Baju Baru, Suci atau Najis?

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Pakaian sering dikelompokkan ke dalam jenis kebutuhan primer. Sebagai kebutuhan pokok, pakaian berfungsi sebagai penutup aurat yg dalam Islam hukumny ialah wajaib. Maka wajib pula bagi individu memiliki pakaian yg cukup buat menutup auratnya. Tidak harus mewah dan beragam, yg penting aurat itu tertutup dgn rapat.

 

Hanya saja di zaman sekarang ini macam pakaian sungguh amat ragamnya. Baik merk, kwalitas, maupun modenya yg terus berubah. Sehingga dinamika dalam dunia mode terus berkembang, baik sebab tuntunan nilai guna dan fungsi saja tetapi juga tuntutan pasar.

 

Hal inilah yg menjadi salah satu faktor seseorang memeiliki banyak pakaian. Sehingga mereka dapat berganti-ganti memakainya. Jika salah satu pakaian telah dipakai dan dianggap kotor ataupun terkena najis maka seseorang mau menggantinya dgn yg bersih dan suci, begitulah keadaan yg kesehariannya dialami seseorang.

 

Pakaian yg dianggap telah kotor dan najis mau dicuci kembali menggunakan air dgn tujuan supaya kembali bersih dan suci lalu dapat digunakan buat beribadah seperti shalat dan ibadah lain. Ketika seseorang memiliki pakaian yg telah usang dan warna pakaian yg memudar, kecondongan mau muncul buat membeli pakaian baru.

 

Tidak ada larangan membeli pakaian baru meskipun pakaian yg lama masih layak buat dipakai, tentu tiada lain tujuan membelinya ialah buat menutup aurat, supaya terlihat rapi dan menjaga kebersihan. Kebingungan dan keragu-raguan mau kesucian pakaian baru terkadang menjadi beban tersendiri, disebabkan bila seseorang membeli pakaian baru entah itu kemeja, celana, sarung dan lain-lain merasa was-was mau kesuian pakaian tersebut.

 

Maka buat solusi menghilangkan rasa keragu-raguan apakah pakaian tersebut suci atau tak, sebagian ulama’ memberi penjelasan bahwa pakaian yg baru saja ia beli dihukumi suci sebab asal dari pada sesuatu itu suci selama tak ada hal-hal yg membuatnya terkena najis, seperti baju yg terbuat dari campuran kulit bangkai hewan, atau terbuat dari campuran sesuatu yg najis, maka bila diketahui itu semua, baju tersebut dihukumi najis. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah Wa Al-Nadloir menjelaskan,

 

قَاعِدَة: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم

 

“Salah satu qaidah Fiqhiyah berbunyi: Asal sesuatu itu hukumnya mubah, sampai ada dalil yg mengharamkannya.”

 

Kaidah Fiqhiyah ini memberi penegasan bahwa sesuatu misalnya hewan atau apapun  dihukumi mubah dan halal selama tak didapati dalil yg mengharamkannya. Jika Qaidah ini disesuaikan dgn akar masalah diatas, maka seseorang yg membeli baju baru namun ia dilanda keragu-raguan apakah baju tersebut suci atau najis, atau terbuat dari barang yg suci ataukah najis, kesucian baju tersebut menjadi hukum yg dimenangkan dalam artian baju baru itu dihukumi suci selama tak diketahui ada sesuatu yg membuatnya menjadi najis. 

 

Jika diketahui bahwa baju itu terdapat sebuah najis yg menempel maka hukum baju tersebut tak dapat dibawa kehukum asal, sebab telah diketahui ada najis yg menempel. Qaidah ini berlaku bila tak diketahui asal muasal apakah baju tersebut suci ataukah najis, maka boleh dibawa kehukum asal yg mengatakan bahwa asal sesuatu tersebut suci selama tak ada dalil atau bukti yg menyebutkan mengenai najisnya baju tersebut. (Pen. Fuad H/Red. Ulil Hadrawi)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.