Sikap Politik Nahdlatul Ulama, Begini Poin Pentingnya

PeciHitam.org – Berbicara mengenai Nahdlatul Ulama (NU) tak mau terlepas dari posisinya sebagai organisasi kemasyarakatan yg menygkut dua dimensi, yaitu dimensi kultur sosial dan politik. Untuk itu disini kita mau membahas mengenai bagaimana Sikap Politik Nahdlatul Ulama yg sesungguhnya

Membaca perjuangan Nahdlatul Ulama, menurut Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, menjelaskan bahwa mulai dari awal pembentukannya pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah, Nahdlatul Ulama sebenarnya merupakan wadah perjuangan politis para ulama tradisionalis buat tetap meneguhkan eksistensi sikap politis mereka dalam beragama di tengah maraknya gerakan pembaharuan keagamaan.

Masih dalam buku yg sama, Choirul Anam juga memaparkan bahwa masuknya ulama ke arena politik praktis dalam wadah Nahdlatul Ulama sendiri tak hanya diartikan sebagai perjuangan politis eksistensi kebebasan bermazhab (mazhab empat, yaitu Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi’i).

Melihat track record NU yg hampir selalu memegang posisi penting di pemerintahan terutama dalam bidang agama seperti KH A. Wahid Hasyim dan KH Masykur menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Perlementer.

KH Muhammad Ilyas, KH Wahib Wahab dan KH Saifuddin Zuhri secara bergantian juga menduduki jabatan sebagai Menteri Agama di masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Bahkan hingga tahun 2019 pada masa akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, NU juga masih memegang peranan penting di Kementerian Agama.

Baca Juga:  Beredar Selebaran Bubarkan Banser, Aktivis Papua; Itu Bukan Kami, Waspada Provokasi

Jika dilihat peranan NU dalam dunia perpolitikan Indonesia, ada empat hal utama, antara lain:

Pertama, dgn adanya ulama yg masuk ke kancah politik, diharapkan mampu bertindak sebagai aktor yg mampu membersihkan praktik politik yg kotor melalui sikap integritas keagamaannya.

Kedua, para ulama yg masuk ke arena politik membawa semangat amar ma’ruf nahi munkar sehingga diharapkan juga mampu membebaskan dunia politik dari kepentingan politik kotor.

Ketiga, ulama berperan sebagai filter sosial dan pemecah konflik dalam manajemen konflik di mana politik yg cenderung mengedepankan adanya komunalitas sendiri cenderung mudah terkontaminasi oleh berbagai isu-isu SARA.

Keempat, para ulama diharapkan mampu buat menjaga persatuan dan kesatuan umatnya supaya tak terombang-ambing oleh berbagai macam kepentingan politis.

Menurut Abdul Gaffar Karim, dalam bukunya Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam di Indonesia menjelaskan bahwa, Khittah 1926 bagi warga nahdliyyin sendiri berimplikasi luas pada pemahaman konseptual dan praktikal NU terhadap politik praktis. Hal tersebut tercantum pada lembar Keputusan Muktamar NU No.06/MNU-28/1989 tentang masalah umat yg di dalamnya memuat pandangan dan sikap NU terhadap politik antara lain:

  1. “Berpolitik Bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga ncgara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dgn Pancasila dan UUD 1945.
  2. Politik bagi Nahdlatul Ulama ialah politik yg berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dgn langkah-langkah yg senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan buat mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yg adil dan makmur baik secara lahir maupun batin, dan dapat dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
  3. Politik bagi Nahdlatul Ulama ialah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yg hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa buat menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab buat mencapai kemaslahatan bersama.
  4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dgn moral, etika dan budaya yg ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yg adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dgn kejujuran murni dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dgn peraturan dan norma-norma yg disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
  6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan buat memperkokoh konsensus nasional, dan dilakukan sesuai dgn akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
  7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dgn dalil apa pun, tak boleh dilakukan dgn mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.
  8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
  9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional buat menciptakan iklim yg memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yg lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana bagi masyarakat buat berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan”.

Begitulah pandangan dan sikap politik Nahdlatul Ulama yg dapat dijadikan acuan sebelum kita masuk ke ranah politik.

Baca Juga:  Resmi, Pemerintah Papua Tegas Menolak FPI Dan HTI





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.