Uang Muka Hangus Ketika Transaksi Batal dalam Kajian Fiqih Muamalah

Ada seseorang hendak membeli suatu barang (misalnya: rumah). Pembeli dan penjual melakukan tawar menawar harga. Akhirnya disepakati bahwa harga rumah tersebut ialah 100 juta dan disepakati pula bahwa batas akhir rumah tersebut jadi atau tak dibeli ialah sampai tanggal X.

Sebagai tanda jadi, pihak penjual meminta kepada pembeli supaya menyerahkan uang muka. Bila sampai batas waktu yg disepakati, pihak pembeli tak melanjutkan akad yg telah disepakati, maka akad jual beli tersebut batal. Uang muka menjadi milik penjual.

Sebaliknya, bila sampai batas waktu yg ditentukan ternyata akad jual beli tersebut terus berlanjut, maka uang muka menjadi bagian dari harga yg disepakati, yaitu 100 juta. 

Akad sebagaimana disebutkan ini dikenal dgn istilah bai’ urbun. Para ulama memberikan definisi mengenai bai’ urbun ini sebagai berikut:

بيع العربون هو أن يبيع الإنسان الشيء ويأخذ من المشتري مبلغاً من المال يسمى عربوناً لتوثيق الارتباط بينهما على أساس أن المشتري إذا قام بتنفيذ عقده احتسب العربون من الثمن، وإن نكل كان العربون للبائع

Artinya, “Bai urbun ialah bila ada seseorang menjual sesuatu, kemudian ia meminta dari pembeli sejumlah uang sebagai uang muka dgn tujuan dijadikan jaminan ikatan akad yg telah dijalin oleh keduanya, dgn landasan bahwa bila pembeli memutuskan melanjutkan akad, maka uang muka tersebut diitung sebagai harga, namun bila pembeli membatalkan akad, maka uang muka tersebut milik penjual,” (Hisamuddin Afanah, Fiqhut Tajir Al-Muslim, [Baitul Muqaddas, Maktabah Ilmiyah, Cet. ke-1: 1426 H], halaman 89).

Bagaimana hukum melakukan bai’ urbun ini? Di sini para ulama berbeda pendapat. Ulama yg melarang dan menyatakan status haramnya bai urbun ialah jumhur fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah. Ulama yg membolehkan, ialah dari kalangan Mazhab Hanbali. 

Landasan Dalil Ulama yg melarang Transaksi Urbun

Landasan dalil para ulama yg menyatakan bahwa bai’ urbun itu tak boleh dilakukan ialah disandarkan pada sebuah hadits:

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: (نهى النبي – صلى الله عليه وسلم – عن بيع العربان) رواه أحمد والنسائي وأبو داود ومالك

Artinya, “Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Nabi SAW telah melarang praktik jual beli urbun,” (HR Ahmad, An-Nasaiy, Abu Dawud, dan Malik).

Hadits ini disinyalir sebagai hadits dhaif dan mendapatkan komentar dari Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalani di dalam Kitab Talkhishul Habir, juz III, halaman 17, sebagai berikut:

وفيه راوٍ لم يسمَّ، وسُمِّي في رواية لابن ماجة ضعيفه عبد الله بن عامر الأسلمي وقيل هو ابن لهيعة وهما ضعيفان

Artinya, “Di dalam hadits ini terdapat perawi yg tak disebut. Di dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa penyebab dhaifnya hadits ialah sebab keberadaan Abdullah bin Amir Al-Aslami. Ada juga yg menyebut bahwa rawi lemah tersebut ialah Ibnu Lahya’ah. Jadi, ada dua indikasi kedhaifan.” (Talkhishul Habir, juz III, halaman 17).

Apa yg disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalany di atas pernah mendapatkan bantahan dari penulis Nailul Authar sebagai berikut:

والأولى ما ذهب إليه الجمهور لأنّ حديث عمرو بن شعيب (نهى عن بيع العربان) قد ورد من طرق يقوي بعضها بعضا ولأنّه يتضمن الحظر وهو أرجح من الإباحة كما تقرر في الأصول

Artinya “Yang utama ialah pendapat yg disampaikan oleh jumhur ulama sebab sungguh hadits Amru bin Syu’aib (bahwa rasul telah melarang bai urbun) ialah datang melalui banyak jalan yg saling menguatkan antara satu sama lainnya. Selain itu, hadits tersebut juga menyimpan makna peringatan terhadap praktik urbun sehingga merupakan yg paling unggul dibanding pembolehannya secara mutlak sebagaimana mengikut pada ketentuan yg terdapat dalam ilmu ushul.”

Adapun illat pelarangan bai’ urbun, masih menurut mushannif Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar, ialah:

والعلة في النهي عنه اشتماله على شرطين فاسدين‏.‏ أحدهما شرط كون ما دفعه إليه يكون مجانا إن اختار ترك السلعة‏.‏ والثاني شرط الرد على البائع إذا لم يقع منه الرضا بالبيع‏‏

Artinya, “Illat pelarangan bai’ urbun ialah sebab dalam transaksi urbun tersimpan adanya dua syarat yg fasid. Pertama, ialah syarat adanya harta yg harus diserahkan kepada penjual secara cuma-cuma khususnya bila terjadi pembatalan transaksi. Kedua, sebab ada syarat pengembalian barang kepada penjual bila terjadi ketiadaan ridha pembeli,” (As-Syaukani, Nailul Authar).

Illat ini juga dikuatkan oleh keberadaan hadits lain yg melarang memakan harta orang lain secara batil, tanpa adanya unsur transaksi di dalammnya. Rasulullah SAW bersabda:

لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ

Artinya,“Jika engkau menjual suatu buah kepada saudaramu, lalu ditemukan adanya cacat pada buah tersebut, maka tak halal bagimu mengambil suatu kompensasi dari saudaramu tanpa adanya hak.”

Hadits senada juga disampaikan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:

أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ

Artinya,“Adakah kamu mengetahui bahwa Allah telah melarang jual beli buah dgn kompensasi berupa harta saudaramu?”

Syekh Muhammad Nabil At-Tikrity-salah satu ulama dari aswaja yg mengajar di Universitas Tikrit, Iraq-menyampaikan opini terhadap kedua hadits terakhir ini:

وهذا الحديث بروايتيه أصل في بيان ضابط حركة المال بين الناس، إذ لا بد أن تكون الحركة مقابل عوض يؤخذ، وبالتالي فإنْ غابَ العوضُ، وكان أخذ المال دون مقابل أو عوض، فالمعاملة من قبيل أخذ أموال الناس بالباطل، وهذا هو دليل الجمهور في التحريم، وليس الحديثين المشار إلى ضعفهما

Artinya, “Hadits ini dgn riwayatnya merupakan dasar utama yg menjelaskan batasan pergerakan harta di antara manusia, yaitu bahwa hendaknya dalam setiap perpindahan harta ialah harus disertai dgn adanya ‘iwadh (pengganti pertukaran) yg sebanding. Tanpa adanya iwadh yg sebanding, maka pertukaran merupakan pertukaran yg tanpa disertai nilai tukar yg sebanding, dan termasuk jenis muamalah memakan harta orang lain secara batil. Inilah dalil utama jumhur ulama yg memandang haramnya bai’ urbun, dan dari kedua hadits terakhir yg dijadikan landasan, tak ada indikasi status kedhaifannya.”

Alhasil, berdasarkan keterangan di atas, yg dijadikan alasan pengharaman urbun dalam transaksi menurut tiga jumhur ulama mazhab ialah sebagai berikut:

1. Ada dua syarat dalam satu transaksi, di mana bila terjadi pembatalan transaksi, maka pihak penjual tak mengembalikan uang muka yg diserahkan tanpa adanya akad pertukaran.

2. Praktik sebagaimana disebutkan di atas ialah merupakan bagian dari tindakan memakan harta orang lain secara batil.

Landasan Ulama yg Membolehkan Uang Muka

Adapun ulama yg membolehkan uang muka dalam transaksi, ialah ulama dari kalangan Mazhab Hanbali. Mereka beristidlal dgn menggunakan hadits sanad dari Sayyidina Umar bin Khathab, Sayyidina Abdullah bin Umar, Ibnu Sirin, Sa’id bin Musayyab, dan Nafi’ bin Abdi Al-Harits RA: 

أنه اشترى لعمر دار السجن من صفوان بن أمية بأربعة آلاف درهم فإن رضي عمر كان البيع نافذاً وإن لم يرض فلصفوان أربعمئة درهم

Artinya, “Sungguh Nafi bin Abd Al-Harits telah membelikan Umar sebuah rumah tahanan dari Shafwan bin Umayyah sebesar 4000 dirham (dgn syarat) bila Umar ridha, maka akad jual beli tersebut berlanjut. Namun bila tak ridha, maka uang sebesar 400 dirham menjadi milik Shafwan.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz IV, halaman 176). 

Para ulama ini juga berhujah dgn sebuah hadits mursal, yg diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf dan Zaid bin Aslam: 

سئل عن بيع العربان فأحله

Artinya, “Rasulullah SAW suatu ketika ditanya tentang jual beli dgn uang muka, maka beliau membolehkannya.” (Nailul Authar lis Syaukani, juz V, halaman 173).

Adapun illat pembolehan yg disampaikan oleh kalangan ini ialah sebagai berikut:

ومن المعلوم أن طريقة العربون، هي وثيقة الارتباط العامة في التعامل التجاري في العصور الحديثة، وتعتمدها قوانين التجارة وعرفها، وهي أساس لطريقة التعهد بتعويض ضرر الغير عن التعطل والإنتظار

Artinya,“Sebagaimana maklum diketahui bahwa transaksi urbun dipergunakan di banyak transaksi niaga era modern saat ini ialah semata sebagai jaminan keterikatan antara penjual dan pembeli secara umum. Banyak peraturan/undang-undang baru yg disusun atas dasar akad tersebut dan memberlakukannya secara umum, dan bahkan menjadi landasan penetapan ganti rugi yg ditimbulkan oleh pihak lain sebab alasan penundaan dan menunggu.”

Alhasil, berdasarkan pendapat ulama yg menganggap bolehnya transaksi urbun ini, ialah dilandasi oleh illat ganti rugi (ta’widl) terhadap masa menunggu sehingga harta tak dapat dijual ke pihak lain, atau sebab terpaksa harta yg harus berhenti tak beraktivitas. 

Simpulan Hukum

Hukum jual beli rumah dgn disertai uang muka, yg mana uang muka itu kelak dimiliki oleh pihak penjual bila terjadi pembatalan akad, dapat dipilah sebagai berikut:

1. Haram. Ini ialah pendapat dari jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.

2. Boleh. Ini ialah pen dapat dari kalangan Hanabilah. Wallahu a’lam bis shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.