Ketika Anak Bertanya tentang Khilafah Islamiyah

Persoalan khilafah islamiyah juga tak terlepas dari pertanyaan anak-anak. Sebab tema ini cukup sering dibicarakan di televisi. Wacana soal khilafah Islamiyah juga acapkali muncul di media sosial; Facebook, Instragram, dan Youtube. Terlebih di era gawai ini, anak-anak— terutama yg beranjak ke usia remaja—telah terbiasa menggunakan ponsel dan menerima informasi terkait keislaman, contohnya tentang tema khilafah Islam.

 

Nah bagaimana seyogianya respons orang tua ketika mendapatkan pertanyaan terkait khilafah islamiyah dari anak? Orang tua yg baik, seharusnya memberikan jawaban pada anak. Jawaban yg ringan dan mampu dimengerti anak.

 

Orang tua terlebih dahulu dapat menjelaskan definisi khilafah islamiyah. Sebagaimana pengenalan alangkah lebih baik membahas kata khalîfah. Sebab ini erat kaitannya dgn yg ditanyakan oleh anak di atas. Khalîfah mempunyai dua bentuk jamak; khalâif dan khulafâ. Jika kita menilik dari asal kata dalam bahasa Arab, kata khalîfah itu dari khalafa-yakhlufu-khalfan-khilâfatan, yg memiliki arti pergantian. Jadi kata khalîfah itu bermakna pengganti. Selain pengganti, kata khalifah juga dapat diartikan belakang, perubahan, atau suksesi.

 

Dengan demikian, siapa pun yg menggantikan posisi orang lain, guna menjalankan suatu fungsi tertentu, maka ia dapat dipanggil dgn khalîfah. Sebab makna dasarnya ialah penganti. Dalam konteks ini, Abu Bakar dipanggil dgn khalîfah Rasulullah, sebab ia pengganti Rasulullah dalam memimpin umat. Pun Umar digelar dgn khalîfah khalîfatu Rasulullah—pengganti, pengganti khalifah Rasulullah, sebab ia menggantikan Abu Bakar.

 

Kata khalîfah ini terdapat dalam Al-Qur’an, misalnya dalam QS al-Baqarah ayat 30 dan QS Shad ayat 26. Dalam ayat ini Allah memakai kata khalîfah. Pada al-Baqarah, Allah berbicara penciptaan Adam. Yang dimaksud Allah dgn kata Adam, ialah mau menciptakan manusia bumi.

 

Baca juga: Nilai-Nilai Islam dalam Pancasila

 

Sedangkan pada surat Shad, Allah menjelaskan Daud sebagai khalîfah. Dalam konteks ini, Nabi Daud dijadikan Allah sebagai penguasa atau pemimpin di tengah masyarakat. Nabi Daud, seperti kata Imam Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâmi Al-Qur’âni , bertugas sebagai instrumen penegakan hukum di tengah masyarakat dgn adil dan benar.

 

Namun kata khalîfah berbeda dgn khilâfah. Meskipun memiliki akar kata yg sama yakni khalafa, tetapi kata khilâfah tak terdapat dalam Al-Qur’an. Kita tak mau menemukan kata khilâfah dalam Al-Qur’an. Kata khilafah ini biasanya diartikan dgn kekuasaan atau pemerintahan. Jadi kata khilafah islamiyah merujuk pada pemerintahan Islam pada era yg telah lalu.

 

Selanjutnya, orang tua dapat menjelaskan terkait sistem pemerintahan Islam atau khilafah islamiyah, pernah ada dalam Islam. Contohnya pada pada era khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, mereka ini dikenal dgn nama Khulafâ’ ar Rasyidin. Setelahnya pun ada Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan juga ada Turki Ustmani. Ini semua sistem yg mendaku diri sebagai khilafah islamiyah.

 

Namun penting dicatat, antara setiap masa kepemimpinan itu berbeda sistem pemerintahan dan pemilihan khalîfah (pemimpin). Pada era empat orang khulafaur Rasyidin, sistem pengangkatan dan kepala pemimpinnya berbeda-beda. Berdasarkan kisah yg termaktub dalam Sîrah an-Nabawiyah li Ibni Ishâq, tatkala Rasulullah wafat, berkumpul sekelompok sahabat dari kaum Anshar di pertemuan Tsaqîfah Banî Sâidah yg membicarakan suksesi kepemimpinan pasca wafat Rasulullah.

 

Dalam balai pertemuan itu, kaum Anshâr mewacanakan Saad bin Ubadah sebagai pengganti Nabi. Sementara itu, kaum Muhajirin mengunggulkan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usaid bin Hudhair di Bani Abdul Asyhal. Nyaris saja terjadi bentrokan antara Muhajirun dan Anshar, hingga akhirnya Abu Bakar yg terpilih.

 

Baca juga: Imam Mahdi Sang Khalifah Akhir Zaman, Siapakah Ia?

 

Pada era, Umar bin Khattab berbeda dgn Abu Bakar. Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebelum wafat buat jadi penggantinya. Sebab khawatir mau terjadi perselisihan di kalangan sahabat. Pengangkatan Usman bin Affan sebagai khalifah, berbeda dgn cara pengangkatan khalifah pertama dan kedua, ia diangkat berdasarkan sistem perwakilan—ahlu halli wal aqdi. Pemilih Usman itu terdiri dari sahabat yg senior yg kompeten.

 

Setelah Sayyidina Utsman dibunuh pemberontak, ada desakan kuat dari kelompok Muhajirin dan Anshar supaya Sayyidina Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah. Proses pengangkatan Ali jauh dari sempurna, ia dilantik dalam di tengah kekacauan politik. Meskipun awalnya ia menolak jabatan khalifah sebab mau dilaksanakan secara musyawarah dan dihadiri sahabat senior lainnya, toh pada akhirnya ia setuju juga. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yg mengangkat Ali secara terpaksa. Ali dibai’at pada 23 Juni 656 M/13 Dzulhijah 35 H di Mesjid Nabawi, Madinah.

 

Inilah empat sistem pemerintahan dari pemerintahan khulafaur rasyidin yg dinilai menerapkan sistem demokrasi, sedangkan pemerintahan Islam selanjutnya itu bersifat monarki. Masa Umayyah, yg menjadi raja atau pemimpin itu berdasarkan faktor keturunan. Begitu pula di masa dinasti Abbasiyah, Umyayyah II di Spanyol, Pun era Turki Ustmani. Semua pengangkatan khalîfah atau amir atau kepala negara berdasarkan faktor keturunan.

 

Kemudian orang tua dapat menjelaskan pada anak tak ada kewajiban syariat buat mendirikan khilafah islamiyah. Sebab, perbedaan sistem pemerintahan dan sistem pemilihan kepala negara, membuktikan tak ada sistem baku dalam khilafah islamiyah. Pada tiap era kepemimpinan dinasti Islam selalu berbeda-beda, tak sama.

 

Dengan demikian, khilafah islamiyah sama sekali tak memiliki rujukan teologis, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits. Itu merupakan hasil ijtihad kaum muslimin, terlebih setelah masa kepemimpinan empat sahabat Nabi. Masa Bani Umayyah dan Abbsiyah masuk dalam sistem monarki. Yang diambil dari pewarisan keluarga laiknya Impremium Persia dan Romawi

 

Jika ada yg bertanya, apakah khilafah islamiyah merupakan bagian dari syariat Islam yg harus ditegakkan? Jawabannya, tak. Itu ialah hasil kreasi kaum muslimin di tiap era yg berbeda-beda. Setiap masa pemerintahan yg satu dgn yg lain dapat berbeda. Dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi tak ada rujukan baku terkait sistem mana yg harus diikuti. Semua urusan diserahkan pada kaum muslimin. Sebab tantangan dan konsisi setiap era itu berbeda-beda.

 

Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Damiji dalam kitab al-Imâmatu al-Udzmâ ‘Inda ahl al-Sunnati wal Jamâah mengatakan khilafah islamiyah bukan tujuan utama dari Islam, melainkan suatu produk yg lahir dari Islam. Yang terpenting dalam Islam ialah pegangkatan pemimpin. Para ulama sepakat kewajiban mengangkat pemimpin. Terkait sistem dan tata caranya diserahkan pada umat Islam dan masyarakat. Simak penjelasan Sulaiman al-Damiji berikut;

 

إن الإمامة وسيلة لا غاية ، وسيلة إلى إقامة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر بمفهومه الواسع – كما مرّ في مقاصد الإمامة – وهذا واجب على جميع أفراد الأمة الإسلامية ، وحيث إنه لا يمكن القيام به على وجهه الأكمل إلا بعد تنصيب إمام للمسلمين يقودهم وينظم لهم طريق الوصول إلى القيام بهذا الواجب العام

 

“Sesungguhnya kepemimpinan politik (imamah) merupakan instrumen,bukan tujuan utama. Ia merupakan instrumen dalam menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar. Dengan pengertian yg lebih luas,—sebagaimana dijelaskan dalam tujuan-tujuan kepemimpinan—. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap individu umat Islam, sebab (menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar) tak mungkin dapat dilakukan secara sempurna, kecuali setelah mengangkat pemimpin bagi umat Islam yg dapat menuntun dan mengatur mereka tentang cara menegakkan kewajiban yg utama,”.

 

Untuk itu, disebabkan tak ada sistem baku dalam sistem pemerintahan Islam, maka konsep yg disebut negara Islam pun menjadi perdebatan. Menarik kemudian apa yg diungkapkan oleh Syekh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Husain ibn Umar Ba’alawi, dalam kitab Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidîn yg menyebutkan Indonesia sebagai negara Islam. Pasalnya, di Indonesia telah diterapkan syariat Islam sejak lama; ibadah, muamalah, munakahat. Dengan itu Indonesia telah cukup buat disebutkan negara Islam.

 

كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار إسلام، تجري عليه أحكامه في ذلك الزمان وما بعده. فَعُلِمَ أَنَّ أَرْضَ بَتَاوِيْ بَلْ وَغَالِبُ أَرْضِ جَاوَةَ دَارُ إِسْلَامٍ لِاسْتِيْلَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهَا سَابِقًا قَبْلَ الْكُفَّارِ

 

Setiap tempat/wilayah di mana seorang muslim yg tinggal di sana mampu mempertahankan diri dari musuh-musuh yg memeranginya dalam suatu masa, maka wilayah tersebut telah menjadi Negara Islam, di mana di sana hukum-hukum Islam diberlakukan maupun setelahnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa ialah Dâr Islâm sebab umat Islam pernah menguasainya sebelum dikuasai oleh orang-orang kafir.

 

 

Ustadz Zainudin Lubis, pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.


 

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.