Dzikir berasal dari kata dzakara-yadzkuru-dzikrun yg berarti menyebut, mengucapkan (asma Allah) (Kamus Al-Bisyri, h. 221). Amin Syukur dalam Terapi Hati (2012) mengartikan dzikir dgn berbagai arti berdasarkan konteksnya. Dzikir menurutnya ialah mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Beliau menambahkan bahwa dzikir dalam Al-Qur’an berarti juga membangkitkan daya ingat dan kesadaran, ingat terhadap hukum-hukum Allah, mengambil peringatan, dan meneliti proses alam.
Â
Dzikir meurpakan perintah Allah yg dapat dilakukan dgn hati maupun dgn lisan, atau kedua-duanya secara bersamaan. Perintah dzikir salah satunya disebut dalam Al-Qur’an Surat al-Insan ayat 25:
Â
ÙˆÙŽØ§Ø°Ù’ÙƒÙØ±Ù اسْمَ رَبÙّكَ بÙكْرَةً وَأَصÙيلا (٢٥)
Â
“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.â€
Â
Pada dasarnya mengingat Allah tak terikat dgn tempat dan waktu. Kapan saja dan di mana seja seharusnya seorang hamba selalu mengingat Allah subhanahu wata’ala. Karena dzikir memiliki banyak keutamaan bagi siapa saja yg melaksanakannya lebih-lebih dilaksanakan secara berjamaah. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan oleh imam muslim dari Abi Sa’id al-Khudri dan Abi Ghurairah bahwa keduanya menyaksikan Rasulullah bersabda:
Â
Ù„ÙŽØ§ÙŠÙŽÙ‚Ù’Ø¹ÙØ¯Ùوْنَ قَوْمٌ ÙŠÙŽØ°Ù’ÙƒÙØ±Ùوْنَ اللهَ تَعَالَى اÙلَّا ØÙŽÙَّتْهÙم٠الْمَلَئÙكَة٠وَغَشÙيَتْهÙم٠الرَّØÙ’مَة٠وَنَزَلَتْ عَلَيْهÙم٠السَّكÙيْنَة٠وَذَكَرَهÙم٠الله٠تَعَالَى ÙÙيْمَنْ عÙنْدَه٠رواه مسلم
Â
“Tidaklah duduk dan berkumpul suatu kaum dgn mengingat Allah (berdzikir) kecuali mereka dikepung oleh para malaikat, diliputi rahmat, diberikan ketenangan, dan Allah mengingat siapa saja yg berada di tengah-tengah perkumpulan tersebut†(HR Muslim).
Â
Bertolak dari begitu banyaknya macam dzikir, tulisan ini lebih fokus kepada dzikir yg bersifat ucapan seperti melafalkan tasbih, tahlil, tahmid, istighafar, hauqalah, dan sebagainya. Ada waktu-waktu tertentu yg justru disunnahkan berhenti berdzikir, sebagaimana disebutkan dalam kitab al–Adzkar karya Imam Nawawi:
Â
Ù„ÙÙ„Ø°ÙŽÙ‘Ø§ÙƒÙØ±Ù ÙŠÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨ÙÙ‘ لَه٠قَطْع٠الذّÙÙƒÙ’Ø±Ù Ø¨ÙØ³ÙŽØ¨ÙŽØ¨Ùهَا (الْاَØÙ’وَالÙ) Ø«ÙÙ…ÙŽÙ‘ يَعÙوْد٠اÙلَيْه٠بَعْدَ زَوَالÙهَا Ù…Ùنْهَا Ø§ÙØ°ÙŽØ§Ø³ÙÙ„Ùّمَ عَلَيْه٠رَدَّ السَّلَامَ Ø«ÙÙ…ÙŽÙ‘ عَادَ اÙÙ„ÙŽÙ‰ الذÙّكْر٠وَكَذَا Ø§ÙØ°ÙŽØ§ عَطَسَ عÙÙ†Ù’Ø¯ÙŽÙ‡Ù Ø¹ÙŽØ§Ø·ÙØ³ÙŒ شَمَّتَه٠ثÙÙ…ÙŽÙ‘ عَادَ اÙÙ„ÙŽÙ‰ الذÙّكْر٠وَكَذَا Ø§ÙØ°ÙŽØ§ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ø®ÙŽØ·Ùيْبَ Ø«ÙÙ…ÙŽÙ‘ عَادَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الذÙّكْر٠وَكَذَا Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤ÙŽØ°Ùّنَ أَجَابَه٠ÙÙيْ ÙƒÙŽÙ„Ùمَات٠الْأَذَان٠وَالْإÙقَامَة٠ثÙÙ…ÙŽÙ‘ عَادَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الذÙّكْر٠وَكَذَا Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ رَأَى Ù…Ùنْكَرًا أَزَالَه٠اَوْمَعْرÙوْÙًا اَرْشَدَ اÙلَيْه٠اَوْ Ù…ÙØ³Ù’ØªÙŽØ±Ù’Ø´ÙØ¯Ù‹Ø§ اَجَابَه٠ثÙÙ…ÙŽÙ‘ عَادَ اÙÙ„ÙŽÙ‰ الذÙّكْر٠وَكَذَا Ø§ÙØ°ÙŽØ§ غَلَبَه٠النÙّعَاس٠اَوْ Ù†ÙŽØÙ’ÙˆÙه٠وَمَااَشْبَهَ هَذَا ÙƒÙلَّهÙ
Â
“Disunnahkan bagi seseorang yg berdzikir memutus dzikirnya dalam beberapa kondisi, kemudian ia kembali berdzikir setelahnya. Pertama, ketika ada yg memberi salam, maka ia wajib menjawab dan setelah itu kembali berdzikir. Kedua, ketika ada yg bersin, maka ia mendoakannya, dan setelah itu kembali berdzikir. Ketiga, ketika mendengar khatib berkhutbah ia lebih baik mendengarkan, setelah itu kembali berdzikir. Keempat, ketika mendengar adzan dan iqamah, maka ia menjawab dgn lafal yg sama, setelah itu kembali berdzikir. Kelima, ketika melihat kemungkaran, ia mencegahnya; atau melihat kebaikan, ia menunjukkan kepadanya; atau ada seseorang yg meminta petunjuk, ia memenuhinya, setelah itu kembali berdzikir. Keenam, ketika dalam keadaan sangat mengantuk dan sebagainya†(Imam Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Alawiyah, hlm. 13-14).
Â
Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan ada beberapa kondisi yg dianjurkan buat memutus lafal dzikir dan kemudian mengulanginya. Hal ini tentu berdasarkan alasan-alasan yg menguatkan pendapat tersebut. Dzikir merupakan perintah Allah, hal ini menunjukkan bahwa dzikir ialah amalan yg baik lagi bermanfaat bagi manusia. Namun demikian, barangkali ada hal lain yg nilai kebaikannya dapat membandingi atau bahkan melebihi dari sekadar berdzikir dgn lisan.
Â
Sebagaimana penjelasan di atas dapat dianalisa sebagai berikut:
Â
Pertama, menjawab salam ialah wajib. Imama Nawawi dalam kitab Al-Adzkar pada bab hukmi assalam menghukumi wajibnya menjawab salam.
Â
ÙŠÙŽØ¬ÙØ¨Ù عَلَى الْمَكْتÙوْب٠إÙÙ„ÙŽÙŠÙه٠رَدÙÙ‘ Ø§Ù„Ø³ÙŽÙ‘Ù„ÙŽØ§Ù…Ù Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ بَلَغَه٠السَّلَامÙ
Â
“Wajib menjawab salam atas ucapan salam yg tertulis.â€
Â
Hal ini menunjukkan adanya kewajiban menjawab salam. Penjelasan senada, bila ada seseorang yg mengirimkan salam lewat seseorang, maka wajib dijawab secepatnya. Annahu Yajibu ‘alaihi an yarudda ‘alal fauri (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hlm. 221).
Â
Kedua, hal mendoakan orang bersin. Mendoakan orang bersin ialah bagian dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Â
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Barra bin ‘Azib berkata:
Â
اَمَرَنَا رَسÙوْل٠الله٠صلى الله عليه وسلم Ø¨ÙØ³ÙŽØ¨Ù’Ø¹Ù Ø¨ÙØ¹Ùيَادَة٠الْمَرÙÙŠÙ’Ø¶Ù ÙˆÙŽØ§ÙØªÙ’Ø¨ÙŽØ§Ø¹Ù Ø§Ù„Ù’Ø¬ÙŽÙ†ÙŽØ§Ø¦ÙØ²Ù وَتَشْمÙÙŠÙŽØªÙ Ø§Ù„Ù’Ø¹ÙŽØ§Ø·ÙØ³Ù وَنَصْر٠الضَّعÙيْÙ٠وَعَوْن٠الْمَظْلÙوْم٠وَإÙÙÙ’Ø´ÙŽØ§Ø¡Ù Ø§Ù„Ø³ÙŽÙ„ÙŽØ§Ù…Ù ÙˆÙŽØ¥ÙØ¨Ù’رَار٠الْقَسَم٠هذا Ù„ÙØ¸ Ø§ØØ¯Ù‰ روايات البخارى
Â
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami dgn tujuh hal: menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang yg besin, menolong orang yg lemah, menolong orang yg teraniaya, menebar salam, dan memperbagus sumpah†(Demikian ini ialah lafal dari salah satu riwayat Bukhari).
Â
Ketiga, mendengarkan khutbah. Hukum mendengarkan khutbah ialah sunnah (lihat: Kifayatul Akhyar, juz I, hlm. 151). Hal ini didasarkan ayat
Â
ÙˆÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ Ù‚ÙØ±Ùئَ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±Ù’آن٠ÙÙŽØ§Ø³Ù’ØªÙŽÙ…ÙØ¹Ùوا Ù„ÙŽÙ‡Ù ÙˆÙŽØ£ÙŽÙ†Ù’ØµÙØªÙوا لَعَلَّكÙمْ ØªÙØ±Ù’ØÙŽÙ…Ùونَ (Ù¢Ù Ù¤)
Â
“Dan apabila dibacakan Al–Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dgn tenang supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf [7]: 204).
Â
Dan berdasarkan hadits idza qulta lishahibika yaumal jumati wal imamu yakhtubu anshit (bila engkau berbicara dgn sahabatmu saat imam khutbah, diamlah!). Hadits ini biasanya dibaca oleh muadzin sebelum khutbah dimulai.
Â
Keempat, ketika mendengar adzan. Rasulullah memerintahkan menjawab adzan dan iqamah sebagaimana lafal adzan kecuali hayya ‘alashshalah dan hayya ‘alalfalah.
Â
Ø§ÙØ°ÙŽØ§ Ø³ÙŽÙ…ÙØ¹Ù’تÙمْ النÙّدَاءَ ÙÙŽÙ‚ÙوْلÙوْا Ù…ÙØ«Ù’Ù„ÙŽ مَا ÙŠÙŽÙ‚ÙÙˆÙ’Ù„Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤ÙŽØ°Ùّن٠رواه البخارى Ùˆ مسلم
Â
Ketika kalian semua mendengar panggilan (shalat) maka ucapkanlah kalimat yg serupa sebagaimana diucapkan oleh orang yg adzan (HR. Imam Baukhari dan Muslim).
Â
Artinya bahwa menjawab adzan juga merupakan kesunnahan, bahkan Nabi sendiri memerintahkannya. Oleh sebabnya ketika sedang berdzikir disunnahkan berhenti sejenak dan menjaawab adzan baru kemudian kembali berdzikir.
Â
Kelima, pada poin ini terkait dgn hubungan sesama makhluk. Islam mengajarkan supaya memiliki akhlak yg baik secara vertikal begitupun secara hrisontal. Dengan demikian segala kemungkaran, yg dapat membahayakan harus sesegera mungkin dicegah atau bahkan dihilangkan. Begitupun menebar kebaikan, sebaiknya secepatnya ditunaikan, apalagi benar-benar dibutuhkan oleh orang banyak. Sehingga, tak masalah berhenti berdzikir sejenak demi mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan, baru kemudian kembali berdzikir. Karena pada hakikatnya mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan ialah bagian dari dzikir.
Â
Keenam, dalam kondisi yg sangat mengantuk. Kitab At–Tibyan (hlm. 94) menjelaskan tentang kemakruhan membaca Al-Qur’an dalam keadaan sangat mengantuk. Hal ini dapat tarik pemahaman dari ayat:
Â
يَا أَيّÙهَا الَّذÙينَ آمَنÙوا لا تَقْرَبÙوا الصَّلاةَ وَأَنْتÙمْ سÙكَارَى ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ تَعْلَمÙوا مَا تَقÙولÙونَ (٤٣)
Â
“Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yg kamu ucapkan…†(QS AN-Nisa[4]: 43).
Â
Jika seseorang membaca Al-Qur’an ataupun dzikir lain dalam kondisi sangat mengantuk dikhawatirkan apa yg diucapkan tak sesuai dgn lafal yg benar disebabkan kesadarannya tak sempurna.
Â
Â
Demikianlah sedikit penjelasan mengapa dzikir yg merupakan sunnah namun disunnahkan buat berhenti pula sebab suatu hal. Pada bab sebelumnya Imam Nawawi juga menjelaskan waktu-waktu yg makruh buat berdzikir di antaranya ketika duduk dalam rangka buang hajat, ketika sedang berhubungan suami isri (jimak), ketika khutbah sedang berlangsung bagi yg mendengar suara khatib, ketika melaksanakan shalat (lebih baik fokus pada bacaan shalat bukan dzikiran yg lain), dan ketika sedang dalam kondisi mengantuk berat.
Â
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Â
Â