Membahas tentang Pentingnya Karomah Para Wali

Kisah-kisah karomah atau keistimewaan lebih banyak terdapat pada para wali setelah masa sahabat Nabi. Dengan kata lain, lebih banyak cerita karomahnya para wali ketimbang sahabat.

Habib Luthfi bin Yahya dalam Secercah Tinta (2012) menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad, tak perlu yg namanya karomah itu. Karena keimanan mereka langsung diterima oleh Rasulullah. Dengan kata lain, tak membutuhkan penguat lainnya berupa karomah itu.

Mendekati keimanan para sahabat ialah golongan tabi’in yg hidup menjumpai para sahabat. Jaminan keimanan mereka langsung diketahui dari para sahabat Nabi. Walaupun mereka tak melihat Rasulullah, mereka telah bercermin kepada para sahabat Nabi.

Mereka menyadari kedudukan para sahabat yg hebat dan luar biasa, apalagi Rasulullah, tida dapat diukur. Maka buat meyakini dan beriman, tak perlu adanya karomah. Tetapi setelah era tabi’in, karomah yg datang dari Allah itu perlu.

Perlu adanya karomah macam karomahnya Syekh Abdul Qadir Jailani dan wali-wali lainnya. Munculnya karomah di tangan ulama-ulama besar seperti Syekh Abdul Qadir Jailani buat mengangkat kepercayaan masyarakat umum supaya lebih tebal terhadap mukjizat Nabi Muhammad.

Menurut Habib Luthfi, tujuan dari karomah-karomah ulama-ulama dan para wali ialah buat menunjukkah mukjizat para Nabi terdahulu. Karomah-karomah itu membawa, menolong, dan menguatkan keyakinan orang-orang awam. Keyakinan orang awam dan kepercayaannya terhadap Al-Qur’an serta yg terkandung di dalamnya mau semakin tebal.

Karomah yg dimiliki oleh wali itu tak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab telah bersepakat mengenai karomah yg ada para wali ketika hidup maupun telah wafat.

Wali menurut KH Sholeh Darat As-Samarani (guru KH Hasyim Asy’ari) ialah seorang ‘arif billah (mengetahui Allah) sekedar derajat dgn menjalankan secara sungguh-sungguh taat kepada Allah dan menjauhi maksiat. Artinya para wali itu menjauhi segala macam kemaksiatan berbarengan dgn selalu bertaubat kepada Allah. Sebab wali itu belum kategori ma’shumin (terjaga) seperti Nabi.

Maka wali belum dapat meninggalkan maksiat secara penuh. Makanya mereka disebut waliyullah. Keberadaan wali yg sedemikian agung ini mendapatkan keistimewaan dalam hidupnya. Mereka dalam hidupnya selalu mengingat dan menggantungkan diri, dan menyatukannya pada Allah. Hati selalu menghadap dan pasrah dgn takdir Allah saja. Itulah definisi sederhana mengenai wali menurut Mbah Sholeh Darat.

Adapun karomah menurut Mbah Sholeh Darat sesuatu yg nulayani adat (berbeda dari sewajarnya) bila dilihat secara kasat mata. Mereka yg mendapat karomah selalu menunjukkan kepribadian baik dan meniru jejak Rasulullah dgn bekal syariah dan baik secara ideologi serta perilakunya.

Karomah yg dimiliki oleh wali itu tak hanya nampak ketika hidup saja. Tetapi setelah wafat, waliyullah masih diberi karomah. Dan bagi pengikut ahlussunnah wal jama’ah, kepercayaan terhadap adanya waliyullah dan karomah itu perlu diyakini secara baik. Bahkan empat imam madzhab telah bersepakat mengenai karomah yg ada para wali ketika hidup maupun telah wafat. (Fathoni)





Membahas tentang Doa ketika Mendapat Pekerja Rumah Tangga Baru

Sebagian masyarakat (kelas menengah ke atas) menggunakan jasa pekerja rumah tangga (PRT) baik laki-laki maupun perempuan. Tidak mudah mencari jasa PRT sebab hal ini berkaitan dgn integritas dan segala macamnya selain kemampuan dasarnya.

Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, Imam Al-Ghazali mengutip doa yg dianjurkan buat dibaca ketika kita menemukan pelayan yg dapat membantu pekerjaan rumah kita.

Doa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Syu’aib. Riwayat tersebut telah diverifikasi oleh Al-Iraqi. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 113).

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهُ وَخَيْرَ مَا جُبِلَ عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا جُبِلَ عَلَيْهِ

Allâhumma innî as’aluka khairahû wa khaira mâ jubila alaih. Wa a‘ûdzubika min syarrihî wa syarri mâ jubila alaih.

Artinya: “Ya Allah, kepada-Mu aku memohon kebaikannya (PRT ini) dan kebaikan sifat yg diciptakan padanya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya (PRT ini) dan keburukan sifat yg diciptakan padanya.”

Kita berharap supaya PRT baru tersebut dapat bekerja secara profesional dan memiliki integritas sesuai harapan sehingga tak mendatangkan mudharat bagi kita dan bagi dirinya. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 412). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)





Membahas tentang Mengenal Akhlak dalam Islam, Beserta Contohnya

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Mengenal Akhlak dalam Islam, Beserta Contohnya,

Kata akhlak dalam bahasa Arab merupakan jamak dari kata khuluqun yg memiliki tiga arti. Apa saja?

Pertama, tabiat berarti sifat yg telah terbentuk dalam diri manusia tanpa dikehendaki. Kedua adat, yaitu sifat dalam diri manusia yg membutuhkan latihan. Ketiga watak meliputi hal yg menjadi tabiat dan sesuatu yg diusahakan menjadi kebiasaan.

Sementara dalam kamus besar bahasa Indonesia, akhlak memiliki arti budi pekerti; kelakuan.

Melalui Nabi Muhammad ﷺ, agama Islam telah mengajarkan adab atau akhlak kepada umatnya buat segala bidang kehidupan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis riwayat Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: Sesungguhnya aku diutus hanya buat menyempurnakan kemuliaan akhlak.

Nabi Muhammad ﷺ sebagai sosok yg sempurna, semestinya kita idolakan dan menerapkan kebaikan yg telah diajarkannya.

Dalam Islam, ada dua macam akhlak yg hendaknya kita ketahui, yaitu akhlakul mahmudah dan akhlakul mazmumah.

1. Akhlakul Mahmudah

Akhlakul mahmudah atau disebut dgn akhlak yg terpuji merupakan salah satu macam akhlak yg harusnya dimiliki umat muslim.

Akhlakul Mahmudah terbagi menjadi tiga, yakni;

  1. Akhlah kepada Allah SWT seperti beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sabar, tawakal, bersyukur dan lainnya.
  2. Akhlak kepada manusia seperti berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama, menjaga kebersihan, kesehatan dan lain-lain.
  3. Akhlak kepada alam seperti menjaga alam supaya tetap indah, sayg kepada semua makhluk, dan lain sebagainya.

2. Akhlakul Mazmumah

Akhlakul mazmumah atau disebut dgn akhlak tercela merupakan salah satu tindakan buruk yg harus dihindari setiap manusia. Hal ini harus dijauhi sebab dapat mendatangkan kemudharatan bagi setiap orang terutama diri sendiri.

Contoh dari akhlakul mazmumah yaitu bersikap kikir, sombong, takabur, syirik, mengambil hal orang lain dan masih banyak lagi lainnya.

Demikian akhlak dalam Islam beserta contoh yg semestinya diketahui oleh umat muslim. Semoga dgn mengetahuinya kita dapat mengamalkan apa yg telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

 

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Mengenal Akhlak dalam Islam, Beserta Contohnya . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang 4 Etika Pendakwah menurut KH Bisri Musthofa

Dalam sejarah perkembangan Islam, posisi dakwah dgn beragam metodenya menempati tempat yg sentral dan terpuji. Karena itu, posisi dai (pendakwah) juga penting sebab menjadi salah satu instrumen penentu dalam perkembangan Islam.

Seiring dgn waktu, aktivitas dakwah ternyata berkembang, hingga dalam batas tertentu, seakan mengabaikan norma dan etika. Kegelisahan ini pula yg menjadikan KH Bisri Musthofa menuliskan sebuah kitab kecil berjudul Zâduz Zu‘amâ’ wa Dakhîratul Khuthabâ’ (bekal para pemimpin dan pendakwah).

Kiai Bisri sebagai tokoh pesantren yg lihai dalam dakwah lisan dan tulisan meringkas etika dai menjadi empat:

  1. Lakukan apa yg disampaikan.

Dalam berdakwah yg mempunyai karakter mengajak, dai semestinya “turut serta” dan larut dalam ajakan kebaikan tersebut. Materi dalam dakwah yg berisi kebaikan, dan disampaikan kepada orang lain, semestinya menjadi bahan refleksi diri dan membetot kesadaran supaya dai-lah orang pertama yg seharusnya melakukan apa yg disampaikan. Hal ini, menurut Kiai Bisri mampu menimbulkan atsar (bekas) pada diri audiens, sehingga perkataan dai dapat didengar dan diikuti (hal. 12).

KH Bisri mengutip Surat al-Shaff ayat 3 buat menguatkan etika yg pertama. Allah berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

Artinya: “(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah bila kamu mengatakan apa-apa yg tak kamu kerjakan.”

  1. Santun dan rendah hati.

Mempunyai perilaku yg bagus (sîrah ḫasanah) dan adab terpuji (adab mardliyyah), seperti tak sombong dan rendah hati terhadap sesama, ialah etika yg selaras dgn konsep dakwah dan kepemimpinan yg disampaikan Kiai Bisri dalam mukaddimah kitab ini. Berlaku santun (rifq), tak keras, dan tak mudah mengumpat dan mencaci ialah sikap yg semestinya ada dalam diri penyampai dakwah.

Perilaku yg bagus ini terasa penting supaya masyarakat tak menghina dai disebabkan sikap dan cara tutur yg kurang terpuji (hal. 12). KH Bisri menyitir Surat Luqman ayat 18:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (sebab sombong) dan janganlah berjalan di bumi dgn angkuh. Sungguh, Allah tak menyukai orang-orang yg sombong dan membanggakan diri.

  1. Memiliki visi kemaslahatan audiens/pengikut (mashâliḫ mutbi‘în) dgn belas kasih dan penuh kerahmatan (al-ra’fah wa al-raḫmah).

Etika berdakwah ini semestinya memberikan peringatan kepada dakwah mau efek, baik sosial maupun lainnya, atas materi dakwah yg disampaikan. Oleh sebab itu, saran Kiai Bisri, penyampaian dan materi dakwah semestinya berisi dan disampaikan dgn penuh belas kasih dan keramahan (hal. 13). KH Bisri menyampaikan karakteristik Rasulullah yg tertuang dalam Surat al-Taubah ayat 128, Allah berfirman:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yg tak tahan melihat penderitaanmu, yg sangat mengmaukan (keimanan dan keselamatan) bagimu, serta penyantun dan penyayg terhadap orang-orang yg beriman.”

Karakter Rasulullah yg tertuang dalam ayat tersebut ialah bahwa Rasulullah bersifat empati terhadap umatnya. Selain itu, Rasulullah juga memiliki sikap yg penuh belas kasih dan penyayg dan mengmaukan kebaikan pada umatnya. Inilah esensi etika dai yg bervisi kemaslahatan, dan bila dikerjakan dgn baik, efektivitas dakwah lebih mudah diterima, dan perubahan sosial yg berdimensi kebaikan mau mudah direalisasikan.

  1. Pemaaf dan toleran.

Dai semestinya memiliki sikap kelapangan hati buat memafkan (baḫr al-‘afw) dan toleransi (al-samâah) serta perangai yg menyenangkan dan menggemberikan (hal.13). KH Bisri mengingatkan tentang respons Allah tentang sikap kelembutan Nabi Muhammad ketika berdakwah, dalam Surat Ali Imran 159, Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan buat mereka, dan bermusyawarahlah dgn mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yg bertawakal.”

Dalam ayat tersebut, kumulasi karakter dai yg terpuji terkumpul dalam pribadi Rasulullah dalam berdakwah. Sikap lemah lembut (layn dan rifq), tak keras dan kasar, berjiwa pemaaf, dan mengajak diskusi/berdialog dalam urusan tertentu, ialah sari pati etika dai yg dikontekstualkan kembali oleh Kiai Bisri Musthofa melalui karyanya, Zâduz Zua‘amâ wa Dakhiratul Khuthabâ’.

(Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul “Dakwah Nusantara; Etika Dai dalam Zâd Al-Zu‘Amâ’ wa Dhakhîrat Al-Khuthabâ’ Karya KH Bisri Mustofa” yg telah dipresentasikan dalam Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Nusantara, LTN NU Jawa Timur-Universitas Yudharta Pasuruan, 25-27 September 2019).

Mohamm Ikhwanuddin, Wakil Mudir Ma’had Aly An-Nur 1 Malang, dan
Darmawan, Dosen Senior UIN Sunan Ampel Surabaya.





Membahas tentang Doa ketika Kenyataan Belum Sesuai Harapan

Doa dan permintaan kita adakalanya tertunda atau belum terkabul. Harapan kita belum terwujud sebab ada sebab-sebab zahir yg tak mendukung pemenuhan harapan kita.

Ketika permintaan belum terkabul, doa belum terwujud, dan kenyataan belum sesuai harapan, kita tetap dianjurkan buat berdoa, memuji Allah. Bentuk ungkapan doa dan pujian kepada Allah ini termaktub dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 409).

الحَمْدُ لِلهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Alhamdulillāhi ‘alā kulli hālin.

Artinya: “Segala puji bagi Allah atas segala hal.

Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Sayyidatina Aisyah ra dan Ibnu Majah. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 105).

Doa ini, kata Az-Zabidi, secara umum merupakan pujian kepada Allah ketika kita menyaksikan sesuatu yg kurang kita sukai. Tetapi doa ini dapat dibaca ketika hajat kita belum terkabul, belum sembuh dari penyakit, atau berbagai kenyataan lainnya yg belum sesuai harapan dan doa. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 





Membahas tentang Doa ketika Harapan Terwujud

Sering kali kita mendapati doa kita terwujud atau harapan kita terjadi. Apapun itu, kita dianjurkan buat bersyukur dan memuji Allah atas permintaan yg terkabul atau harapan yg terwujud.

Imam Al-Ghazali mengutip doa (tahmid) yg seharusnya dibaca ketika permintaan telah terkabul. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 409).

الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِعِزَّتِهِ وَجَلَالِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Alhamdulillāhil ladzī bi ‘izzatihī wa jalālihī tatimmus shālihātu.

Artinya: “Segala puji bagi Allah yg dgn kemuliaan dan kebesaran-Nya kebaikan-kebaikan itu menjadi sempurna.”

Sayyid Muhammad Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin (Syarah Ihya Ulumiddin) mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Sayyidatina Aisyah ra dan Ibnu Majah. (Az-Zabidi, Ithaf, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 105).

Doa ini, kata Az-Zabidi, merupakan pujian kepada Allah ketika hajat seseorang terkabul, sembuh dari penyakit, tiba di tujuan perjalanan dgn selamat, atau berbagai hajat lainnya. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)