Tak Mendengar Fatihah Imam, Bagaimana Makmum Membaca Amin?

Shalat jamaah memiliki keutamaan melebihi shalat sendirian. Shalat Jamaah memiliki ketentuan yg tak sama dgn shalat sendirian. Banyak beberapa persoalan yg dibahas dalam bab shalat jamaah. Sehingga ada beberapa kitab yg secara khusus membahasnya, seperti kitab Ahkam al-Imam wa al-Ma’mum karya al-Imam Ibnu al-‘Imad.

Di antara permasalahan yg ada dalam shalat jamaah ialah anjuran membaca “âmîn” bagi makmum. Membaca âmîn disunahkan setelah selesai membaca fatihah. Dalam konteks shalat berjamaah, selain anjuran membaca âmîn setelah selesai membaca fatihah, makmum dianjurkan buat membaca âmîn bersamaan dgn âmîn-nya imam. Anjuran ini berlaku di dalam shalat yg bacaannya keras (maghrib, isya’ dan subuh). Keutamaan menyertainya bacaan âmîn-nya imam dan makmum ialah diampuninya dosa-dosa yg telah lampau, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi:

إذا أمن الإمام فأمنوا فإن من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Apabila imam mebaca âmîn, maka ikutlah membaca âmîn. Sesungguhnya orang yg bacaan âmîn-nya menyertai âmîn-nya malaikat, diampuni dosa-dosanya yg telah lampau”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Problematika muncul saat bacaan imam terlalu pelan atau jumlah makmum yg membludak, sebagian makmum tak dapat mendengarkan bacaannya imam, mereka hanya mendengar bacaan âmîn makmum di depannya. Bacaan âmîn di barisan depan merupakan indikasi bahwa imam membaca âmîn dan telah menyelesaikan bacaan fatihahnya.

Pertanyaannya ialah, bagi makmum yg hanya dapat mendengar bacaan âmîn dari makmum lain, bagaimana hukumnya membaca âmîn bagi makmum tersebut? Padahal ia tak dapat mendengar bacaannya imam?.

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Menurut pendapat yg kuat dalam mazhab Syafi’i, hal tersebut tak disunahkan. Menurut pendapat ini, anjuran membaca âmîn bagi makmum hanya berlaku bagi makmum yg mendengarkan bacaan fatihahnya imam secara jelas. Sehingga bila ia tak mendengar bacaan imam atau tak dapat membedakan huruf-huruf yg dibaca imam, maka tak disunahkan lagi membaca âmîn, meski makmum mendengar bacaan âmîn dari makmum lain.

Sedangkan menurut pendapat yg lemah, hukumnya sunah. Menurut pendapat ini, meski makmum tak dapat mendengar bacaan fatihahnya imam, namun telah terwakili dgn bacaan âmîn dari makmum lain yg mendengarnya. Pendapat kedua ini sebagaimana diterangkan al-Imam al-Muzajjad dalam kitab al-Ubab. Menurut informasi dari Syekh al-Barmawi, pendapat kedua ini dilemahkan oleh beberapa guru al-Barmawi.

Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal berikut ini:

ولا يؤمن المأموم إذا لم يسمع قراءة الإمام أو لم يميز ألفاظه وفي العباب أنه يؤمن إذا سمع تأمين المأمومين وضعفه مشايخنا إهـ برماوي

“Dan makmum tak dianjurkan membaca âmîn apabila ia tak mendengar bacaan imam atau tak dapat membedakan huruf-hurufnya. Dalam kitab al-Ubab disampaikan, dianjurkan bagi makmum tersebut membaca âmîn apabila ia mendengar bacaan âmîn makmum yg lain. Dan pendapat ini dilemahkan oleh guru-guru kami. Keterangan dari Syekh al-Barmawi.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 1, hal. 355).

Pendapat pertama senada dgn sebagian pendapat dalam mazhab Maliki. Sedangkan pendapat kedua sama dgn pendapat kalangan Hanafiyyah dan satu pendapat kalangan Malikiyyah, sebagaimana ditegaskan dalam referensi berikut ini:

اتفقت المذاهب الأربعة على أنه يسن التأمين عند سماع قراءة الإمام أما إن سمع المأموم التأمين من مقتد آخر فللفقهاء في ذلك رأيان الأول ندب التأمين وإليه ذهب الحنفية وهو قول للمالكية وقول مضعف للشافعية الثاني لا يطلب التأمين وهو المعتمد عند الشافعية والقول الآخر للمالكية، ولم نقف على نص للحنابلة في هذا إهـ

“Mazhab empat sepakat bahwa sunah membaca âmîn bagi makmum ketika ia mendengar bacaan imam. Adapun bila makmum mendengar âmîn dari makmum lain, para pakar fiqih terdapat dua pendapat. Pendapat pertama sunah membaca âmîn, ini ialah pendapat Hanafiyyah, sebagian qaul dalam mazhab Maliki dan qaul lemah mazhab Syafi’i. Pendapat kedua mengatakan tak disunahkan membaca âmîn, ini ialah pendapat yg dibuat pegangan menurut ulama Syafi’iyyah dan pendapat lain dari kalangan Malikiyyah. Kami tak mengetahui penegasan ulama Hanabilah dalam masalah ini.” (Hai’ah kibar al-Ulama bil Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 1, hal. 112).

Demikian penjelasan yg dapat kami sampaikan. Dua pendapat di atas sama-sama dapat dipakai dan dipertanggungjawabkan, yg paling prisip ialah bagaimana kita dapat saling menghormati atas perbedaan-perbedaan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

(M. Mubasysyarum Bih)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.