Penggunaan Kata Sayyidina Menurut KH Sya’roni Ahmadi

Seiring dgn bertumbuhkembangnya beberapa paham di Indonesia, terdapat sebagian kelompok yg gemar menyalahkan amaliyah nahdliyah yg telah berjalan mengakar di tengah masyarakat. Tak sedikit dari mereka saling beradu argumen dgn masing-masing pihak tanpa memahami duduk permasalahan secara utuh.

Seperti perdebatan penggunaan kata “sayyidina” dalam shalawat Nabi. Mustasyar PBNU KH Sya’roni Ahmadi mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya boleh berdasarkan nash Al-Qur’an secara sharih (jelas). Adapun orang yg tak setuju itu semata disebabkan mereka tak paham.

Lafadh as-sayyid merupakan lafadh kulli musytarak, yaitu satu lafadh yg mempunyai makna lebih dari satu arti. Demikian penjelasan Kiai Sya’roni pada salah satu pertemuan pengajian Tafsir Al Jalalain rutin setiap Jumat pagi di Masjid Al Aqsha, Menara Kudus.

Kiai sepuh ini menjelaskan bahwa “sayyidina” mempunyai tiga arti. Hal ini mengacu pada beberapa sumber :

Pertama, as-sayyid yg bermakna Tuhan sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari Muslim الَّسيِّدُ اللهُ. Tuhan itu Allah. Kalau seorang muslim mengucapkan “Sayyidina Muhamad” dgn maksud memakai makna tuhan, “Tuhan itu Muhammad” maka yg mengatakan demikian hukumnya jelas kufur (keluar dari Islam).

Kedua, as-sayyid yg mempunyai arti suami sebagaimana disebut dalam QS Yusuf: 25

وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيْصَهُ مِنْ دُبُرٍ وَّأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ، الاية

Artinya, “Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu.”

Pada ayat ini, as-sayyid tak dapat dimaknai sebagai raja, Tuhan, namun mempunyai makna “suami”. Antara makna yg pertama dgn kedua ini telah jelas ada perbedaannya. Memakai lafadh sayyid pada Nabi Muhammad dgn maksud sebagai suami salah.

Ketiga, as-sayyid mempunyai arti pimpinan sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran:

فَنَادَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ الْمِحْرَابِ اِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا وَنَبِيَّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ

Artinya, “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab, (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dgn kelahiran (seorang putramu) Yahya, yg membenarkan kalimat (yg datang) dari Allah, menjadi ikutan (pemimpin) menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi yg termasuk keturunan orang shalih.”

Pada ayat ini jelas bahwa Allah menyebut Nabi Yahya dgn sebutan sayyid. Ini baru Nabi Yahya. Padahal Nabi Muhammad itu pimpinan para nabi dan rasul, maka telah sangat patut bila kita menyebutnya dgn memberi imbuhan kata sayyid, sebab Nabi Muhammad secara derajat masih di atas Nabi Yahya (qiyas aulawiy).

Dengan keterangan KH Sya’roni di atas, diharapkan umat dapat memahami persoalan secara mendalam sehingga tak ada saling tuduh. Akhirnya umat mau dmau, tak ada pertengkaran dan saling klaim, hanya buat persoalan yg bersifat furu’iyah (bukan fundamen agama). Hal ini dapat tercipta bila masing-masing berkenan memahami agama secara menyeluruh dan mendahulukan hati, pikiran dgn benar bukan nafsu dan emosi. (Mundzir)





Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.