Bagi orang yg menjaga akhlak, niat baik saja tak cukup. Ia harus memperhitungkan dampak atas setiap perbuatannya. Demikian kiranya substansi kutipan ulama ahli hadits Mesir Al-Hafizh Muhammad Abdurrauf Al-Munawi (952-1031 H/1545-1622 M) dari gurunya Al-‘Arif billah Al-Imam Abdul Wahhab As-Sya’rani-juga sering dibaca As-Sya’rawi-(898-973 H/1493-1565 M):
وَمَقَام٠الْعَارÙ٠أَنْ ÙŠÙؤَاخÙØ°ÙŽ Ù†ÙŽÙْسَه٠بÙاللَّازÙÙ…Ù ÙˆÙŽØ¥Ùنْ لَمْ يَقْصÙدْهÙ
Â
Artinya, “Dan maqam orang yg arif billah ialah mencela dirinya dgn kelaziman (dampak perbuatannya) meskipun hal itu tak ia sengaja.†(Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ as-Shaghir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H/1994 M], juz VI, halaman 160).
Lengkapnya, dalam salah satu sabda Rasulullah SAW menegaskan bahwa siapa saja yg melakukan tipu daya dan merusak istri atau hamba sahaya orang lain maka ia tak termasuk golongannya:
عن أبي هريرة مَنْ خَبَّبَ زَوْجَةَ امْرÙئ٠أَوْ مَمْلÙوكَه٠Ùَلَيْسَ Ù…ÙنَّاÂ
Artinya, “Siapa saja yg menipu rayu dan merusak istri orang atau hamba sahaya milikny, maka ia tak termasuk golongannya.†(HR Abu Dawud dari Abu Hurairah dgn sanad hasan), Jalaluddin bin Abi Bakar as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir fi Ahadits al-Basyir an-Nadzir, [Beirut, : Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1427 H/2006 M], juz II,  halaman 525).
Menurut Al-Hafizh al-Munawi maksud hadits ialah siapapun yg mengganggu istri orang supaya bercerai dgn suaminya kemudian ia nikahi atau dinikahi orang lain, atau dalam konteks dahulu mengganggu budak milik orang lain sehingga minggat darinya, maka pelakunya tak berada dalam ajaran Nabi Muhammad SAW dan tak termasuk orang yg mengamalkan aturan-aturan hukum syariat. (Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz VI, halaman 159-160).
Berkaitan konteks ini Imam As-Sya’rani menjelaskan, di antara kasus yg masuk dalam petunjuk hadits ialah ketika ada orang yg didatangi istri orang lain yg curhat atas problem atau konfik rumah tangga yg terjadi dgn suaminya, dan diminta buat mendamaikannya. Kemudian orang tersebut menyambut wanita itu dgn penuh keramahan, dgn menyabilan jamuan makan yg lengkap, menambah nafkah atau uang belanja dan memuliakannya, meskipun tujuannya ialah buat memuliakan suaminya.
Sebab, dapat jadi dgn perlakuan semacam itu wanita tersebut justru mau tertarik kepada dirinya, menghina, dan meremehkan suaminya sehingga perlakuan semacam itu masuk dalam kandungan hadits di atas.
Bahkan buat menghindari warning hadits ini, di mana Imam As-Sya’rani juga sering didatangi para wanita buat curhat urusan rumah tangga, ia tanpa ragu memerintah keluarganya buat tak memberi suguhan kepada mereka, membiarkan mereka lapar, supaya segera pulang dan merasakan nikmatnya punya suami. Imam As-Sya’rani menyatakan:
وَقَدْ Ùَعَلْت٠هَذَا الْخÙÙ„ÙÙ‚ÙŽ Ù…Ùرَارًا ÙÙŽØ£ÙضَيّÙق٠عَلَى الْمَرْأَة٠الْغَضْبَانَة٠وَأَوْصÙÙŠ عÙيَالÙÙŠ أَنْ يَجÙوعÙوهَا Ù„ÙتَرْجÙعَ وَتَعْرÙÙÙŽ Øَقَّ Ù†Ùعْمَة٠زَوْجÙهَا.
Artinya, “Sungguh aku telah mempraktikkan akhlak atau perilaku ini berulang kali. Aku sempitkan (tanpa keramahan sambutan) istri orang lain yg sedang marah kepada suaminya. Kuperintahkan keluargaku buat membiarkannya lapar supaya ia segera pulang dan merasakan secara nyata kenikmatan dari suaminya.†(Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz VI, halaman 160).
Dari sini semakin jelas, orang yg berakhlak ialah ia yg berusaha supaya semakin dekat dgn keridhaan Tuhan. Dalam setiap beramal atau melakukan perbuatan, niat baik saja tak cukup, tapi harus disertai kewaspadaan dgn memprediksi dampak buruk yg ditimbulkan darinya. Wallahu a’lam.
Penulis: Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda.
Editor: Alhafiz Kurniawan