Khutbah I
Â
اَلْØَمْد٠لله الَّذÙيْ بÙÙَضْلÙه٠اتَّقَى اْلمÙتَقÙوْنَ رَبَّهÙمْ، وَبÙÙَضْلÙه٠ازْدَلَÙÙŽ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ جَنَّات٠الكَرَامَة. أَشْهَد٠أَنْ لَا اله Ø¥Ùلاَّ الله وَأَشْهَد٠أَنَّ Ù…ÙØَمَّدًا رَسÙوْل٠الله. اللهم صَلÙÙ‘ عَلَى Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى أله وَأَصْØَابÙه٠أَجْمَعÙيْنَ. أما بعد.Ù€
ÙياعÙبادَ الله٠أÙوصÙيكÙÙ… ÙˆÙŽÙ†Ùْسي بتقوى الله Ùقد Ùاز المتقون، اتَّقÙوا الله ØÙŽÙ‚ÙŽÙ‘ تÙقَاتÙه٠وَلَا تَمÙوتÙÙ†ÙŽÙ‘ Ø¥Ùلَّا وَأَنْتÙمْ Ù…ÙسْلÙÙ…Ùونَ.Ù€
Â
Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan:
Â
ثَلاثٌ Ù…ÙنَجّÙيَاتٌ، وثَلاثٌ Ù…ÙهْلÙكَاتٌ، Ùَأَمَّا الْمÙنَجّÙيَات٠: Ùَتَقْوَى الله٠ÙÙÙŠ السّÙرّ٠وَالْعَلانÙÙŠÙŽØ©ÙØŒ وَالْقول بالØÙ‚ ÙÙÙŠ الرّÙضَا والسخط، وَالْقَصْد٠ÙÙÙŠ الْغÙÙ†ÙŽÙ‰ وَالْÙَقْر٠. وأَمَّا الْمÙهْلÙكَات٠: ÙÙŽØ´ÙØÙ‘ÙŒ Ù…Ùطَاعٌ، وَهَوًى Ù…Ùتَّبَعٌ، ÙˆÙŽØ¥Ùعْجَاب٠الْمَرْء٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙÙ‡Ù
“Ada tiga hal yg dapat menyelamatkan dan tiga hal yg dapat merusak. Yang menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yg merusak antara lain (1) bakhil yg kelewatan, (2) nafsu yg diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri.“
Â
Hadits yg diriwayatkan Imam al-Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yg saling bertentangan. Tiga penyakit perilaku yg terakhir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yg pertama justru sebaliknya, menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.
Â
Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yg tak sederhana, sebab menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yg terbayg sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syari’ah, dan akhlak.
Â
Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan kepada yg lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah dapat dikontraskan dgn perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yg dituruti. Inilah yg membuat takwa terasa sangat berat sebab musuh terbesarnya ialah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tak mengenal kata “sendirian†sebab ia berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari pengamatan Allah.
Â
Dalam Surat At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:
Â
وَمَنْ يَتَّق٠اللَّهَ يَجْعَلْ لَه٠مَخْرَجاً
“Siapa yg bertakwa kepada Allah, Dia mau menjadikan buatnya jalan keluar.â€
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, “berlaku adil dalam kondisi ridla maupun marah†(al-‘adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yg pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita buat tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Yang haram tetap haram meskipun kita sangat mengmaukannya. Yang halal selalu halal kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A dan si B walaupun salah satunya ialah seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yg sangat kita benci lantaran beda mazhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.
Â
Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap terhadap mereka. Karena itu, sebab itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan lawan dari perilaku merusak i‘jâbul mar’i binafsih atau ujub terhadap diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri dapat menjerumuskan seseorang kepada tindak menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tak objektif. Merasa paling benar dan paling baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhânahu wata’âlâ.
Â
Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tak diartikan sebagai tujuan (ghâyah) melainkan sebatas sarana (wasîlah), sebabnya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dgn kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga merupakan cermin dari kepribadian yg sanggup membedakan antara “kebutuhan†dan “kemauanâ€. Apa yg dimaukan seseorang tak selalu identik dgn keperluannya. Karena kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara kemauan luas tak terbatas.
Â
Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apa pun sangat relevan bila dikaitkan dgn hakikat harta yg sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak buat dirinya juga buat orang lain. Bagi orang miskin, kesederhanaan ialah strategi buat tetap bersyukur dan wajar dalam berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan ialah pertanda ia tak tenggelam dalam gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yg ia miliki. Jangan sampai kita menjadi sangat kikir (syuhhun muthâ‘), yg menjadi salah satu perilaku merusak dalam hadits di atas. Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yg berharta melimpah. Karena bakhil selain berkaitan dgn kekayaan, juga perbuatan seseorang.
Â
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Â
Ø¥ÙيَّاكÙمْ وَالشّÙØÙ‘ÙŽØŒ ÙÙŽØ¥Ùنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكÙمْ الشّÙØÙ‘ÙŽ
“Jauhilah perbuatan sangat kikir sebab ia merusak orang sebelum kamu†(HR Abu Dawud).
Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dgn yg lain. Meski terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.
Â
Khutbah II
اَلْØَمْد٠لله٠عَلىَ اÙØْسَانÙه٠وَالشّÙكْر٠لَه٠عَلىَ تَوْÙÙيْقÙه٠وَاÙمْتÙنَانÙÙ‡Ù. وَاَشْهَد٠اَنْ لاَ اÙÙ„ÙŽÙ‡ÙŽ اÙلاَّ الله٠وَالله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ لَه٠وَاَشْهَد٠اَنَّ سَيّÙدَنَا Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠الدَّاعÙÙ‰ اÙلىَ رÙضْوَانÙÙ‡Ù. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠وÙعَلَى اَلÙه٠وَاَصْØَابÙه٠وَسَلّÙمْ تَسْلÙيْمًا ÙƒÙثيْرًا
اَمَّا بَعْد٠Ùَياَ اَيّÙهَا النَّاس٠اÙتَّقÙوااللهَ ÙÙيْمَا اَمَرَ وَانْتَهÙوْا عَمَّا Ù†ÙŽÙ‡ÙŽÙ‰ وَاعْلَمÙوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكÙمْ بÙاَمْر٠بَدَأَ ÙÙيْه٠بÙÙ†ÙŽÙْسÙه٠وَثَـنَى بÙمَلآ ئÙكَتÙه٠بÙÙ‚ÙدْسÙه٠وَقَالَ تَعاَلَى اÙنَّ اللهَ وَمَلآ ئÙكَتَه٠يÙصَلّÙوْنَ عَلىَ النَّبÙÙ‰ يآ اَيّÙهَا الَّذÙيْنَ آمَنÙوْا صَلّÙوْا عَلَيْه٠وَسَلّÙÙ…Ùوْا تَسْلÙيْمًا. اللهÙمَّ صَلّ٠عَلَى سَيّÙدÙنَا Ù…ÙØَمَّد٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلّÙمْ وَعَلَى آل٠سَيّÙدÙناَ Ù…ÙØَمَّد٠وَعَلَى اَنْبÙيآئÙÙƒÙŽ وَرÙسÙÙ„ÙÙƒÙŽ وَمَلآئÙكَة٠اْلمÙقَرَّبÙيْنَ وَارْضَ اللّهÙمَّ عَن٠اْلخÙÙ„ÙŽÙَاء٠الرَّاشÙدÙيْنَ اَبÙÙ‰ بَكْرÙوَعÙمَروَعÙثْمَان وَعَلÙÙ‰ وَعَنْ بَقÙيَّة٠الصَّØَابَة٠وَالتَّابÙعÙيْنَ وَتَابÙعÙÙŠ التَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙاÙØْسَان٠اÙلَىيَوْم٠الدّÙيْن٠وَارْضَ عَنَّا مَعَهÙمْ بÙرَØْمَتÙÙƒÙŽ يَا اَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùيْنَ
اَللهÙمَّ اغْÙÙرْ Ù„ÙلْمÙؤْمÙÙ†Ùيْنَ وَاْلمÙؤْمÙنَات٠وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ وَاْلمÙسْلÙمَات٠اَلاَØْيآء٠مÙنْهÙمْ وَاْلاَمْوَات٠اللهÙمَّ اَعÙزَّ اْلاÙسْلاَمَ وَاْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°Ùلَّ الشّÙرْكَ وَاْلمÙشْرÙÙƒÙيْنَ وَانْصÙرْ عÙبَادَكَ اْلمÙÙˆÙŽØÙ‘ÙدÙيَّةَ وَانْصÙرْ مَنْ نَصَرَ الدّÙيْنَ وَاخْذÙلْ مَنْ خَذَلَ اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ ÙˆÙŽ دَمّÙرْ اَعْدَاءَالدّÙيْن٠وَاعْل٠كَلÙمَاتÙÙƒÙŽ اÙÙ„ÙŽÙ‰ يَوْمَ الدّÙيْنÙ. اللهÙمَّ ادْÙَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزÙÙ„ÙŽ وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ وَسÙوْءَ اْلÙÙتْنَة٠وَاْلمÙØÙŽÙ†ÙŽ مَا ظَهَرَ Ù…Ùنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدÙنَا اÙنْدÙونÙيْسÙيَّا خآصَّةً وَسَائÙر٠اْلبÙلْدَان٠اْلمÙسْلÙÙ…Ùيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمÙيْنَ. رَبَّنَا آتÙناَ ÙÙÙ‰ الدّÙنْيَا Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙÙÙ‰ اْلآخÙرَة٠Øَسَنَةً ÙˆÙŽÙ‚Ùنَا عَذَابَ النَّارÙ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْÙÙسَنَاوَاÙنْ لَمْ تَغْÙÙرْ لَنَا وَتَرْØَمْنَا Ù„ÙŽÙ†ÙŽÙƒÙوْنَنَّ Ù…ÙÙ†ÙŽ اْلخَاسÙرÙيْنَ. عÙبَادَالله٠! اÙنَّ اللهَ يَأْمÙرÙ بÙاْلعَدْل٠وَاْلاÙØْسَان٠وَإÙيْتآء٠ذÙÙ‰ اْلقÙرْبىَ وَيَنْهَى عَن٠اْلÙÙŽØْشآء٠وَاْلمÙنْكَر٠وَاْلبَغْي يَعÙظÙÙƒÙمْ لَعَلَّكÙمْ تَذَكَّرÙوْنَ وَاذْكÙرÙوااللهَ اْلعَظÙيْمَ يَذْكÙرْكÙمْ وَاشْكÙرÙوْه٠عَلىَ Ù†ÙعَمÙه٠يَزÙدْكÙمْ ÙˆÙŽÙ„ÙŽØ°Ùكْر٠الله٠اَكْبَرْ
Â
(Alif Budi Luhur)