Menjadi manusia yg bersih tanpa memiliki dosa sedikit pun mungkin dapat dikatakan mustahil, dan sulit buat ditemukan, kecuali orang-orang pilihan yg memang Allah kehendaki, atau orang yg memang Allah jaga dari segala perbuatan maksiat dan kesalahan.
Selain mereka sebagai makhluk yg oleh Allah diberi nafsu dan akal, melakukan kesalahan seperti hal fitrah yg pasti dilakukan oleh manusia. Mengingat, salah satu kalam populer dalam Islam, yaitu “manusia ialah tempatnya salah dan dosa”.
Meski tak semua manusia melakukan maksiat dgn tujuan melanggar aturan dan menerobos koridor syariat Islam, sebagian dari mereka ada yg melakukan maksiat sebab tak disengaja, meski ada juga yg melakukannya dgn sengaja dan nyata.
Semua umat Islam sepakat bahwa tindakan paling dibenci dan tak diridhai oleh Allah ialah melakukan maksiat dan beberapa kesalahan lainnya. Maksiat dalam pembahasan ini ialah setiap pekerjaan yg tak sesuai dgn ketentuan syariat Islam, baik dgn cara meninggalkan kewajiban, atau dgn mengerjakan setiap larangan. Atau, dapat juga diartikan setiap pekerjaan yg mampu menghalangi kedekatan seorang hamba dgn Allah swt.
Melakukan maksiat atau melanggar syariat Islam tentu memberikan dampak yg sangat buruk bagi umat manusia, dampak itu, misalnya seperti lupa pada kebenaran dan kesalahan. Ia tak dapat membedakan keduanya, bahkan ia cenderung lebih dominan melakukan kesalahan. Pernyataan tegas ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin al-Muqdisi (wafat 763 H), dalam salah satu kitabnya:
إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا.
Artinya, “Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka mau ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, kemudian bila melakukan dosa (kembali) maka mau ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, sampai (hatinya) tersisa menjadi hati hitam selamanya, ia tak mau mengetahui kebenaran, ia juga tak mau ingkar pada kemungkaran.” (Syamsuddin al-Muqdisi, al-Adabusy Syar’iyah, [Darul ‘Alam: 1999], juz I, halaman 188).
Al-‘Arifbillah Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, atau yg lebih dikenal dgn sebutan Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari memberikan penjelasan lebih detail tentang penjelasan di atas.
Menurutnya, titik hitam yg Allah tulis dalam hati ketika melakukan dosa bagai pakaian putih yg terkena kotoran hitam. Badan seseorang laksana pakaian putih, sedang kotoran hitam bagai titik hitam tersebut. Jika ketika itu langsung dibersihkan dan dicuci, maka dgn gampang kotoran itu dapat dihilangkan, namun bila ditahan, bahkan tak pernah mencucinya, maka bukan tak mungkin baju yg awalnya putih menjadi hitam dan tak seorang pun yg senang memakainya.
Begitu juga dgn manusia, ketika ia melakukan dosa, kemudian membersihkan dosanya dgn bertaubat kepada Allah, maka titik hitam dalam hatinya mau dihapus, namun bila ditahan sampai satu bulan, satu tahun, atau bahkan selamanya, bukan tak mungkin hatinya mau menjadi hati hitam. Dan, dampaknya mau lupa pada kebenaran, dan semua kehidupannya serba maksiat dan kesalahan. (Ibnu ‘Athaillah, Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah, Lebanon: 2015], halaman 31).
Dampak dosa yg didapatkan sebab maksiat memang sangat buruk, bahkan semua yg mereka lakukan ialah tindakan yg menutupi hati mereka. Ruhani yg suci telah dikalahkan oleh nafsu yg buta mau kebenaran. Dalam keadaan seperti ini, dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ. المطففين: 14-16
Artinya, “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yg mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (14). Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya (15). Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (QS Al-Mutaffifin: 14-16).
Syekh Abdul Hamid (wafat 1417 H) dalam salah satu tafsirnya mengatakan bahwa banyaknya dosa yg dilakukan seorang hamba, tak hanya berpengaruh pada dirinya dalam hal ibadah, lebih dari itu juga berpengaruh pada potensinya di masa yg mau datang. Menurutnya, ayat 14 pada surat Al-Mutaffifin di atas menjelaskan tentang dosa yg dilakukan secara terus-menerus, ia tak memberikan jeda sedikit pun dgn melakukan tobat. Akibatnya, kebiasaan buruk itu mau tertanam dalam hatinya, melekat dalam jiwanya, dan mau menjadi watak, sehingga ia mau terhalang dari manisnya ketaatan.” (Abdul Hamid, ar-Rihabut Tafsir, [Darul Qahirah, Mesir: 2010], juz VII, halaman 231).
Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab timbulnya dosa dari melakukan maksiat ialah tergantung bagaimana umat Islam menjaga hatinya. Jika hatinya terlepas dari berbagai penyakit tercela (mazmumah) dan penyebab kerusakan hati lainnya, tentu mau sangat berat baginya buat dapat diajak melakukan maksiat dan ringan melakukan ketaatan. Akan tetapi, bila dalam hatinya ada yg bermasalah, maka bukan tak mungkin, bahkan rusaknya hati menjadi penyebab paling urgen dalam melakukan dosa. Lantas apa saja penyebab rusaknya hati?
Sayyid Ahmad Bilal al-Bustani ar-Rifa’i al-Husaini merekam perkataan Imam Hasan Basri perihal beberapa penyebab rusaknya hati. Dalam kitabnya disebutkan:
اِنَّ فَسَادَ الْقَلْبِ مِنْ سِتَّةِ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا يُذْنِبُوْنَ بِرَجَاءِ التَّوْبَةِ، وَيَتَعَلَّمُوْنَ العِلْمَ وَلَايَعْمَلُوْنَ، وَاِذَا عَمِلُوا لَايُخْلِصُوْنَ، وَيَأْكُلُوْنَ رِزْقَ اللهِ وَلَايَشْكُرُوْنَ، وَلَا يَرْضَوْنَ بِقِسْمَةِ اللهِ، وَيَدْفَنُوْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يَعْتَبِرُوْنَ
Artinya, “Sungguh rusaknya hati disebabkan enam hal, (1) terus menerus melakukan dosa dgn harapan tobat; (2) belajar ilmu dan tak mengamalkannya; (3) bila beramal tak ikhlas; (4) memakan rizki Allah dan tak bersyukur; (5) tak ridha dgn pembagian Allah; dan (6) mengubur orang mati dari mereka, namun tak mengambil pelajaran.” (Ahmad Bilal al-Bustani, Farhatun Nufus, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah, Lebanon: 2015], halaman 43).
Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menjelaskan lebih detail perihal dampak-dampak dari dosa yg dilakukan seorang hamba, dan dapat disimpulkan menjadi dua bagian;
(1) dampak secara nyata (dhahir). Misalnya, merusak kesepakatan dgn Allah swt. Artinya, dgn melakukan dosa, seorang hamba telah menerjang janji yg telah Allah berikan kepadanya, seperti mengerjakan semua kewajiban-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Dampak yg lain seperti mau semakin berani buat menampakkan pekerjaan-pekerjaan yg diridhai oleh Allah, malas dalam beribadah, hilangnya cahaya hidayah darinya; dan
(2) dampak secara batin. Misalnya, menjadikan hati keras, dgn tak dapat menerima nasihat-nasihat baik, hilangnya rasa manis dari ketaatan, dan jiwanya dikuasai oleh nafsu-nafsu setan, serta mau lupa pada akhirat dgn segala akuntasi yg mau ia hadapi kelak. Menurut Ibnu ‘Athaillah, semua ini mau terjadi pada diri orang-orang yg melakukan maksiat.
Seharusnya, tanpa adanya dampak-dampak yg telah disebutkan sekali pun, bahkan hanya sekadar berganti nama, misalnya dari predikat orang yg taat menjadi orang yg hianat, telah sangat cukup buat memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk pada diri manusia. Sebagaimana yg ditegaskan oleh Ibnu ‘Athaillah:
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي المَعْصِيَةِ اِلَّا تَبَدُّلُ الْاِسْمِ لَكَانَ كَافِيًا، فَاِنَّكَ اِذَا كُنْتَ طَائِعًا تُسَمَّى بِالْمُحْسِنِ المُقْبِلِ، وَاِذَا كُنْتَ عَاصِيًا اِنْتَقَلَ اسْمُكَ اِلَى المُسِيْئِ المُعْرِضُ
Artinya, “Jika seandainya dalam maksiat tak ada (dampak) selain perubahan nama, maka (hal itu) telah sangat cukup; maka sesungguhnya, bila engkau ialah orang yg taat, dan dinamai orang baik yg menghadap (Allah), dan bila engkau bermaksiat, maka namamu berubah menjadi orang jelek yg berpaling.” (Ibnu ‘Athaillah, Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus, 2015, halaman 44).
Jika dgn perubahan nama saja seharusnya memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk bagi diri manusia, lantas bagaimana bila perubahan itu sampai merubah kenyamaan rasa taat menjadi kenyamanan maksiat dan kenyamanan bermunajat berganti menjadi budak syahwat?
Ini masih dalam persoalan dampak, lain lagi bila sampai berdampak pada sikap. Jika sikap awalnya ialah orang yg baik (muhsin) berbalik menjadi orang yg jelek (musi’). Dan semoga oleh Allah selalu dijauhi, bila dgn melakukan dosa dapat berdampak pada hilangnya derajat mulia di sisi Allah menjadi orang yg sangat hina?
Oleh sebabnya, sebagai umat Islam harus selalu memohon pertolongan kepada Allah, supaya dijauhi dari berbagai penyakit-penyakit hati yg dapat menggerogoti keimanan yg telah tertanam dalam hati, juga memohon supaya kenyamanan taat tak hilang dan diganti menjadi kenyamanan maksiat.
Derajat yg telah diraih di sisi Allah tak sampai diturunkan, minimal bila tak dapat berupaya buat semakin meninggikan derajat di sisi-Nya dgn selalu menaambah ketaatan, tak turun dgn adanya kemaksiatan. Artinya, sedapat mungkin maksiat tak dilakukan, sebab dapat menjadi penyebab hilangnya derajat mulia yg telah diraih di sisi Allah.
Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.