Rendah Hati di Hadapan Allah, Diri Sendiri, & Manusia

Suatu ketika Sayyidina Ali ibn Abi Thalib karramallahu wajhah yg juga bergelar Abu Turab berkata:

كن عند الله خير الناس وكن عند النفس شرالناس وكن عند الناس رجلا من الناس

Artinya, “Jadilah kamu di sisi Allah sebagai sebaik-baik manusia, sementara itu jadilah kamu di lihat dari sisi jiwa sebagai seburuk-buruk individu manusia! Jadilah kamu di sisi masyarakat sebagai seorang yg mempersatukan mereka!”

Maqalah ini tertuang di dalam dua kitab yg memiliki struktur redaksi sama, yaitu Kitab Nashaihul ’Ibad, halaman 12 dan Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara minal Ahaditsi ala Alsinatin Nas, halaman 123.

Ada sejumlah penjelasan yg turut disertakan oleh Syekh Nawawi Banten dalam karyanya yg populer di kalangan pesantren Indonesia ini, yaitu Nashaihul’Ibad. Saat menjelaskan, “Jadilah kamu di sisi Allah sebagai sebaik-baik manusia, sementara itu jadilah kamu di lihat dari sisi jiwa sebagai seburuk-buruk individu manusia!” ia menukil sebuah penjelasan yg dikutip dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailany, sebagai berikut:

إﺫﺍ ﻟﻘﻴﺖ أﺣﺪﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭأﻳﺖ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻚ، ﻭﺗﻘﻮﻝ: ﻋﺴﻰ أﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻨﻲ ﻭأﺭﻓﻊ ﺩﺭﺟﺔ فاﻥ ﻛﺎﻥ ﺻﻐﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﺺ ﺍﻟﻠﻪ ﻭأﻧﺎ ﻗﺪ ﻋﺼﻴﺖ ﻓﻼ ﺷﻚ إﻧﻪ ﺧﻴﺮ ﻣﻨﻲ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺒﻴﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻗﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺒﻠﻰ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ أعطى ﻣﺎ ﻟﻢ أﺑﻠﻎ ﻭﻧﺎﻝ ﻣﺎ ﻟﻢ أﻧﻞ ﻭﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﺟﻬﻠﺖ ﻭﻫﻮ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻌﻠﻤﻪ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﻫﻼ ﻗﻠﺖ: ﻫﺬﺍ ﻋﺼﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺠﻬﻞ ﻭأﻧﺎ ﻋﺼﻴﺘﻪ ﺑﻌﻠﻢ ﻭﻻ أﺩﺭﻱ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻰ أﻭ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺘﻢ ﻟﻪ ﻭإﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻗﻠﺖ: ﻻ أﺩﺭﻱ ﻋﺴﻰ أﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻓﻴﺨﺘﻢ ﻟﻪ ﺑﺨﻴﺮ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻭﻋﺴﻰ أﻥ أﻛﻔﺮ ﻓﻴﺨﺘﻢ ﻟﻲ ﺑﺴﺆ ﺍﻟﻌﻤﻞ

Artinya, “Jika kamu bertemu dgn seseorang, maka yakinilah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu, “Mungkin kedudukannya di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih tinggi dariku”. Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Anak ini belum bermaksiat kepada Allah, sedangkan diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh lebih baik dariku”. Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Dia telah beribadah kepada Allah jauh lebih lama dariku, tentu dia lebih baik dariku”. Jika bertemu dgn seorang yg berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu, “Orang ini memperoleh karunia yg tak kudapat, mencapai kedudukan yg tak kucapai, mengetahui apa yg tak kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik dariku”. Jika bertemu dgn seorang yg bodoh, maka katakanlah dalam hatimu, “Orang ini bermaksiat kepada Allah kerana dia bodoh (tak tahu), sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Aku tak tahu bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak”. Jika bertemu orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu, “Aku tak tahu apa yg mau terjadi, dapat jadi dia memeluk Islam dan mengakhiri hidupnya dgn perbuatan baik, sedang aku dapat saja berbuat kafir dan mengakhiri hidupku dgn perbuat buruk”. (Nashaihul’Ibad, halaman 12).

Adapun ketika menjelaskan maksud maqalah “Dan jadilah kamu di sisi masyarakat sebagai seorang yg mempersatukan mereka!”, Syekh Nawawi Banten menuliskan komentarnya sebagai berikut:

فإن الله يكره أن يرى عبده متميزاً عن غيره كما في الحديث

Artinya: “Karena sungguh Allah SWT tak menyukai hamba-Nya sebagai yg mengistimewakan diri dari sesamanya, sebagaimana dalam sebuah hadits.” (Nashaihul ’Ibad, halaman 12).

Memang, dalam kesempatan ini, Syekh Nawawi Banten tak mengutip hadits yg dimaksud di situ. Ia hanya menunjukkan bahwa hal itu ada dalam sebuah keterangan hadits. Melalui penelusuran lebih lanjut, penulis mendapati beberapa bunyi hadits yg kiranya dimaksud oleh Syekh Nawawi sebagai berikut:

Pertama, hadits yg diriwayatkan oleh Imam At-Thabary di dalam Kitabnya Khulashatu Sa’iri Sayyidil Basyar, juz I, halaman 87.

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان في بعض أسفاره فأمر بإصلاح شاة فقال رجل يا رسول الله علي ذبحها وقال آخر علي سلخها وقال آخر علي طبخها فقال صلى الله عليه وسلم وعلي جمع الحطب فقالوا يا رسول الله نحن نكفيك فقال قد علمت أنكم تكفوني ولكني أكره أن أتميز عليكم فإن الله يكره من عبده أن يراه متميزا بين أصحابه وقام صلى الله عليه وسلم وجمع الحطب

Artinya, “Sungguh, Nabi SAW suatu ketika berada di tengah rombongan safar-nya. Kemudian ia memerintahkan supaya membereskan dgn baik seekor kambing yg bersama mereka. Lalu tiba-tiba seorang lelaki berkata, ‘Ya Rasulallah, biar aku saja yg menyembelihnya. Lalu datang lelaki lain berkata, ‘Aku yg memotongnya, Wahai Rasul.’ Lelaki lain lagi berkata, ‘Aku yg bagian memasaknya, ya rasul.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku bagian yg mengumpulkan kayu bakarnya.’ Para sahabat bersahutan menjawab, ‘Ya Rasulullah, biarlah kami saja, telah mencukupi.’ Rasulullah menjawab, ‘Aku tahu bahwa dgn kalian saja telah mencukupi. Tetapi aku tak suka sebagai yg diistimewakan di antara kalian, sebab sungguh Allah SWT membenci melihat hamba-Nya mengistimewakan diri dari para sahabatnya. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bangkit dan mencari kayu bakar.”

Kedua, As-Sakhawi di dalam Kitab Al-Maqashid Al-Hasanah lis Sakhawy, juz I, halaman 210, menuliskan:

حديث (إن الله يكره العبد المتميز على أخيه) لا أعرفه وسيأتي في لا خير في صحبة من لا يرى لك من الود مثل ما ترى له

Artinya, “Sebuah hadits berbunyi ‘Sungguh Allah membenci seorang hamba yg mengistimewakan diri dari saudaranya.’ [Komentar As-Sakhawy]: Aku tak mau menunjukkan penjelasannya sekarang, namun kelak mau datang keterangannya d dalam bab ‘Tidak ada kebaikan bersahabat dgn orang yg tak mau membalas kecintan kepadamu sebagaimana kamu menunjukkan kecintaan kepadanya.’”

Ketiga, Abul Yaman bin Asakir di dalam Kitab Timtsalun Na’lis Syarif li Abil Yaman bin Asakir pada bab al-Kalam ‘alal Atsrah.

ما نصه ويؤيده ما روي أنه أراد أن يمتهن نفسه في شيء قالوا نحن نكفيك يا رسول الله قال (قد علمت أنكم تكفوني ولكن أكره أن أتميز عليكم فإن الله يكره من عبده أن يراه متميزا على أصحابه) وشرف وكرم

Ibnu Asakir menyatakan bahwa sungguh di dalam riwayat hadits di atas, kalimat “Biar kami saja ya Rasulullah, hal itu telah mencukupi”, kalimat ini dikehendaki sebagai kalimat merendahkan diri di hadapan rasul. Makanya kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Aku tahu bahwa sungguh kalian sendiri saja telah mencukupi. Tapi aku tak menyukai sebagai yg diistimewakan di antara kalian, sebab sungguh Allah tak menyukai hamba-Nya yg mengistimewakan diri di antara sahabat-sahabatnya,” yaitu merasa diri mulia dan terhormat.

Keempat, Az-Zarqany, di dalam Syarah Az-Zarqany, juz IV, halaman 265, menuliskan keterangan sebagai berikut:

ومن تواضعه عليه الصلاة والسلام أنه كان في سفر، وأمر أصحابه بطهو شاة، فقال أحدهم: علي ذبحها…..إلى آخر الحديث

Artinya, “Sebagian dari sifat ketawadhuan Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam ialah sungguh dalam suatu kesempatan safar, ia memerintahkan sahabatnya supaya bersiap menyucikan kambing (dimasak bersama-sama). Lalu salah seorang sahabat berkata, ‘Saya yg menyembelihnya, ya rasul… (hingga akhir hadits).”

Apa yg disampaikan oleh masing-masing ulama di atas menunjukkan kesesuaian dgn yg disampaikan oleh Syekh Nawawi Banten. Dengan kata lain maqalah di atas memiliki saksi berupa hadits. Untuk itu, nilai-nilai yg tertuang di dalam maqalah ialah patut buat diamalkan oleh semua orang.

Intisari dari maqalah ialah supaya senantiasa seorang hamba berfokus pada pembinaan jiwa ketawadhuan, rendah hati, dan tak sombong kepada pihak-pihak sebagaimana maqalah dari Syekh Abdul Qadir Jailany di atas sebab kita tak tahu akhir hayat kita kelak husnul khatimah atau suul khatimah. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Syamsudin al-Baweany, Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.