Umar bin Abdul Aziz & Tradisi Caci Maki di Mimbar Khutbah

Aktivitas politik yg melibatkan agama sebagai alat bukan monopoli masyarakat modern. Dalam sejarah umat Islam, konflik politik salah satunya kita jumpai ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menolak kekhalifahan Sayyidina Ali, yg berakibat pada meletusnya perang Shiffin, peristiwa tahkim (arbitrase) yg diwarnai tipu muslihat, lalu berlanjut dgn usaha penyingkiran faksi yg tak sehaluan.

Perseteruan dua orang top itu pada akhirnya menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Gejala permusuhan dan saling serang terjadi antara pihak yg pro dan kontra. Ruang publik, termasuk tempat ibadah, pun disesaki oleh ujaran kebencian dan upaya saling menjatuhkan kepada kelompok yg berseberangan.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, wacana kebencian terhadap Sayyidina Ali direproduksi melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat. Sudah menjadi kebiasaan para khatib kala itu menutup khutbah dgn mencaci maki menantu dan sepupu Rasulullah itu. Gerakan ini cukup efektif mengubur peluang Ali dan keturunannya buat berkuasa.

Namun demikian, hawa politik berubah ketika kekhalifahan Bani Umayyah dipimpin Umar bin Abdul Aziz. Budaya caci maki di mimbar khutbah rupanya membuat panas telinga pemimpin yg berjuluk Umar II ini. Jumat ialah sayyidul ayyâm, hari agung, bagi umat Islam. Sembahyg Jumat ialah momen konsolidasi sebab pada waktu itu umat sedang berkumpul. Sebab ini pula pesan ketakwaan pantas menjadi salah satu rukun khutbah. Lantas, bagaimana dapat podium di hari yg spesial itu menjadi wahana saling menghujat dan “memukul” sesama anak negeri, bahkan sesama umat Islam?

Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiyah ad-Dâsuq ‘alasy Syarhil Kabîr bercerita, pada saat-saat yg menggelisahkan itu Umar bin Abdul Aziz membuat sebuah terobosan. Ia ialah orang yg pertama kali membaca Surat an-Nahl ayat 90 sebagai penutup khutbah yg sebelumnya diisi dgn kata-kata kasar. Ayat tersebut cukup akrab di telinga:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: “Allah memerintahkan berbuat adil, berbuat kebabilan, bermurah hati kepada kerabat dan Ia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Ia mengajarkanmu supaya kamu dapat mengambil pelajaran.”

Umar bin Abdul Aziz dgn demikian telah membuat langkah cerdas dan arif. Ia membuat tradisi baru dgn muatan pesan yg sangat substansial dan universal. Ayat ini masih terdengar sampai sekarang di mayoritas mimbar khutbah Jumat di berbagai belahan dunia.

Inovasi yg dilakukan Umar bin Abdul Aziz secara tersirat mengungkapkan kekhawatiran terhadap umat Islam yg tengah diliputi api kebencian. Kebencian dapat menggelapkan hati orang lalu berbuat tak adil. Ditambah nafsu politik, sikap macam ini sering kali menjerumuskan orang buat mereduksi agama sekadar sebagai alat, lalu mengabaikan substansi beragama itu sendiri. (Mahbib)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.