Menurut kamus Lisan al-Arab, juz 3, halaman 202, al-Fairuz Zabadi menyatakan sebuah istilah qaumun mahshurun idza hushiru fi hishnin (kaum yg terkepung saat mereka berada di dalam suatu benteng). Di dalam rangkaian teks tentang haji, juga disebutkan istilah mahshuruna fi al-hajji (tertahan dalam haji). Allah subhanahu wata’ala berfirman: wa in uhshirtum, maksudnya ialah bila kalian tertahan/terkepung. Masing-masing dari istilah ini bermuara pada pendekatan ihshar dalam praktik bahasa keseharian dan teks.
Â
Ihshar dalam perspektif yg kita bahas saat ini ialah kondisi di mana kaum muslimin sedang terhalang dari menunaikan ibadah haji atau umrah secara sempurna disebabkan oleh suatu hal yg tak terduga sebelumnya. Asal kata dari ihshar ini ialah Firman Allah subhanahu wata’ala QS al-Baqarah [2] ayat 196:
Â
وَأَتÙمّÙوا الْØÙŽØ¬Ù‘ÙŽ وَالْعÙمْرَةَ Ù„Ùله٠ۚ ÙÙŽØ¥Ùنْ Ø£ÙØÙ’ØµÙØ±Ù’تÙمْ Ùَمَا اسْتَيْسَرَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْهَدْي٠ۖ وَلَا تَØÙ’Ù„ÙÙ‚Ùوا Ø±ÙØ¡ÙوسَكÙمْ ØÙŽØªÙ‘َىٰ ÙŠÙŽØ¨Ù’Ù„ÙØºÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù‡ÙŽØ¯Ù’ÙŠÙ Ù…ÙŽØÙلَّه٠ۚ ÙÙŽÙ…ÙŽÙ† كَانَ Ù…ÙنكÙÙ… مَّرÙيضًا أَوْ بÙه٠أَذًى مّÙÙ† رَّأْسÙÙ‡Ù ÙÙŽÙÙØ¯Ù’يَةٌ مّÙÙ† صÙيَام٠أَوْ صَدَقَة٠أَوْ Ù†ÙØ³ÙÙƒÙ Ûš ÙÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ Ø£ÙŽÙ…ÙنتÙمْ ÙÙŽÙ…ÙŽÙ† تَمَتَّعَ Ø¨ÙØ§Ù„ْعÙمْرَة٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ الْØÙŽØ¬Ù‘Ù Ùَمَا اسْتَيْسَرَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْهَدْي٠ۚ
Â
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sebab Allah. Tetapi bila kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yg mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yg sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib ber-fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yg mudah didapat†(QS AL-Baqarah [2]: 196).
Â
Terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat di atas. Perbedaan itu akhirnya berimbas pada perbedaan hukum fiqihnya. Titik masalah yg diperdebatkan oleh para ulama ialah, apakah ihshar itu disebabkan sebab musuh, ataukah sebab sakit? Sebagian ulama menjawab, bahwa ihshar itu disebabkan musuh, sebagian lagi berpendapat bahwa ihshar itu disebabkan sebab sakit.
Â
Ulama yg berpendapat bahwa ihshar yg dimaksud di sini ialah disebabkan sebab musuh, mereka berlandas pada dalil penggalan ayat: ÙÙŽÙ…ÙŽÙ† كَانَ Ù…ÙنكÙÙ… مَّرÙيضًا أَوْ بÙه٠أَذًى مّÙÙ† رَّأْسÙÙ‡Ù. Mereka juga berpedoman pada penggalan ayat berikutnya: ÙÙŽØ¥ÙØ°ÙŽØ§ Ø£ÙŽÙ…ÙنتÙمْ ÙÙŽÙ…ÙŽÙ† تَمَتَّعَ Ø¨ÙØ§Ù„ْعÙمْرَة٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ الْØÙŽØ¬Ù‘Ù.
Â
Penggalan ayat pertama, mengkabarkan adanya “faedah†berupa kebolehan mencukur rambut setelah disebutkan adanya sakit. Disebutkannya “faedah†setelah lafadh “sakitâ€, menggiring pada keharusan mengalihkan makna sakit kepada makna tersirat (isti’arah). Alhasil, sakit itu bukanlah sakit yg bersifat fisik, melainkan psikis. Contoh dari sakit psikis ini ialah ketakutan, dan sejenisnya. Hal itu didukung dgn penggalan ayat berikutnya yg secara tegas menyatakan “bila kondisi aman (fa idza amintum)â€. Kondisi aman hanya dapat dijumpai bila ada musuh. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafii.
Â
Pendapat kedua berargumen bahwa yg dimaksud dgn muhshar ialah orang yg ditawan/dikepung sehingga kemudian ia sakit (maradl). Sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Rusyd:
Â
إن الآية إنما وردت ÙÙŠ Ø§Ù„Ù…ØØµØ± بالمرض ÙØ¥Ù†Ù‡ زعم أن Ø§Ù„Ù…ØØµØ± هو من Ø£ØØµØ±ØŒ ولا يقال Ø£ØØµØ± ÙÙŠ العدو، وإنما يقال ØØµØ±Ù‡ العدو ÙˆØ£ØØµØ±Ù‡ المرض
Â
“Sesungguhnya ayat itu diturunkan buat orang yg tertahan hajinya sebab sakit. Mereka berhipotesa bahwa muhshar ialah orang yg tercegah. Ayat itu tak boleh diterjemahkan tercegah akibat musuh, melainkan harus diterjemahkan terkepung oleh musuh, sehingga terhalang oleh sakit.†(Abu al-Faidl Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah, Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, Juz 5, halaman 431)
Â
Lantas, bagaimana dgn makna fa idza amintum? Menurut kalangan terakhir ini, maksud dari amintum di dalam ayat tersebut ialah bagian dari maradl (sakit). Mereka berargumen bahwa sakit pada penggalan ayat pertama tak boleh dialihkan pengertiannya dari makna dhahir ke makna isti’arah dgn alasan ketiadaan qarinah (bukti penunjuk) keharusan pengalihan itu.
Â
Ulama yg berpendapat bahwa ihshar ialah bukan disebabkan sebab musuh, melainkan sebab sakit ialah Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Â
Berbekal pertentangan dua pendapat di atas, maka muncul pendapat ketiga dan diikuti oleh jumhur ulama yg menyatakan bahwa ihshar itu ada kalanya sebab musuh dan ada kalanya sebab sakit. Jadi, pendapat ini merupakan gabungan dari dua pendapat sebelumnya (Abu al-Faidl Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, Al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah, Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, juz 5, halaman 431). Melalui pendapat ketiga ini, ihshar sebab adanya wabah dan regulasi pemerintah setempat terkait kekhawatiran serangan wabah penyakit, kerap disandingkan, sebagaimana pernah terjadi pada masa merebaknya flu babi dan dewasa ini sebab virus Corona.
Â
Tahallul
Ibnu Rusyd dalam karyanya Bidayatu al-Mujtahid, menyebutkan bahwa para ulama yg berargumen bahwa ihshar hanya dapat terjadi sebab musuh, mayoritas berargumen wajibnya ber-tahallul sebab umrah atau sebab hajinya.
Â
ÙØ§ØªÙÙ‚ الجمهور على أنه ÙŠØÙ„ من عمرته أو ØØ¬Ù‡ ØÙŠØ« Ø£ØØµØ±
Â
“Jumhur ulama sepakat bahwa bahwasanya ihshar sebab musuh ialah hendaknya ber-tahallul sebab umrah dan hajinya (seketika) di tempat mereka terkepung.â€
Â
Meski demikian, ada juga ulama yg berargumen dari kalangan “ihshar sebab musuhâ€, yg berbeda dgn pemahaman jumhur ulama tersebut di atas, yaitu Syeikh al-Tsauri dan Hasan ibn Shalih. Keduanya berpendapat bahwa tahallul hanya berlaku buat haji saja. Jadi, kalau umrah, maka tak perlu. Ia cukup niat keluar dari rangkaian ibadah umrahnya.
Â
Menyembelih Qurban dan Tempat Penyembelihan
Setaknya ada tiga pendapat yg dapat kita himpun dari keterangan kitab Bidayatu al-Mujtahid. Untuk kalangan yg sepakat wajibnya tahallul, baik dari kalangan “ihshar sebab musuh†maupun “ihshar sebab sakitâ€, terdapat perbedaan pendapat mengenai status wajibnya qurban dan tempat dilangsungkannya penyembelihan.
Â
Imam Malik menyatakan tak wajib qurban dan cukup bertahallul saja. Imam Syafii menyatakan wajib qurban dan bertahallul. Termasuk ulama’ dari kalangan Syafiiyah yg menyatakan hal demikian ini ialah Asyhab. Akan tetapi, Imam Syafii memiliki perincian yg panjang mengenai hal ini, dan kita perlu merujuk lebih jauh. Ringkasnya, mengenai tempat, Imam Syafii menyatakan haitsu ma halla, yg maksudnya: di mana saja sekira tahallul dapat dilakukan. Sementara Imam Abu Hanifah menyatakan wajib qurban dan dilakukan di tanah haram, serta tak boleh di luarnya.
Â
Â
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Â
Â