Tanggung Jawab Petani Penggarap & Pemilik Lahan versi Mazhab Hanbali

Meskipun akad musaqah itu asalnya berangkat dari akad ja’izah, yaitu hukum kebolehan melakukannya, tetapi buntut ikatan akibat terjadinya akad ialah bersifat lazim (mengikat). Sifat kelaziman ini ibaratnya ialah risiko yg harus dilakukan. Ditinjau dari sisi ushulul khamsah, maka kaidah yg berlaku atas akad kelaziman ini, ialah:

التابع تابع

Artinya, “Hukum pengikut ialah mengikuti.”

Hal ini berlaku buat semua kalangan pendapat ulama mazhab, termasuk di antaranya tiga ulama mazhab terdahulu yg telah kita kupas.

Dilihat dari sisi tugas yg harus dilakukan oleh dua pihak yg saling berakad musaqah ini, seperti biasanya kita mau bedakan menurut sisi amil dan pemilik lahan. Karena dalam tulisan ini kita fokus pada kajian mazhab Hanbali, maka kitab rujukan dasar yg kita pergunakan buat mengidentifikasinya, ialah kitab karya ulama Mazhab Hanbali, yaitu Al-Mughny libni Qudamah, juz V, halaman 401-403. Pembaca dapat merujuk ke kitab tersebut buat mendapatkan penjelasan lebih.

Pertama, Tugas Petani Penggarap (Amil)

Dalam Mazhab Hanbali, secara umum, hal yg bersifat mengikat dan menjadi kelaziman seorang amil akibat akad yg telah dibangunnya dgn rabbul mal (pemilik lahan) ialah segala hal yg berkaitan langsung dgn upaya menjaga supaya hasil panen tetap tinggi, kualitas buah yg bagus, ditambah usaha mengolah lahan di mana tanaman itu di tanam.

Termasuk bagian dari usaha mengolah lahan yg menjadi tugas seorang amil ialah menyediakan sapi yg digunakan buat membajak, alat bajak, menyirami tanaman, mengalirkan air ke area tanaman, memperbaiki saluran air, menjaga kelancaran alirannya, menyiangi gulma, membersihkan duri, menebang pohon yg telah tak produktif lagi atau mati, atau sekadar dahan yg kering dan mengganggu, memangkas anggur karam, menjaga jarak tanaman, membagusi selokan sebagai tempat menampung air antarguludan, memupuk tanaman, mengobati tanaman supaya buahnya tetep bagus dan tak diserang penyakit, sampai dgn membagi hasil panen, bahkan menjemurnya.

Kedua, Tugas Pemilik Lahan (rabbul mal)

Di dalam Al-Mughny disebutkan bahwa, tugas utama pemilik lahan (rabbul mal) dalam akad musaqah, ialah menjaga batas-batas ushul lahan, yaitu modal utama yg dapat membantu tugas petani penggarap. Misalnya ialah membangun tembok atau pagar kebun, membuat saluran irigasi dari sungai ke kebun sebagai bekal petani penggarap menyirami tanaman, membikin tandon atau tempat penampungan air hujan, menyiapkan sumur, membeli tandan sari sebagai bahan buat mengawinkan tanaman.

Kalau sekarang, istilah tandan sari ini mungkin menyerupai obat atau pupuk perangsang buah atau memperbanyak getah karet atau daun pada tanaman teh.

Terkadang para pakar fiqih kontemporer meringkas pola pembagian tugas antara petani penggarap dan pemilik lahan ini sebagai berikut ini:

كُل مَا يَتَكَرَّرُ كُل عَامٍ فَهُوَ عَلَى الْعَامِل وَمَا لاَ يَتَكَرَّرُ فَهُوَ عَلَى رَبِّ الْمَال

Artinya, “Segala pekerjaan yg sifatnya rutin dilakukan setiap tahunnya, maka itu ialah tugasnya amil. Sementara tugas dari pemilik lahan ialah memberi solusi buat hal yg tak bersifat rutin.” (Aujazul Masalik, juz 13, halaman 435).

Pendapat yg kiranya menyerupai pendapat di atas juga tertuang dalam Kifayatul Akhyar, juz II, halaman 398, salah satu kitab fiqih mazhab Syafi’i. Di dalam ibaratnya, Syekh Taqiyuddin Al-Hushny menjelaskan sebagai berikut:

على العامل كل ما تحتاج إليه الثمار لزيادة أو إصلاح من عمل بشرط أن يتكرر كل سنة وإنما إعتبرنا التكرر لأن ما لايتكرر كل سنة يبقى أثره بعد الفراغ من المساقاة

Artinya, “Wajib atas petani penggarap melakukan segala aktivitas yg dibutuhkan buat membuahkan tanaman, meningkatkan kapasitas produksinya, atau hal ihwal yg berhubungan dgn pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dgn syarat pekerjaan itu bersifat rutin (berulang) setiap tahunnya. Kami menggunakan istilah aktivitas rutin ini sebab segala aktivitas yg bersfat tak rutin tiap tahunnya, maka ia pengaruh dari aktivitas itu ialah bersifat permanen sampai selesainya akad musaqah.” (Kifayatul Akhyar, juz II, halaman 398).

Adapun membeli tandan sari, atau segala keperluan obat dan pupuk buat membuahkan tanaman, ialah tanggung jawab pemilik lahan.

Beberapa Hal yg Diperselisihkan

Ada sebuah selisih pendapat di kalangan ulama Hanabilah terkait dgn pembagian tugas dalam akad musaqah. Sebagai catatan khusus dalam mazhab Hanbali ialah: segala ketentuan yg telah disebutkan di atas, berlaku khususnya bila akad musaqah itu berjalan secara mutlak, tanpa adanya penjelasan mengenai rincian tugas masing-masing pihak yg berakad.

Mensyaratkan salah satu dari masing-masing tugas di atas kepada pihak lainnya, di satu sisi ada kalangan hanabilah yg menyebut sebagai dapat merusak akad. Alasan yg dijadikan dasar, ialah sebab pensyaratan itu termasuk akad murakkab (ganda) yg mukhalif terhadap muqtadhal’aqdi.

Maksudnya ialah bahwa tindakan mensyaratkan salah satunya dari pihak yg berakad ke pihak lainnya bertentangan dgn tujuan utama dari pensyariatan akad musaqah, yaitu saling tolong-menolong. Pembebanan syarat yg memberatkan salah satu dari kedua pihak yg berakad dapat dipandang sebagai keluar dari dasar syariat tolong-menolong (ta’awun) itu.

Pendapat ini, bila dirujuk langsung ke riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, tampak menunjukkan perbedaan pemahaman dgn sang Imam sendiri, dan ini diakui oleh Ibnu Qudamah. Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny, sejatinya pensyaratan sebagaimana telah diuraikan di muka, hukum asalnya ialah boleh, sebab keberadaan syarat itu tak mengurangi unsur kemaslahatan dari akad musaqah, juga tak menyebabkan rusaknya amal.

Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan batasan bahwa harus ada rincian tugas amil dan rabbul mal, dan tugas itu harus menjadi kemakluman. Sifat kemakluman ini pada hakikatnya menyerupai makna tradisi (urf) musaqah yg berlaku di masyarakat. Karena bagaimanapun, adanya pembagian tugas dapat dikategorikan sebagai maklum telah barang pasti harus dgn tradisi. Tanpa tradisi, maka tugas itu tak mau dapat disebut sebagai maklum.

Masih menurut riwayat lain dari Imam Ahmad, pembebanan kerja kepada amil yg lebih banyak dari rabbul mal (pemilik lahan) tak menyebabkan rusaknya akad. Alasan yg dpergunakan ialah: 

لأن العامل يستحق بعمله فإذا لم يعمل أكثر العمل كان وجود عمله كعدمه فلايستحق شيأ

Artinya, “Karena sungguh amil memiliki tanggung jawab sesuai atas keharusan pekerjaannya. Jika ia tak melakukan pekerjaan lebih banyak dari pemilik lahan, maka telah pasti amalnya ialah sama halnya dgn tak adanya amal. Malah tak cocok sama sekali.” (Syarhul Kabir libni Qudamah, juz V, halaman 572).

Hal yg sama juga berlaku atas keturutsertaan amil dalam memanen hasil panenan. Dalam satu riwayat, Imam Ahmad sendiri menunjukkan kebolehan mensyaratkannya. Bahkan, bila pengelola tak ikut serta dalam upaya memetik hasil tanaman, maka boleh bagi rabbul mal buat memotong hasil amil buat mengganti ongkos pekerja itu. Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad menyatakan:

في الجذاذ أنه إذا شرط على العامل فجائز لأن العمل عليه وإن لم يشرطه فعلى رب المال بحصته ما يصير إليه 

Artinya, “Terkait dgn panenan, bila disyaratkan kepada petani pengelola buat ikut serta dalam panen, maka hukum mensyaratkan ini ialah boleh, sebab melakukan amal merupakan bagian dari tanggung jawab pengelola. Bahkan andai tak ada perjanjian sebelumnya, pemilik lahan dapat menghitung biaya yg dikeluarkan buat memanen itu.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughny, juz V, halaman 403).

Demikianlah, rincian mengenai pembagian tugas menurut mazhab Hanbali dalam akad musaqah. Kiranya rincian yg lebih detail lagi, pembaca dapat merujuk ke kitab yg dimaksud dalam tulisan singkat ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah wawasan para petani dan pekebun kita. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.