Trading Emas di Pasar Berjangka Komoditas menurut Hukum Islam

Hukum asal jual beli emas ialah boleh. Tukar-menukar emas dgn emas wajib memenuhi syarat taqabudl, tamatsul, dan hulul. Taqabudl ialah sepakat serah terima antara harga dan barang. Tamatsul ialah sepakat dalam kesamaan takaran dan timbangan. Dan hulul ialah diketahuinya jatuh tempo/masa pelunasan.

 

Bila jual beli itu dilakukan antara dua barang ribawi yg tak sejenis (mukhtalifay al-jinsi), maka wajib memenuhi syarat taqabudl dan hulul.

 

Persoalannya ialah, bagaimana bila praktik jual beli emas ini dilakukan di pasar berjangka/pasar derivatif?

 

Sudah barang tentu sistem jual beli dalam pasar turunan ini ialah bahwa barang fisik emas tak ditampilkan secara langsung, melainkan hanya berupa nilai-nilai indeks dari sebuah aset yg berjamin emas (underlying assets).

 

Oleh sebab itu, dalam sistem perdagangan ini, sebuah keniscayaan bahwa harga dan barang ialah tak dapat secara langsung diserahterimakan. Alhasil, tak kontan itu ialah sebuah kelaziman.

 

Dalam Islam, setiap jual beli yg dilakukan dgn jalan penerimaan secara tak langsung, ada jeda waktu antara penyerahan harga dan barang, maka jual semacam ini termasuk kelompok jual beli tempo (bai’ bi al-ajal), atau jual beli salam (akad pesan).

 

Karena sifat dan kadar barangnya juga diketahui, meski dalam bentuk catatan nilai indeks yg secara khusus berisi penjelasan karakteristik produk yg dijual, maka praktik jual beli barang yg diketahui karakteristiknya semacam ini disebut juga dgn istilah bai syaiin maushuf fi al-dzimmahi.

 

Bagaimana hukum semua itu, bila diterapkan pada  praktik jual beli emas di pasar berjangka? Inilah sisi menariknya. Sebab, banyak pihak yg menyatakan bahwa makna taqabudll dan hulul diartikan sebagai wajib kontan, dan langsung  serah terima harga dan barang di majelis akad.

 

Jika anda mengikuti konsepsi kontan semacam ini, maka itu ialah hak anda dan telah barang tentu ada resiko dalam praktiknya. Salah satu resikonya, ialah anda kalau membeli emas, maka anda harus datang ke toko emas secara langsung.

 

Pihak toko pun juga wajib berlaku demikian, yaitu bila hendak membeli emas buat kebutuhan menyetok barang yg diperdagangkan, maka mereka tak boleh dgn memesannya dgn jalan menelepon, dan sejenisnya. Mereka harus datang sendiri ke tempat emas itu dibentuk dan dijadikan perhiasan (huliyyin mubah). Begitu emas itu selesai dicetak, maka pihak toko juga harus menyerahkan harganya secara langsung.

 

Sungguh betapa repotnya bila semua praktik ini harus dilakukan dan sepertinya hal itu tak mungkin diterapkan oleh pihak pedagang yg menjual emas.

 

Pandangan Fiqih Mazhab Syafii terhadap Jual Beli Berjangka Komoditas Emas

Di dalam Mazhab Syafii, hukum utang emas dgn kembali emas, hukumnya ialah boleh tanpa adanya khilaf di kalangan ulama. Aturan mainnya, ialah bahwa emas yg diutang dgn emas yg dipakai melunasi utang, harus memeiliki kadar dan berat yg sama. Utang emas 1 kg, maka kembalinya juga emas 1 kg, tak boleh lebih, dan tak boleh kurang. Jika lebih di salah satu yg ditukarkan atau dikembalikan, maka tak diragukan lagi bahwa kelebihan itu ialah masuk konsepsi akad riba.

 

Secara utang, riba tersebut disebut riba qardli, dan secara jual beli kontan maka riba tersebut merupakan riba al-fadhli. Namun, sebab penyerahannya meniscayakan adanya tempo, maka secara jual beli, kelebihan di salah satu barang yg disertai tempo penyerahan ialah termasuk riba al-yadd, dan bila akad penyerahan itu diketahui waktunya dan terjadi pertambahan seiring adanya tenor yg baru, maka kelebihan itu disebut riba al-nasiah.

 

Di dalam akad utang emas, meniscayakan adanya fisik emas yg berganti, meskipun kadar dan ukurannya sama. Adanya pergantian fisik, menandakan adanya akad pertukaran (mu’awadlah) yg merupakan dasar dari akad jual beli (barter).

 

Pertukaran antara barang fisik, baik yg  sama jenisnya atau tak sama jenisnya, dan dilakukan secara langsung di majelis akad, merupakan istilah  lain dari akad jual beli secara kontan (halan). Sementara itu, akad pertukaran barang fisik yg diselai dgn adanya jeda waktu (tempo), baik dgn jeda waktu sebentar atau lama, menandakan telah terjadi akad jual beli dgn tempo (bai’ bi al-ajal). Jika jeda waktu itu diketahui, maka termasuk jual beli kredit (nasiah). Alhasil, akad utang emas, ialah sama dgn akad jual beli tempo atau akad bai nasa’ (jual  beli kredit).

 

Akad jual beli tempo merupakan istilah lain dari akad perdagangan modern, yg dikenal sebagai akad perdagangan berjangka komoditi dan hukumnya ialah sah, selagi tak ada unsur riba, gharar (spekulatif), maisir (judi) dan ghabn (kecurangan). Jadi, pada dasarnya, perdagangan berjangka (bai’ bi al-ajl), merupakan perdagangan yg diterima konsepnya oleh syariat.

 

Harga yg belum dibayarkan saat terjadinya akad dan saat barang itu diserahkan kepada pembeli, maka harga tersebut dalam kedudukan fiqihnya ialah merupakan harga yg diutang. Dan ini, berlaku pada jual beli tempo.

 

Sebaliknya, barang yg belum diserahkan saat terjadinya akad dan penyerahan harga (ra’su al-mal) kepada penjual, maka barang tersebut dalam kedudukan fiqihnya ialah menempati maqam barang yg diutang. Fiqih menyebutnya syaiin fi al-dzimmah (barang yg dijamin utang). Hal semacam ini berlaku pada akad jual beli salam (pesan).

 

Trading Emas dgn Features

Apabila terjadi transaksi pembelian komoditas emas di dalam pasar berjangka, sehingga para trader menyerahkan harganya terlebih dulu di saat emasnya masih tercatat dalam indeks, maka status emas tersebut ialah menempati derajat emas yg dijamin (emas fi al-dzimmah).

 

Akad jual beli sesuatu yg dijamin, ialah termasuk rumpun dari akad salam. Dalam istilah pasar berjangka komiditi, akad ini dikenal dgn istilah features, yaitu kontrak pembelian barang komoditi dgn harga yg diserahkan sekarang, dan barang yg mau diserahkan mendatang.

 

Hukum praktik trading features ini ialah boleh namun dgn catatan, yaitu:

  1. Harga emas dan segala ketentuan yg berkaitan dgn barang (emas), harus telah disepakati sekarang, yaitu saat terjadinya transaksi.
  2. Uang (harga) wajib diserahkan saat transaksi itu disepakati, demi menghindari terjadinya praktik gharar (ketakpastian) jadi atau taknya jual beli.
  3. Barang (emas) harus telah dapat dijamin mengenai kadar, takaran atau beratnya saat kontrak itu disepakati bersama antara trader 1 dgn trader lainnya (pemilik emas)
  4. Apabila ketentuan 1, 2, 3 itu terpenuhi, maka praktik trading emas dgn features semacam, hukumnya ialah boleh dan hasil yg didapatkan ialah halal.
  5. Illat kebolehan praktik jual beli emas sebagaimana yg disampaikan di atas, yakni wajibnya taqabudl dan hulul ialah telah termasuk yg terpenuhi.
  6. Apabila kadar dan berat emas yg diserahkan saat  waktu penyerahan itu terjadi, ialah berbanding  lurus dgn ketentuan harga terbaru (realtime) saat emas itu diserahkan, maka tak urung praktik semacam ini ialah masuk kategori riba al-yad sehingga trading features dgn ciri semacam, hukumnya ialah haram.
  7. Apabila waktu penyerahan emas itu (hulul al-ajal) diketahui, sementara harga emas mengikuti kondisi ketentuan harga terbaru (realtime) saat emas itu diserahkan, maka tak diragukan lagi, bahwa praktik features semacam ini hukumnya ialah haram, sebab termasuk riba nasiah.
  8. Illat larangan melakukan praktik features sebagaimana yg digariskan pada poin 6 sampai dgn 7, ialah sebab keberadaan unsur riba, yg diakibatkan tak memenuhi kaidah wajibnya taqabudl dan hulul.

 

Trading Emas dgn Swap

Apabila seorang trader memutuskan menjual indeks komoditas emas yg telah dikuasainya (emas fi al-dzimmah), maka seolah telah terjadi praktik akad jual beli utang dgn utang (bai’ al-dain bi al-dain) dalam bingkai akad salam (akad pesan). Akad jual beli semacam ini dalam pasar berjangka dikenal dgn istilah swap, yaitu kontrak penjualan barang dgn barang yg  diserahkan sekarang namun harga mau diserahkan di masa mendatang.

 

Terjadinya pengalihan tanggung jawab penguasaan barang dari trader 1 ke trader lainnya dgn rupa barang yg masih berstatus fi al-dzimmah (utang) semacam ini, dalam akad fiqih, ialah menempati derajat akad hiwalah (pengoperan tanggungan) dalam bingkai akad jual beli tempo (bai’ bi al-ajal).

 

Para fuqaha menggariskan, bahwa akad hiwalah ini ialah dibolehkan, asalkan memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:

  1. li masis al-hajah (sebab desakan kebutuhan), termasuk di dalam hal ini ialah sebab faktor tuntutan jaman dan perkembangan teknologi,
  2. besaran tanggungan yg dialihkan itu harus diketahui dan terjamin kadarnya, serta
  3. objek yg dialihkan ialah tak masuk rumpun objek yg dilarang diperjualbelikan dalam syariat.

 

Adapun, praktik bai’ bi al-ajal dgn objek trading berupaa indeks emas ialah dibolehkan, asalkan memenuhi beberapa kriteria yg  menjadi kebalikan dari kriteria trading emas dgn sistem features (salam) di atas, yaitu:

  1. Barang yg diperjualbelikan (indeks emas), harus telah dapat diserahkan di majelis akad, saat kontrak itu terjadi.
  2. Harga beli indeks emas, juga harus telah disepakati saat terjadinya kontrak dgn ketetapan harga terkini (realtime).
  3. Waktu penyerahan harga boleh  ditetapkan sekaligus di majelis akad, yaitu mengenai kapan kepastian waktu penyerahan tersebut terjadi, atau sebaliknya tak ditetapkan.
  4. Apabila waktu penyerahan harga tak ditetapkan di majelis akad, maka akad tersebut termasuk jual beli tempo.
  5. Apabila  waktu penyerahan harga itu ditetapkan, maka akad tersebut termasuk akad bai’ bi al-nasa.
  6. Akad jual beli tempo dgn objek trading berupa barang  ribawi, hukumnya ialah dibolehkan dgn syarat harga mengikuti saat kontrak itu disepakati.
  7. Akad jual beli nasa’ dgn objek trading berupa barang ribawi, hukumnya ialah dibolehkan dgn syarat harga tak boleh lebih dari ketentuan yg disepakati saat terjadinya akad.
  8. Kelebihan pada harga yg terjadi saat waktu penyerahan harga di kemudian hari, melebihi harga yg disepakati saat terjadinya jual beli tempo, ialah  termasuk riba al-yad.
  9. Kelebihan pada harga yg terjadi saat waktu penyerahan harga yg telah ditentukan di kemudian hari (‘inda hulul al-ajli), yg melebihi harga yg disepakati saat terjadinya kontrak, ialah  termasuk riba al-nasiah.
  10. Illat kebolehan praktek swap sebagaimana yg disampaikan  pada poin 1 sampai 7, ialah sebab telah memenuhi unsur taqabudl dan hulul.
  11. Illat larangan praktek swap dgn ciri yg ditunjuk pada poin 8 dan 9, ialah sebab adanya praktik riba.

 

Pada dasarnya, segala bentuk praktik muamalah ialah boleh asalkan tak menerjang aturan yg telah digariskan oleh syariat. Ketentuan yg berlaku pada praktik jual beli barang ribawi ialah wajibnya taqabudl dan tamatsul, dgn ciri khas harga atau barang telah disepakati ketetapan pertukarannya saat di majelis akad. Ketiadaan praktik muamalah, baik secara features maupun secara swap, dari memenuhi ketetapan pertukaran yg dibenarkan secara syariat, menjadikan hukum pertukaran itu sebagai yg diharamkan.

 

Agar tak menerjang illat keharaman, maka ketentuan harga dan barang yg harus diikuti lewat praktik  swap maupun features di atas, ialah ketetapan harga dan barang (emas) saat terjadinya kontrak. Apabila ketentuan penyerahan di kemudian hari ternyata menunjukkan praktik sebaliknya, yaitu mengikuti harga realtime saat harga dan barang itu diserahkan di kemudian hari, maka baik praktik features maupun swap tersebut, hukumnya ialah haram sebab illat riba al-yad dan riba nasiah. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.