Sikap & Perasaan Malu yg Mendatangkan Rahmat Allah

Salah satu sifat yg mulia bagi seorang manusia, menurut para ulama, ialah rasa malu. Manusia kerap dihadapkan pada hal-hal yg membuat tak nyaman, dan secara psikologis, salah satu mekanisme perasaan yg muncul ialah rasa malu. Namun mungkin belum cukup dipahami, malu seperti apa yg menjadikan seorang manusia lebih mulia, dan dapat mendatangkan rahmat Allah?

 

Salah satu riwayat hadits dalam al-Arba’in an-Nawawiyah membicarakan soal sikap dan rasa malu, yaitu hadits berikut:

 

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ  عقبه بن عمرو الانصاري الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ . رَوَاهُ الْبُخَارِي

 

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Masud Uqbah bin ‘Amr Al Anshari bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yg telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yg terdahulu: bila kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu. (HR. Al Bukhari)

 

Terkait hadits di atas, para ulama memiliki beragam pendapat seputar rasa malu. Hadits itu memuat bentuk perintah: lakukanlah apa pun yg kau mau atau berbuatlah sesukamu. Ada yg memaknainya seagai bentuk khabar atau pernyataan, meski ia memuat bentuk amr atau perintah. Seakan maknanya ialah “bila kau tak dicegah rasa malu, maka berbuat hal sesukamu ialah keniscayaan.” Karena itu rasa malu mesti dimiliki seorang manusia supaya mencegah perbuatan maksiat dan dosa, baik dosa besar atau kecil.

 

Ada juga ulama yg mengatakan hadits itu ialah bentuk ancaman. Ia menjadi semacam sindiran bagi manusia: “kalau kamu berbuat hal-hal sesukamu, kelak mau mendapat balasan siksa dari Allah”.

 

Begitu pula ada penjelasan terkait hadis itu bahwa perbuatan yg tak menimbulkan rasa malu, maka ia patut dan perlu dilakukan. Perbuatan yg tak dibebani perasaan malu dan bersalah itu dapat jadi ialah bagian dari kebaikan. Kalau menimbulkan rasa malu, maka perlu ditinggalkan. Demikian catatan Syekh Ahmad bin Syekh Al Fasyani dalam kitab al-Majalisus Saniyyah syarah dari kitab al-Arba’in an-Nawawiyah.

 

Perihal rasa malu, ada yg sesuai dan diperkenankan syariat tapi ada yg tak elok dan tercela. Sebagai contoh, malu yg kurang relevan ialah ketika malu bertanya tentang hal yg tak diketahui dalam hal ilmu. Kita kenal peribahasa populer: malu bertanya sesat di jalan. Dampak malu bertanya ini dapat menjerumuskan ke dalam ketaktahuan – bahkan kesesatan sebab berani menyimpulkan sesuatu sendiri. Karena itulah kita sering sekali mendengar dalam hadits bahwa para sahabat menanyakan beragam persoalan kepada Nabi, baik dari sahabat pria maupun wanita. Bisa sebab belum tahu, atau sebab mau klarifikasi dan diskusi dgn Nabi.

 

Rasulullah pernah bersabda kepada para sahabat, diriwayatkan dari Abdullah bin Masud radliyallahu ‘anhu. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Imam al-Baihaqi, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

 

“Merasa malulah kepada Allah, dgn rasa malu yg sungguh-sungguh.” sabda Nabi pada sahabat dalam sebuah majelis. Para sahabat pun menimpali, “Alhamdulillah, kami telah memiliki rasa malu itu”. Namun Nabi meluruskan apa sifat malu yg mesti dicermati dan diamalkan,

 

و ليس ذاك، ولكن الاستحياء من الله حق الحياء أن تحفظ الرأس وما وعى، والبطن وما حوى، ولتذكر الموت والبلى، ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا، فمن فعل ذلك استحيا من الله حق الحياء

 

“Bukan begitu, tetapi sesungguhnya malu kepada Allah ialah kalian menjaga kepala (maksudnya ialah akal dan pikiran), memelihara perut (dari hal yg diharamkan), serta senantiasa mengingat kematian. Orang yg mengharapkan akhirat mau meninggalkan gemerlapnya dunia, dan orang yg telah melampaui itu telah sungguh malu kepada Allah.”

 

Sementara ulama mengartikan kalimat “malulah kepada Allah dgn sungguh-sungguh” sejalan dgn makna “bertakwalah kepada Allah dgn sesungguh-sungguhnya ketakwaan.” Dari ulasan di atas, dapat dipahami pula bahwa malu yg menjadi sebab rahmat Allah ialah yg seiring dgn usaha meningkatkan takwa kepada Allah.

 

Demikianlah rasa malu yg perlu dimiliki seorang muslim maupun manusia pada umumnya, yg dapat meningkatkan derajat kemuliaan dan mendatangkan rahmat Allah. Rasa malu yg dimaksud ialah rasa malu buat berbuat dosa dan maksiat, maupun malu yg mendatangkan akhlak mulia pada sesama dan ketakwaan. Bukanlah malu yg dimaksud ialah malu mengakui kesalahan, malu menyadari ketaktahuan, atau malu dalam belajar. Wallahu a’lam.

 

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.