Khutbah I
 صدق الله العظيم
Sidang Jumah rahimakumullah,
Sejak tahun lalu, sesuai dgn usulan dari berbagai pihak termasuk Nahdlatul Ulama (NU), pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Kelahiran Pancasila melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Untuk itu setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Lahir Pancasila.
Pancasila ialah dasar negara Republik Indonesia yg telah disepakati bersama oleh para Founding Fathers kita yg terhimpun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mukatamar ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo memutuskan menerima Pancasila sebagai dasar negara dan asas tunggal bagi setiap organisasi di Indonesia. Keputusan tersebut bersifat final sehingga tak perlu lagi diperdebatkan keabsahannya. Yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus ialah mengamalkan keputusan itu dgn sebaik-baiknya.
Sidang Jumah rahimakumullah,
Pernyataan bahwa kelima sila dari Pancasila secara teologis tak bertentangan dgn ajaran Islam dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini merujuk pada Al-Qur’an, Surah Al-Ikhlas, ayat 1 yg berbunyi sebagai berikut:
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.â€
Ayat ini merupakan inti ajaran Islam yakni iman tauhid. Artinya sila pertama memberikan jaminan bahwa negara melindungi keyakinan bahwa Allah itu esa. Selain itu setiap warga negara Indonesia wajib memiliki keyakinan agama sebab Indonesia bukan negara sekuler dan apalagi atheis. Dengan kata lain Indonesia ialah sebuah negara yg mewajibkan seluruh warga negara memeluk agama sesuai dgn keyakinan masing-masing. Tak seorang pun di negeri ini diperbolehkan tak memiliki keyakinan agama atau yg disebut ateisme. Seluruh agama yg berlaku di Indonesia menyepakati Keesaan Tuhan sesuai dgn konsep masing-masing.
Sidang Jumah rahimakumullah,
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kedua ini merujuk pada Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 135 yg berbunyi sebagai berikut:
Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman, jadilah kamu orang yg benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi sebab Allah…â€
Ayat tersebut merupakan salah satu ajaran penting di dalam Islam yg menekankan perlakuan adil terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Islam menolak diskriminasi sebab setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah apapaun latar belakangnya. Manusia dipandang setara tanpa memandang etnis, ras, agama dan golongan. Di hadapan Allah, hanya “prestasi ketakwaan†yg membedakan antara manusia satu dgn lainnya.
Berdasar pada sila kedua ini seluruh warga negara Indonesia yg manjemuk ini mendapatkan jaminan mau kesamaan hak di depan hukum. Martabatnya sebagai manusia dijunjung tinggi. Hal ini sejalan dgn prinsip ajaran Islam yg menekankan perlakuan adil sebab berlaku adil merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al Maidah, ayat 8, yg berbunyi:
Artinya: “Berlakulah adil sebab adil itu lebih dekat kepada ketakwaan kepada Allah.”
Singkatnya, sila kedua dari Pancasila yg menekankan keadilan dan kebabilan demi menjungjung tingi harkat dan martabat manusia ini sejalan dgn perintah-perintah di dalam Al-Qur’an yg menjadi pedoman hidup bagi seluruh kaum Muslimin.
Sidang Jumah rahimakumullah,
3. Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini merujuk pada Surah Al-Hujurat, ayat 13 sebagai berikut:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Ayat di atas secara jelas bersesuaian dgn kondisi obyektif bangsa Indonesia yg terdiri dari berbagai suku, ras dan golongan. Dengan kata lain negeri ini dianugerahi dgn keberagaman yg harus dirawat dan dijaga dgn saling mengenal dan berinterkasi buat mewujudkan persatuan bersama. Untuk itu ditetapkanlah Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan demi mewujudkan persatuan nasional.
Persatuan memang sangat diperlukan dan menjadi syarat mutlak buat hidup bersama secara damai dan bergotorng royong buat mengisi kemerderkaan yg telah diperjuangkan para syuhada dan pahlawan kita dgn pengorbanan harta, raga hingga nyawa. Perintah buat bersatu memiliki landasan teologis yg sangat kuat sebagaiamana diamanatkan dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran, ayat 103 sebagai berikut:
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah mau nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu sebab nikmat Allah, orang-orang yg bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu mendapat petunjuk .â€
Kedua ayat tersebut, yakni ayat 13 dari Surah Al-Hujurat dan ayat 103 dari Surah Ali Imran, secara jelas menginspirasi dan menjadi sumber rujukan bagi sila ketiga dari Pancasila yg tak dapat kita bantah.
Sidang Jumah rahimakumullah,
4. Kerakyatan yg Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Sila keempat ini merujuk pada Surah Asy-Syuro, ayat 38 sebagai berikut:
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yg menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dgn musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yg Kami berikan kepada mereka.â€
Ayat di atas secara jelas menekankan supaya para pemimpin melakukan musyawarah buat mencapai mufakat dan menjadikannya prioritas dalam megambil keputusan. Ayat ini juga melarang dilakukannya cara-cara yg memaksakan kehendak kepada orang lain, tetapi lebih menekankan musyawarah atau dialog yg melibatkan semua pihak yg berkepentingan meskipun dalam pelaksanaannya ada yg harus melalui perwakilan masing-masing.
Selain merujuk pada Surah Asy-Syura, ayat 38 tersebut, sila keempat ini juga sejalan dgn kaidah fiqhiyah sebagai berikut:
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dgn kemaslahatan.â€
Kaidah fiqhiyah tersebut merupakan rumusan yg ditegaskan oleh Imam Syafi’i yg meyakini bahwa kedudukan seorang pemimpin merupakan kedudukan yg setara dgn seorang wali terhadap anak yatim. Maksudnya ialah seorang pemimpin memiliki kewajiban buat memastikan bahwa kebijakan-kebijakannya beroreintasi kepada kemaslahatan rakyat yg dipimpinnya dan bukan malah sebaliknya merugikan dan menyengsarakan mereka.
Sidang Jumah rahimakumullah,
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima ini merujuk pada Surah An-Nahl, ayat 90, sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebabilan.â€
Ayat tersebut menekankan bahwa keadilan dan kebabilan sosial harus selalu dijunjung tinggi demi perdamaian dan kesejahteraan bersama sekaligus buat melindungi bahwa orang-orang lemah, baik secara kuantitas maupun kualitas mendapatkan jaminan bahwa mereka dapat turut merasakan kesejahteraan bersama. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yg majemuk. Mereka harus mendapatkan perlakukan yg sama di depan negara tanpa diskriminasi berdasarkan suka, agama maupun golongan.
Sila kelima ini sejalan dgn sistem sosial ekonomi Islam bahwa hak-hak individu diakui dan dihormati. Namun demikian setiap individu memiliki kewajiban sosial yg harus dilaksanakan buat mencapai masyarakat yg adil dan makmur bersama.
Sidang Jumah rahimakumullah,
Dari seluruh urian tersebut kita dapat meyakini bahwa Pancasila tak bertentangan dgn aqidah, syariah, dan akhlak Islam. Untuk itu menjadi kewajiban kita bersama buat mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila hanyalah salah satu dari keempat pilar kebangsaan Indonesia. Untuk itu, juga merupakan kewajiban kita bersama buat mempertahankan dan menjaga ketiga pilar lainnya, yakni UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Khutbah II
أَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا أَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكÙمْ بÙأَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى Ø¥Ùنَّ اللهَ وَمَلآئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ أَبÙÙ‰ بَكْر٠وَعÙمَر وَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا أَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ أَعÙزَّ اْلإÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ أَعْدَاءَ الدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! Ø¥Ùنَّ اللهَ يَأْمÙرÙنَا بÙاْلعَدْل٠وَاْلإÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙŠ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوا اللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠أَكْبَرْ
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta