Tahapan Pensyariatan Puasa Ramadhan (1)

Ibadah puasa tak hanya diwajibkan kepada umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Informasi itu dgn jelas kita dapatkan dalam petikan ayat, “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).

Di zaman Rasulullah, pensyariatan puasa mencapai puncak kematangannya. Meski demikian, sebagaimana pensyariatan ibadah lain, ibadah puasa disyariatkan secara bertahap, bukan diberikan sekaligus dgn waktu dan tata cara seperti yg kita kenal sekarang.

Ada beberapa tahapan pensyariatan di dalamnya. Tahapan itu tentu berjalan sesuai dgn hikmah, kasih sayg, dan kelembutan Allah, Zat pemberi syariat kepada hamba-Nya. Dalam kaitan ini, Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman menyebutkan tahapan tersebut (Lihat As-Shaumu Junnatun,  halaman 17):

Pertama, adanya perintah berpuasa ayyamul bidh (puasa tiga hari pada) setiap bulan hijriyah dan puasa ‘Asyura setiap tanggal 10 Muharram. Bahkan, puasa ‘Asyura sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana riwayat Muslim (nomor 1128) dari Jabir bin Samurah.

Jabir menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah kami berpuasa ‘Asyura. Beliau pun mendorong kami dan meminta kesanggupan kami menunaikannya. Namun, ketika puasa Ramadhan difardhukan, beliau tak lagi memerintah kami, tak lagi melarang kami, dan tak lagi meminta kesanggupan kami.”

Kefardhuan puasa Ramadhan dimulai sejak turun ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yg beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).

Kedua, keringanan berbuka puasa Ramadhan bagi yg mampu asalkan mengeluarkan kewajiban fidyah. Artinya, siapa yg mau berpuasa, maka ia dapat menunaikannya. Yang tak mau, ia boleh meninggalkannya asalkan menunaikan fidyah.

Ketentuan ini terjadi sebab mungkin pada saat itu masih banyak sahabat yg belum terbiasa berpuasa sehingga puasa mau memberatkan mereka. Hal ini berdasarkan ayat yg terjemahannya, “Dan wajib bagi orang-orang yg berat menjalankannya (bila mereka tak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin, (Surat Al-Baqarah ayat 84).

Ketiga, keringanan berbuka puasa bagi yg mampu dihapus. Hal itu berdasarkan ayat, “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yg ditinggalkannya itu, pada hari-hari yg lain,” (Surat Al-Baqarah ayat 185).

Dalam kaitan ini, Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Salamah bin Al-Akwa‘ menuturkan, “Ketika turun ayat, ‘Dan wajib bagi orang-orang yg berat menjalankannya (bila mereka tak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin,’ (Surat Al-Baqarah ayat 184), maka siapa yg mau berbuka, maka berbukalah tetapi harus berfidyah.”

Ketentuan itu berlangsung terus sampai dihapus dgn ayat setelahnya. Dengan demikian, setelah turun ayat penghapus, muslim pun yg menyaksikan hilal Ramadhan wajib berpuasa. Tidak ada lagi keringanan berbuka selama mampu.

Keempat, keringanan berbuka di bulan Ramadhan hanya diberlakukan dalam dua keadaan. Keadaan pertama bagi orang yg sakit. Puasa dapat memberatkan atau memperlambat kesembuhannya. Keadaan kedua berlaku bagi orang yg bepergian jauh, terutama berpergian yg dilakukan sejak terbit fajar.

Orang yg menghadapi salah satu dua keadaan ini boleh berbuka dan mengqadhanya di hari yg lain sebanyak hari yg ditinggalkan sebagaimana amanat ayat yg terjemahannya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yg ditinggalkannya itu, pada hari-hari yg lain,” (Surat Al-Baqarah ayat 185).

Melalui beberapa tahapan di atas, maka tetaplah pensyariatan puasa Ramadhan; wajib dilakukan setiap muslim selama satu bulan kecuali yg sedang sakit atau berpergian jauh. Semua tahapan dan ketentuan ini tak terlepas dari hikmah, kasih sayg, dan kelembutan Allah kepada hamba-Nya.

Maha benar Allah yg tak mengmaukan kesulitan bagi mereka, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yg diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur,” (Surat Al-Baqarah ayat 185). (Lihat Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman, As-Shaumu Junnatun, halaman 17).

 

Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.