Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah…
Marilah kita meningkatkan nilai ketaqwaan kita kepada Allah swt. Hendaklah kita menyadari bahwa Allah swt melihat manusia hanya dari ketaqwaannya, bukan kepahlawanannya, bukan keangkuhannya bukan pula keberaniannya menjadi bomber dan martir. Sama sekali itu tak menjamin ketaqwaan seseorang di mata Allah swt.
<>
Jama’ah yg dirahmati Allah…
Ledakan bom di masjid Maplresta Citrebon minggu ini menyisakan pertanyaan besar bagi masyarakat dunia, benarkah Islam mengandung rahmatan lil-alamin, mana buktinya? masihkah Islam menjadi agama yg penuh berkah terhadap alam semesta? Bukankah kejadian itu menjadi pertanda bahwa dalam ajaran Islam terdapat terorisme?
Prinsip dasar Islam yg dibawa Nabi Muhammad Saw. ialah penyempurnaan etika manusia (li-itmam makarim al-akhlaq). Sehingga keberadaan agama Islam ialah buat membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yg harmonis, damai dan sejahtera. Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman buat umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah. Artinya, umat Islam dituntut buat selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yg ada dalam dirinya: ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antar sesama manusia). Tentunya, dalam persoalan fundamentalisme, radikalisme, maupun terorisme, Islam mempunyai pandangan dan sikap yg jelas dan juga tegas.
fundamentalisme bahasa Arabnya ialah “al-ushuliyyahâ€, berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agamaâ€. “muslim fundamental†berarti seorang muslim yg berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjamaah, menghindari sesuatu yg tak jelas kehalalannya.
Sedangkan “radikalisme†bahasa Arabnya ialah “syiddah al-tanatu’â€. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal ialah orang Islam yg berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam serta bersifat ekslusif dalam memandang agama-agama lainnya.
Jama’ah Jum’ah Rohimakumullah…
Dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Muslim, dikisahkan, ketika Rasulullah Saw membagi fai’ atau harta rampasan perang di daerah Thaif dan sekitarnya, tiba-tiba seorang sahabat yg bernama Dzul-Khuwaishirah dari Bani Tamim melaygkan protes kepada beliau. “Bersikap adillah, wahai Muhammad!â€. Nabi Muhammad pun dgn tegas menjawab, “Celaka kamu! Tidak ada orang yg lebih adil dari aku. Karena apa yg kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah!†Setelah Dzul-Khuwaishirah pergi, Nabi Muhamamd Saw bersabda,
(Suatu saat nanti mau muncul sekelompok kecil dari umatku yg membaca al-Quran, namun tak mendapatkan substansinya. Mereka itu sejelek-jeleknya makhluk di dunia ini).
Hadis sahih di atas kemudian terbukti setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Pada 35 H, Khalifah Usman ibn Affan terbunuh secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yg ekstrem. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib yg juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik, tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yg dikenal dgn faham Khawarij. Hal yg menarik, saat Khalifah Ali bin Abi Thalib masih hidup, kelompok ekstrem Khawarij ini sempat memvonis kafir Khalifah Ali bin Abi Thalib atas dasar kesalahan beliau yg membenarkan arbitrase atau tahkim dgn Mu’awiyah. Soalnya, bagi Khawarij, yg berlaku ialah doktrin “laa hukma illa Allahâ€, bahwa arbitrase itu hanya milik Allah. Khalifah Ali ibn Abi Thalib pun menangkis diplomasi mereka dgn kata-kata singkat, “Untaian kata yg benar, namun tendensius dan mengarah pada yg batilâ€.
Maka gelombang umat Islam radikal yg berkembang saat ini mempunyai sejarahnya, mereka terpengaruh pada pola-pola Khawarij di masa periode awal sejarah umat Islam. Kelompok umat Islam radikal ini tak hanya menggelisahkan kalangan non-muslim. Umat Islam pun terkena dampaknya. Karenanya, menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam buat meluruskan pemahaman mereka atas agama Islam. Sikap mereka yg mau menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yg tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman mereka yg “sathiyyah†(setengah-setengah), rigid dan belum tuntas terhadap ajaran Islam.
Dengan demikian, para hadirin Jama’ah Jum’ah
Kita patut prihatin atas stigmatisasi umat Islam akhir-akhir ini. Hanya sebab perbuatan segelintir umat Islam yg sangat dangkal pemahamannya atas ajaran agama, umat Islam secara keseluruhan terkena dampaknya. Umat Islam taklah dalam posisi vis-à -vis dgn non-muslim. Umat Islam harus hidup di tengah-tengah masyarakat plural dgn damai. Seperti dicontohkan Rasulullah Saw. saat melihat seorang Yahudi yg dibunuh orang Islam secara zalim. Saat itu beliau bereaksi dgn keras: “Man-qatala dzimmiyan fa ana khasmuh†(Barangsiapa yg membunuh non-Muslim, maka ia mau berhadapan langsung dgn saya). Pola hidup berdampingan seperti inilah yg perlu ditiru umat Islam. Pelaksanaan amar ma’ruf (mendorong buat berbuat baik) haruslah lebih diutamakan ketimbang nahy ‘anil munkar (melarang berbuat kemungkaran).
Ini misalnya yg ditunjukkan oleh para sahabat Nabi. Khalifah Umar ibn al-Khattab pernah tak menghukum pencuri di saat musim paceklik dan masa kelaparan. Dari sini sebuah kaidah agama muncul, yg menyebutkan, “Man kana amruhu ma’rufan, fal yakun bil-ma’ruf. Artinya, siapa yg memerintahkan kebaikan, maka haruslah dgn cara yg baik pula.
Jama’ah Jum’ah yg Berbahagia…
Lalu, Bagaimana dgn ajaran tentang jihad yg sering dijadikan alasan radikalisme dalam Islam?
Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ ialah membangun sesuatu yg sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yg berasal dari akar kata jihad ini, pertama, ialah “ijtihadâ€, yg berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail. Kedua, ‘mujahadah’, yg berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Kemudian dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yg menekankan sesuatu yg sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam.
Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yg terbatas mau referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yg berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dgn kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yg diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-kerasâ€. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.
Jama’ah Jum’ah yg berbahagia…
Term “jihad†dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadahâ€. Karena itu, bila kita membincangkan “jihad†paling tak ada dua terma lain yg memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yg memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.
Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihadâ€, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yg selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dgn bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yg memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya â€al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aamâ€, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.
Bentuk jihad pertama ialah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dgn melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua ialah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya bila ada komunitas yg memusuhi kita dgn segala argumentasi yg dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dgn rambu-rambu yg ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yg harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yg muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yg bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dgn mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar buat memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, bila tak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.
Para hadirin Jama’ah Jum’ah Rohimakumulla…
Ingatlah sejarah bangsa kita, dari keempat model jihad tersebut, Rais Akbar NU, Hadlratus-Syaikh KH.Hasyim Asy’ari merupakan ulama yg pernah menterjemahkan makna “jihad†secara kontekstual di bumi Indonesia. Tatkala serdadu sekutu yg dipelopori Inggris datang di Surabaya pada bulan November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang yg dimaksud Hadlratus-Syaikh sama sekali tak dimaksudkan membela ‘agama†an-sich, tetapi guna membela tanah air yg disitu melindungi semua komunitas, baik muslim, kristen, hindu, budha, konghuchu, aliran kepercayaan maupun lainnya.
Hal yg menarik dan perlu dicermati ialah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yg berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini mau mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut — sebagaimana yg dirumuskan para ulama klasik:
1.   al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dgn mengupayakan masyarakat sekeliling supaya mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dgn harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yg tak mampu, dan lainnya.
2.   al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dgn memperjuangkan supaya masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yg sesuai dgn kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3.   al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dgn mengusahakan supaya masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dgn harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4.   Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dgn mengupayakan supaya masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan supaya diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tak mampu, dan lainnya.
5.   Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dgn mengusahakan supaya orang-orang yg jatuh sakit tak terbebani oleh ongkos berobat yg tak terjangkau. Masyarakat yg terserang penyakit harus mendapatkan layanan yg cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dgn layanan yg baik dan murah, pengobatan gratis bagi yg tak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini ialah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini bila benar-benar realisasinya mau melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yg berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam.
Jama’ah Jum’ah yg Mulia..
Akhirnya, kita memang harus benar-benar memahami makna “jihadâ€. Jihad merupakan upaya pencurahan tenaga secara fisik yg diproyeksikan buat mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Berperang dgn angkat senjata hanyalah salah satu dari ribuan macam mode jihad, itupun disertai persyaratan yg harus dipenuhi secara ketat dan syar’i dalam berperang.