada mereka, apa yg mereka dengar tiada dapat memberi faedah kepadanya,” (Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taysirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, [Riyadl, Darus Salam lin Nasyr wat Tauzi’: 2002 M], halaman 31).

At-Thabari menukil riwayat tafsir dari Ibnu Abbas, bahwa yg dimaksud dgn kaum yg dikunci hatinya dalam ayat ini ialah kaum Yahudi. Ibnu Abbas menjelaskan: 

وكان ابن عباس يرى أنَّ هذه الآية نـزلتْ في اليهود الذين كانوا بنَواحي المدينةِ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، توبيخًا لهم في جُحودهم نبوَّةَ محمد صلى الله عليه وسلم وتكذيبِهم به, مع علمهم به ومعرفتِهم بأنّه رسولُ الله إليهم وإلى الناس كافّة.

Artinya, “Ibnu Abbas memandang bahwa ayat ini diturunkan atas kaum Yahudi, yaitu orang-orang yg tinggal di seantero Madinah di masa Rasulillah SAW sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka disebabkan watak keras kepala (juhud) mereka terhadap kenabian Muhammad SAW, bahkan sikap mereka condong pada mendustakan risalah tersebut, padahal mereka mengetahui bahwa beliau diutus kepada mereka dan buat manusia seluruhnya,” (Abu Ja’far At-Thabary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah: Tanpa Tahun]: juz I, halaman 251).

Lebih tegas lagi, Ibnu Abbas menjelaskan dalam atsar riwayat tafsirnya mengenai pihak yg disinggung di sini, yaitu: 

عن ابن عباس: أن صَدر سورة البقرة إلى المائة منها، نـزل في رجال سَمَّاهم بأعيانهم وأنْسَابهم من أحبار يهود, من المنافقين من الأوس والخزرج. كرهنا تطويل الكتاب بذكر أسمائهم

Artinya, “Dari Ibnu Abbas, sungguh 100 ayat dari Surat Al-Baqarah diturunkan buat menjelaskan perilaku beberapa orang ternama Yahudi di kalangan mereka sebab kondisi ekonominya dan nasabnya dan termasuk kaum cerdik pandai mereka, namun termasuk kalangan munafiq qabilah Aus dan Khazraj,” (Abu Ja’far At-Thabary, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, [Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyah: Tanpa Tahun]: juz I, halaman 251).

Nah, dalam Surat Al-Baqarah ayat 7 ini digambarkan mengenai watak keras kepala mereka tersebut, sebagai yg dikunci mati hati serta pendengarannya, dan pandangan matanya ditutup (wa ‘ala absharihim ghisyawatun).

Ketika sampai pada penafsiran ayat wa ‘ala absharihim ghisyawah (dan pandangan mereka ditutup), Syekh Abdurrahman As-Sa’di lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:

 غشاء وغطاء وأكنة تمنعها عن النظر الذي ينفعهم, وهذه طرق العلم والخير, قد سدت عليهم, فلا مطمع فيهم, ولا خير يرجى عندهم، وإنما منعوا ذلك, وسدت عنهم أبواب الإيمان بسبب كفرهم وجحودهم ومعاندتهم بعد ما تبين لهم الحق كما قال تعالى: { وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ } وهذا عقاب عاجل. ثم ذكر العقاب الآجل، فقال: { وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } وهو عذاب النار, وسخط الجبار المستمر الدائم

Artinya, “Diselimuti kabut tebal (gasya’), tertutup oleh tabir (ghitha’) dan tertutup oleh keadaan, sehingga menghalanginya dari akses buat dapat melihat sesuatu yg memberi manfaat. Padahal hati, pendengaran dan pandangan ialah pintu masuknya ilmu dan kebaikan. Namun, pintu-pintu itu telah dibuntu buat mereka, sebabnya tiada lagi harapan bagi mereka, dan tiada kebaikan yg dapat diharapkan dari sisi mereka. Sungguh penyebab terhalangnya mereka dari hal itu semua, dan terbuntu dari pintu keimanan, ialah kekufuruan yg mereka buat dan keras kepala mereka, bahkan sebab pembangkangan mereka setelah jelasnya perkara hak kepada mereka, sebagaimana Firman Allah SWT, ‘Kami balikkan hati mereka dan pandangan mereka sehingga mereka seperti kaum yg tiada beriman di awal kali turunnya wahyu.’ Inilah siksa Allah yg disegerakan. Kemudian Allah menyebutkan siksa yg tidunda atas mereka dgn firman-Nya, “dan bagi mereka kelak azab yg sangat pedih”, yaitu azab neraka, dan dibenci oleh Allah Zat Yang Maha Memaksa secara terus-menerus dan kekal,” (Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taysirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, [Riyadl, Darus Salam lin Nasyr wat Tauzi’: 2002 M], halaman 32).

At-Tanthawi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ada keistimewaan dalam pilihan kata yg dipergunakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 7 ini. Allah SWT membuat pilihan diksi al-khatam (kunci) buat hati dan pendengaran. Sementara buat mata digunakan kata ghisyawah (kabut penutup). Menurutnya, bahaya pandangan itu telah diketahui bersama. Oleh sebabnya bila disampaikan kabut penutup pada mata, maka pengertiannya pun juga jelas. Lebih jelasnya, ia menyampaikan:

فالتعبير في جانب العين بالغشاوة مما يحدد لنا مدى عجزهم عن إدراك آيات الله بتلك الجارحة ، وأما القلب والسمع فإنهما لما كانا لا تدرك آفتهما إلا بصعوبة ، فقد صور لنا موانعهما عن الاستجابة للحق بصورة الختم

Artinya, “Istilah yg disandarkan pada mata berupa ghisyawah merupakan istilah yg jatuh mudah ditangkap oleh pemahaman kita bahwa mereka menjadi lemah dalam menangkap pesan ayat-ayat Allah yg telah diturunkan dgn perantara anggota jasmani ini. Adapun hati dan pendengaran, keduanya tak mampu menangkap bahaya keduanya kecuali dgn kesulitan. Maka dari itu dapat kita baygkan bahwa terhalangnya hati dan pendengaran tersebut ialah berupa sulit menerima kebenaran sehingga diumpamakan khatam (terkunci),” (At-Tanthawy, Tafsirut Tanthawy).

Keunikan lain dari ayat khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala absharihim ghisyawah ada pada pemakaian jumlah dari keduanya. Ayat khatamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim, disampaikan dgn menggunakan jumlah fi’liyah (struktur verba), sementara wa ‘ala absharihim ghisyawah disampaikan dalam bentuk jumlah ismiyah (struktur nomina). Penggunaan struktur yg berbeda ini memiliki maksud yg berbeda pula.

Jumlah fi’liyah yg dilekatkan pada qalbu dan pendengaran memiliki faidah at-tajaddud wa al-huduts (kejadian yg baru dan diciptakan). Sementara jumlah ismiyyah yg dilekatkan pada abshar berfaidah menyatakan at-tsabat wal istiqrar (tetap dan senantiasa terjadi). Dengan mencermati pada faidah ini, At-Tanthawi menyampaikan penafsirannya sebagai berikut:

لأنهم قبل الرسالة ما كانوا يسمعون صوت نذير، ولا يواجهون بحجة ، وإنما كان صوت النذير وصياغة البراهين بعد ظهور النبي صلى الله عليه وسلم . وأما ما يدرك بالبصر من دلائل وجود الله وآيات قدرته ، فقد كان قائماً في السماوات وفي الأرض وفي الأنفس ، ويصح أن يدرك قبل الرسالة النبوية ، وأن يستدل به المتبصرون والمتدبرون على وجود ربهم وحكمته ، فلم يكن عماهم عن آيات الله القائمة حادثاً متجدداً ، بل هم قد صحبهم العمى من بدء وجودهم ، فلما دعوا إلى التبصر والتدبر صمموا على ما كانوا عليه من عمى

Artinya, “Sungguh mereka tiada pernah mendengar suara peringatan sebelum risalah Nabi SAW, dan tak pernah adu hujjah. Pendengaran mereka atas suara peringatan dan bukti-bukti petunjuk ialah hanya setelah pengutusan Nabi SAW. Adapun bukti yg dapat ditangkap oleh pandangan berupa dalil-dalil petunjuk adanya Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, maka hal itu semua telah tersedia di langit dan di bumi serta pada diri mereka. Mereka dapat menangkap tanda-tanda itu dgn pandangan meski sebelum risalah kenabian, berbekal pencarian petunjuknya kaum ahli meneliti dan memanfaatkan angan-angan mereka atas keberadaan wujud Allah, Tuhan mereka, serta pencarian hikmah. Oleh sebab itu pula, sifat buta pandangan mereka terhadap ayat-ayat Allah, ialah bukan sesuatu yg bersifat baru terjadi, melainkan sebab bertemannya mereka dgn orang yg membutakan pandangan sejak diciptakannya mereka ke dunia. Maka dari itu pula, ketika mereka diajak buat menggunakan pandangan dan angan-angan mereka, mereka menulikan diri dgn tetap mengikuti pandangan-pandangan kaum yg tak memanfaatkan anugerah pandangan,” (At-Tanthawy, Tafsirut Tanthawy).

Dengan kata lain, dgn mencermati faidah jumlah fi’liyah dan ismiyyah tersebut, dapat ditangkap makna bahwa hakikatnya manusia dari sisi fitrahnya ialah fitrah ketuhanan. Maksudnya, dalam diri mereka telah dikaruniai bekal pandangan yg dapat dimanfaatkan buat menangkap pesan keberadaan Tuhan, meski pun belum ditemui adanya risalah. Itulah sebabnya, pandangan disampaikan dalam jumlah ismiyyah yg berfaedah tsubut dan istiqrar dan berbeda dgn pemakaian jumlah fi’liyah pada hati dan pendengaran. Petunjuk hati dan pendengaran ialah setelah risalah, namun buat mata, ia mampu menangkap petunjuk sebelum risalah.

Adanya sekelompok kaum Yahudi tak dapat menangkap petunjuk tersebut ialah disebabkan sebab lingkungan mereka yg tak mau menggunakan pandangan dan angan-angannya tersebut. Bagi mereka yg tak mau menggunakan potensi hati, pendengaran dan pandangan ini kelak oleh Allah mau diazab dgn azab yg teramat pedih di akhirat. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah–Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.