Membahas tentang Operasi Ganti Kelamin atau Transgender dalam Kajian Fiqih

Beberapa hari belakangan publik heboh dgn pernyataan Dorce Gamalama yg mengaku mau dimakamkan secara perempuan ketika meninggal kelak. Ia menyebutkan dirinya telah memiliki kelamin perempuan, sehingga berpesan supaya kelak dimakamkan secara perempuan. Statemen itu pun viral sehingga mengundang banyak orang berkomentar.

Berkaitan hal ini muncul pertanyaan, menurut fiqih Islam, apakah orang yg telah melakukan operasi berganti alat kelamin berarti status kelaminnya juga otomatis berubah? 

Sudah sangat maklum bahwa orang yg dilahirkan sebagai laki-laki sampai kapanpun hukumnya tetap sebagai laki-laki, begitu pula yg orang yg dilahirkan sebagai perempuan sampai kapanpun dihukumi perempuan, meskipun telah melakukan operasi ganti kelamin. Hukum seperti ini berlaku dalam seluruh hal, mulai hukum bersuci, shalat, menutup aurat, hingga perawatan jenazah dan lainnya.

Oleh sebab itu, operasi ganti alat kelamin dari orang yg telah jelas kelaminnya hukumnya tak boleh sebagaimana dibahas dan diputuskan dalam Muktamar Ke-26 NU pada 10-16 Rajab 1399 H atau 5-11 Juni 1979 M di Semarang, Jawa Tengah. Operasi ganti alat kelamin seperti itu juga tak mengubah status kelamin asalnya. 

Dalam kajian fiqih Islam, pernah muncul pertanyaan kasus yg identik dgn kasus di atas. Yaitu, andaikan (1) ada seorang wali yg punya karamah dapat berubah wujud (tathawwur) dari laki-laki menjadi perempuan, atau (2) ada seorang lelaki yg oleh Allah diubah wujudnya (di-maskhu) menjadi perempuan—seperti kisah sebagian Bani Israil yg diubah wujudnya menjadi kera sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 65—, apakah setelah berganti wujud itu ia membatalkan wudhu laki-laki yg menyentuhnya?

Ulama menjawab, buat kasus pertama tak membatalkan, sebab dipastikan bahwa zat wali yg berubah bentuk itu pada hakikatnya tak berubah, yg berubah hanya penampakan luarnya, sementara sifat dzukurah atau kelaki-lakiannya tak berubah.

Sementara dalam kasus kedua ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama membatalkan, sebab sangat mungkin yg berubah ialah zatnya. Kemungkinan kedua tak membatalkan, sebab mungkin yg berubah ialah sifatnya, bukan zatnya. (Abdul Hamid as-Syirwani, Hawasyis Syirwani ‘ala Tuhfatil Muhtah, [Beirut: Darul Fikr], juz I, halaman 137).

Melihat kasus tathawwur atau perubahan wujud seorang wali di atas, perubahan fisik tak otomatis mengubah status jenis kelamin seseorang. Orang yg asalnya laki-laki meskipun berubah secara fisik menjadi perempuan tetap dihukumi laki-laki, sehingga dalam hal wudhu umpamanya, maka tak mau membatalkan wudhu laki-laki lain yg menyentuhnya.

Bahkan dalam kasus maskhu, yg perubahannya lebih drastis, berubah zat maupun sifatnya, ulama saja masih belum mantap, apakah membatalkan wudhu laki-laki lain yg menyentuhnya apa tidak. Apalagi hanya perubahan alat kelamin luar dari hasil rekayasa operasi ganti kelamin, di mana yg berubah hanya sebagian fisik luarnya saja, tentu secara fiqih sangat sulit diterima sebagai alasan perubahan jenis kelamin dari jenis kelamin asalnya. 

Dengan demikian, orang yg melakukan operasi ganti kelamin status jenis kelaminnya tak berubah. Bila asalnya laki-laki maka tetap berstatus sebagai laki-laki, dan bila asalnya perempuan maka tetap berstatus sebagai perempuan. Hal ini berlaku dalam seluruh hukum fiqih, mulai bersuci, shalat, pembagian waris, perawatan jenazah ketika meninggal, dan selainnya. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.

Membahas tentang Hukum Meninggalkan Salat Jumat tiga Kali Berturut-turut, Laki-Laki Wajib Tahu!

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Hukum Meninggalkan Salat Jumat tiga Kali Berturut-turut, Laki-Laki Wajib Tahu!,

Salat Jumat merupakan salah satu ibadah yg diwajibkan bagi umat Islam, terutama laki-laki. Salat ini terdiri dari dua rakaat yg dilakukan setiap hari Jumat, secara berjamaah pada waktu dzuhur.

Kewajiban melaksanakan salat Jumat tercantum dalam QS. Al-Jumu`ah ayat 9 yg berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yg beriman! Apabila telah diseru buat melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu bila kamu mengetahui.

Perintah salat Jumat dalam ayat di atas diperkuat oleh sabda Rasulullah ﷺ:

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ مَالِك لَا أَدْرِي أَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ لَا أَنَّهُ قَالَ
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Artinya: Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Shafwan bin Sulaim, Malik berkata; Saya tak tahu apakah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau tidak? Yaitu perkataan, “Barang siapa meninggalkan salat Jumat tiga kali tanpa ada udzur (halangan) dan alasan, niscaya Allah telah menutup hatinya.” (HR. Malik)

Melihat firman Allah Swt dan sabda Rasulullah ﷺ di atas sangat jelas bahwa perintah salat Jumat ini tak dapat dianggap sepele. Hal ini disebabkan adanya kalimat ancaman dari Allah buat mereka yg tak melaksanakannya. Terlebih lagi bila sampai meninggalkannya 3 kali berturut-turut tanpa adanya udzur.

Dalam hadis tersebut Allah Swt mau menutup hati mereka yg dgn mudahnya meninggalkan salat Jumat, bahkan mencapai 3 kali berturut-turut. Orang yg hatinya telah tertutup, maka tak mau dapat menerima kebaikan.

Kebaikan yg dimaksud di sini bukan sekedar informasi-informasi baik yg diberikan. Tetapi mereka mau susah buat menerima nur (cahaya) atau petunjuk dari Allah. Sehingga ada yg berkata bila ada laki-laki muslim yg meninggalkan salat Jumat 3 kali berturut-turut tanpa udzur, maka mereka telah dianggap keluar dari Islam.

Oleh sebab itu, sebagai umat muslim yg beriman hendaklah menyegerakan panggilan-Nya supaya terhindar dari hal-hal yg mau menyeret kita kepada dosa.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Hukum Meninggalkan Salat Jumat tiga Kali Berturut-turut, Laki-Laki Wajib Tahu! . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Doa Mengantar Seseorang Pergi

Kita dianjurkan buat mendoakan keselamatan bagi orang yg sedang menempuh perjalanan. Kita juga sebaiknya mendoakan kelancaran perjalanan ketika mengantar seseorang pergi supaya yg bersangkutan diberikan kemudahan sepanjang perjalanan.
 

Baca juga: Doa Naik Kendaraan

Adapun berikut ini ialah doa Rasulullah ketika mengantar salah seorang sahabatnya pergi: 

اللَّهُمَّ اطْوِ لَهُ البَعِيْدَ (البُعْدَ)، وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَرَ

Allahummathwi lahul ba‘īda (bu’da) wa hawwin ‘alayhis safara.

Artinya, “Ya Allah, dekatkan jarak tempuhnya yg jauh dan mudahkanlah perjalanan baginya.”
 

Doa ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah yg mengisahkan salah seorang sahabat yg meminta diri kepada Nabi Muhammad saw.

روينا في كتاب الترمذي وابن ماجه عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال يا رسول الله إني أريد أن أسافر فأوصني، قال عليك بتقوى الله تعالى، والتكبير على كل شرف، فلما ولى الرجل قال اللهم اطو له البعيد، وهون عليه السفر، قال الترمذي حديث حسن

Artinya, “Diriwayatkan kepada kami di Kitab At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah ra. Ia bercerita, suatu hari seorang sahabat datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku hendak beperjalanan. Aku memohon wasiatmu.’ ‘Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan bertakbir kala perjalanan menanjak.’ Setelah orang itu berpaling, Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, dekatkan jarak tempuhnya yg jauh dan mudahkanlah perjalanan baginya.’ Imam At-Tirmidzi berkata, ‘Ini hadits hasan,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 187).

 

Doa ini penting diucapkan oleh mereka yg mengantar keluarga atau sahabatnya pergi supaya yg bersangkutan nyaman dan diberikan keselamatan serta kelancaran dalam perjalanan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang empat Tingkatan Wara menurut Imam Al-Ghazali

Wara telah menjadi kata serapan dalam Bahasa Indonesia, yaitu warak. Wara atau warak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bersifat menjauhi perkara yg belum jelas status hukum halal dan haramnya sebab khawatir pada keharamannya.

Misalnya, “Kita harus warak dalam mencari rezeki.”

Secara umum wara berarti menjauhi sesuatu yg dilarang. Tetapi sebenarnya wara terdiri atas 4 tingkatan sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin

ولكن الورع له أربع مراتب

Artinya, “Kewaraan memiliki empat tingkatan/level,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz I, halaman 32).

1. Wara minimal (wara’us syuhud wal qadha)

Kewaraan minimal di mana menjadi syarat integritas saksi di pengadilan. Tanpa kewaraan ini, seseorang dapat keluar dari kriteria sebagai saksi, hakim, dan pemerintah. Kewaraan minimal ini ialah kewaraan seseorang yg menjauhi diri dari barang haram secara lahiriah. (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).

2. Wara orang-orang saleh (wara’us shalihin)

Kewaraan orang-orang saleh ini ialah kewaraan orang yg menjauhi diri dari barang syubhat yg memiliki berbagai kemungkinan (kemungkinan haram, makruh, mubah). (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).

Ketika menjelaskan kewaraan orang-orang saleh, Imam Al-Ghazali mengutip hadits riwayat At-Tirmidzi berikut ini:

قال صلى الله عليه وسلم: دع ما يريبك إلى مالا يريبك 

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Tinggalkan apa yg membuatmu ragu kepada apa yg tak membuatmu ragu,’” (HR At-Tirmidzi yg disahihkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari Hasan bin Ali ra).

Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat Al-Baihaqi ketika menjelaskan kewaraan orang-orang saleh.

وقال صلى الله عليه وسلم: الإثم حزاز القلوب

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Dosa ialah sesuatu yg terpendam dalam hati,’” (HR Al-Baihaqi dan Al-Adani dari Ibnu Mas’ud ra).

 

3. Wara orang-orang bertakwa (wara’ul muttaqin)

Kewaraan orang yg bertakwa ialah kewaraan orang yg meninggalkan kelebihan barang murni kehalalannya yg dikhawatirkan dapat membawanya kepada yg haram. (Al-Ghazali, 2018 M/1439 H-1440 H: I/32).

قال صلى الله عليه وسلم: لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة مما به بأس

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Seseorang tak termasuk ke dalam golongan orang bertakwa sehingga ia meninggalkan apa yg tak masalah (halal) sebab takut terbawa kepada yg menjadi masalah (haram),’” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Contoh kewaraan orang bertakwa ialah kewaraan seseorang buat (tidak) membicarakan orang lain (yg sebenarnya halal) sebab khawatir terbawa pada ghibah (yg haram). Contoh lain yaitu kewaraan orang buat (tidak) memakan dgn syahwat sebab khawatir terjebak pada tindakan yg dilarang.

4. Wara orang-orang yg membenarkan (wara’us shiddiqin)

Kewaraan golongan as-shiddiqin ialah keberpalingan mereka dari selain Allah sebab khawatir melewati sepenggal umur pada hal yg tak bermanfaat dalam menambah kedekatan kepada Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa aktivitasnya di luar itu tak membawanya pada yg haram.

 

Adapun 4 tingkatan wara ini tak tertangkap oleh radar ulama-ulama zahir kecuali wara minimal sebagai tingkat terendah, yaitu kewaraan yg menjadi kriteria seorang saksi dan hakim yg menunjukkan integritas seorang individu sehingga kesaksian (saksi) atau putusan perkaranya (hakim) dapat diterima. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 

 

Membahas tentang Khittah Umat Nabi Muhammad Kini: Merujuk kepada Ulama

Ketika Rasulullah SAW telah wafat, para sahabat menjadi rujukan umat dalam setiap urusan, baik menygkut agama, politik, dan sosial. Setelah sahabat tak ada, generasi selanjutnya ialah tabi’in yg disebut juga generasi salaf, atau yg sering disebut salafus shalih. Dan setelah itu ulama mutaqaddimin. Mereka semua mendapat pengakuan langsung dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Habib Luthfi bin Yahya dalam bukunya Secercah Tinta (2012) mengungkapkan, predikat yg diberikan Rasulullah kepada generasi berikutnya ialah ulama’i ka an-nabi bani isra’il (ulama dari kalangan umatku seperti para Nabi di kalangan Bani Israil).

Dari pengakuan dan predikat yg dinyatakan langsung oleh Nabi Muhammad tersebut menegaskan keistimewaan ulama dari kalangan umat Nabi SAW yg sebanding dgn Nabi di kalangan Bani Israil. Dari petunjuk tersebut, tak ada alasan bagi umat Nabi Muhammad buat tak mengikuti ulama yg merupakan pewaris para Nabi (al-ulama waratsatul anbiya).

Kriteria ulama yg dapat diikuti tentu saja yg mewarisi akhlak Nabi Muhammad dan mampu mewujudkan kehidupan yg lebih baik dgn ilmu-ilmu yg dimilikinya, tak membuat kerusakan di muka bumi, mampu hidup berdampingan dgn sesama makhluk Allah swt, dan lain sebagainya.

Istilah ulama sendiri merujuk kepada seseorang yg mumpuni dalam bidang ilmu agama, berakhlak baik, menjadi teladan hidup bagi masyarakat, dan sifat-sifat mulia lainnya. Ulama senantiasa mengisi sendi-sendi kehidupan dgn laku positif yg berdampak kebaikan secara luas. Keberadaan ulama mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek.

Hadits Riwayat Ad-Dailami dari Anas r.a, Rasulullah SAW bersabda: ittabi’ul ulama’a fainnahum suruuhud dunyaa wamashaa biihul akhirah. 

“Ikutilah para ulama sebab sesungguhnya mereka ialah pelita-pelita dunia dan lampu-lampu akhirat.” (HR Ad-Dailami)

Hadits di atas tentu saja semakin memperkuat pengakuan Rasulullah terhadap para ulamanya. Namun, ketika ini sebagian masyarakat masih ada yg terjebak dgn simbol-simbol agama yg melekat melalui pakaian. Akibatnya, meskipun seorang itu tak berilmu, bahkan secara perilaku dan ucapan tak mencerminkan akhlak mulia, tetapi kerap diikuti sebagai seorang yg dianggap mengerti agama.

Padahal, keistimewaan para ulama yg layak diikuti banyak diungkap dari berbagai hadits di antaranya hadits yg berbunyi: man shafahani aw shafaha man shafahani ila yaumil qiyamah dakhalal jannah (barang siapa yg bersalaman dgnku atau bersalaman dgn orang yg bersalaman dgnku hingga hari kiamat, maka ia masuk surga).

Hadits itu disebut sebagai hadits musalsal bil mushafahah al-mamariyah, Muhammad bin Ja’far Al-Katani dalam risalah al-musalsalat.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon

Membahas tentang Ucapan Hari Raya Imlek Berbahasa Tionghoa Beserta Artinya

Pada kesempatan ini kami mau mengulas tentang Membahas tentang Ucapan Hari Raya Imlek Berbahasa Tionghoa Beserta Artinya,

Hari Raya Imlek 2022 atau Tahun Baru China jatuh pada tanggal 1 Februari 2022 atau besok. Saat ini, berbagai persiapan telah dilakukan, bahkan beberapa ritual juga telah dimulai.

Salah satu hal yg biasa dilakukan warga Tiongkok ialah memandikan rupang atau yg biasa disebut dgn patung dewa dewi.

Perayaan tahun baru Imlek ini mau dilaksanakan oleh orang-orang Tiongkok di mana pun mereka berada. Sama seperti halnya perayaan Idulftri bagi umat muslim.

Di dalam momen-momen hari besar, memberikan ucapan selamat merupakan salah satu hal yg biasa dilakukan umat manusia buat menjalin hubungan baik di antara mereka.

Selain Gong Xi Fa Cai yg artinya “selamat mendapatkan lebih banyak kekayaan atau kemakmuran”, ada beberapa kata dalam bahasa Tionghoa yg dapat kita gunakan dalam perayaan Imlek.

Berikut, mengutip dari beberapa sumber terkait ucapan selamat Hari Raya Imlek yg berbahasa Tionghoa beserta artinya.

  1. Kiong Ho Sin Hie (Dengan hormat mengucapkan selamat dan murah rezeki)
  2. Kiong Ho Sin Cun Lap Hok (Selamat tahun baru semoga murah rezeki)
  3. Kiong Ho Sin Cun Lap Hok, Kap Hu Kit Kheng (Dengan hormat mengucapkan selamat tahun baru, semoga memperoleh rezeki dan seisi rumah selamat)
  4. Kiong Ho Sin Cun Lap Hok, Hoan Su Jib Le (Dengan hormat mengucapkan selamat tahun baru, supaya mendapat untung dan segala harapan terkabul)

Demikian rekomendasi ucapan selamat Hari Imlek 2022 berbahasa Tionghoa beserta artinya. Semoga dgn menjaga tali silaturahmi, mau terus terjalin kerukunan antar umat beragama dan kedamaian di dunia. Aamin.

Demikianlah ulasan mengenai Membahas tentang Ucapan Hari Raya Imlek Berbahasa Tionghoa Beserta Artinya . apabila ada pertanyaan dapat dgn menuliskan pada kolom komentar dibawah ini.

terima kasih





Membahas tentang Obat Pandemi Prakarsa Imam Syafi’i Diuji buat Covid-19

Dunia ilmiah ketika ini diramaikan dgn penemuan obat atau pil buat Covid-19.  Sebenarnya obat yg dimaksud itu bentuknya bukan pil, melainkan kapsul atau tablet. Namun, sebutan “pil” telah akrab di telinga masyarakat buat menggambarkan wujud obat. Obat buat Covid-19 tak hanya berefek antivirus, tetapi ada juga yg berkhasiat buat mengatasi gejala penyakitnya yaitu dikenal dgn obat simtomatik. Kedua efek tersebut, baik efek antivirus maupun efek buat mengurangi gejala infeksi Covid-19 sama pentingnya dalam kondisi pandemi ketika ini.

 

Seiring dgn waktu, pengobatan pandemi Covid-19 terus mengalami kemajuan. Tidak hanya yg berbentuk tablet atau kapsul, peneliti juga mengembangkan obat yg berbentuk sirup. Seperti yg dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Iran, mereka mengembangkan obat sirup dari bahan alami yg sedang diteliti efeknya buat meringankan gejala-gejala Covid-19. Apabila penelitian ini memberikan hasil yg baik, tentu mau sangat membantu pasien anak-anak yg kesulitan menelan tablet atau kapsul. Apalagi, ketika ini varian Omicron telah terbukti banyak menyerang anak-anak.

 

Satu hal yg unik dalam penelitian obat sirup buat Covid-19 ada pada sumber bahan alami yg digunakan. Peneliti di Iran menggunakan tanaman bunga violet atau yg dikenal sebagai Viola odorata buat membuat sirup itu. Berdasarkan namanya, warna bunga tanaman itu ialah violet atau ungu. Menariknya, ternyata bunga violet telah disebutkan oleh Imam asy-Syafi’i sebagai bahan alami berkhasiat obat yg sangat bermanfaat buat mengatasi penyakit-penyakit pada masa pandemi.

 

Dalam kitab Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Imam as-Suyuthi menuliskan:

 

“Ibnu Hajar berkata, pendapat yg paling terkenal dari asy-Syafi’i ialah pernyataan yg disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim dan yg lainnya, yaitu: Menurut Saya, obat yg paling berkhasiat buat wabah ialah al-Banafsaj (bunga Viola odorata), baik dibuat minyak buat dioles maupun dijadikan minuman” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, [Damaskus: Darul Qalam], tanpa tahun: 170).

 

Perkataan Imam asy-Syafi’i di atas menunjukkan bahwa Beliau memiliki prakarsa dan pendapat dalam bidang kedokteran, khususnya tentang obat pada masa wabah. Imam asy-Syafi’i selama ini dikenal oleh dunia Islam sebagai mujtahid dan imam mazhab. Namun, jarang yg mengetahui bahwa beliau juga ahli dalam bidang kedokteran. Pendapat-pendapatnya dalam dunia pengobatan jarang diketahui oleh umat Islam, bahkan yg bermazhab Syafi’i sekalipun.

 

 

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Manaqib Imam Syafi’i menyebutkan besarnya perhatian Imam asy-Syafi’i terhadap dunia ilmu pengobatan. Seorang dokter di Mesir bahkan pernah berdiskusi (mudzakarah) dgn Imam asy-Syafi’i tentang kedokteran sehingga dokter itu mengira bahwa Imam Syafi’i ialah pakar kedokteran. Ketika umat Islam melalaikan ilmu kedokteran, Imam asy-Syafi’i sangat menyesal sebab ilmu itu mau jatuh ke tangan kaum Yahudi dan Nasrani.

 

“Al-Hasan bin Sufyan berkata: Harmalah menceritakan kepada kami dgn mengatakan: Asy-Syafi’i pernah menyesali sebab kaum Muslim telah kehilangan kedokteran dan berkata: Mereka telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu pengetahuan dan mewakilkannya kepada Yahudi dan Nasrani” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Manaqib Imam Syafi’i, terjemah dari Ma’ali at-Ta’sis fi Manaqib Ibnu Idris, terbitan Al-Amiriyah 1301 Hijriah, CV Cendekia Sentra Muslim, tahun 2001, Jakarta: 96-97).

 

Berdasarkan keahlian kedokterannya tersebut, Imam asy-Syafi’i merekomendasikan al-Banafsaj atau bunga violet buat pengobatan wabah. Padahal, pada masa Imam asy-Syafi’i hidup, para ahli sejarah Islam menyatakan bahwa tak ada pandemi apapun yg terjadi. Namun, bukan hal yg tak mungkin Imam asy-Syafi’i yg terkenal sangat hati-hati itu merumuskan pendapatnya tentang bunga violet sebagai obat wabah berdasarkan pengalaman para ahli kedokteran di masa sebelumnya yg mengalami pandemi.

 

Pada masa pandemi Covid-19 ini, sekelompok peneliti kedokteran dan farmasi dari Universitas Teheran bekerja sama dgn Rumah Sakit Az-Zahra di Asfahan mengubilan sirup dari bunga violet buat pasien Covid-19. Hasil penelitian ini masih belum dipublikasikan, tetapi rancangan percobaan yg dilakukan sangat menarik buat diikuti. Para peneliti menguji 2 kelompok pasien yg terdiagnosis Covid-19 di Rumah Sakit Az-Zahra. Satu kelompok diberi sirup yg berisi ekstrak air bunga violet, daun, dan gula. Kelompok yg lain diberi sirup placebo, yaitu sirup yg dibuat mirip dgn obat tetapi tak mengandung obat, hanya mengandung air, gula, dan pewarna makanan tanpa ekstrak bunga violet.

 

Penelitian itu mau menilai perkembangan gejala Covid-19 pada kedua kelompok, baik yg diberi sirup bunga violet maupun yg tidak. Efek yg diamati sebagi hasil penelitian tersebut ialah tingkat keparahan sesak napas dan pengukuran saturasi oksigen pada darah. Sebagaimana yg telah diketahui, gejala Covid-19 yg parah sering terjadi pada saluran napas berupa sesak dan turunnya saturasi oksigen darah.

 

Penelitian yg dilakukan oleh para ahli dari Iran itu bekerjasama dgn industri farmasi yg mau memproduksi sirup bunga violet. Penelitian ini termasuk uji klinik fase 3, yaitu uji obat pada pasien yg sedang sakit dan calon obatnya belum dipasarkan. Peserta uji klinik dalam penelitian ini merupakan 100 orang pasien rawat jalan yg terdiagnosis Covid-19 di rumah sakit, tetapi tak dirawat di rumah sakit. Pasien tersebut telah dicek di rumah sakit dgn tes PCR dan hasilnya positif Covid-19.

 

Iran merupakan salah satu negara di Asia yg terdampak parah oleh Covid-19 pada masa pandemi ini. Iran dulu dikenal dgn Persia, tempat para cendekiawan muslim pada zaman keemasan menghasilkan karya-karya besar. Negara ini mengadopsi sistem pengobatan Unani, yaitu sistem pengobatan tradisional khas Persia yg memiliki unsur islami, terutama dari pengaruh keilmuan Ibnu Sina, Bapak Ilmu Kedokteran yg terkenal itu. Meskipun mengadopsi sistem pengobatan tradisional, Iran juga mengakui dan menerapkan sistem kedokteran modern.

 

Terlepas dari kemungkinan hasil penelitian itu yg belum diumumkan, dasar-dasar upaya pengobatan pada masa pandemi ternyata telah dicetuskan oleh para ulama Islam. Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Sina merupakan kebanggaan umat Islam dalam dunia ilmu pengetahuan. Meskipun bunga violet disebutkan oleh Ibnu Sina dalam Al-Qanun fit Thibb dan digunakan di Eropa sebagai obat buat gejala infeksi pernapasan, belum ada ilmuwan kedokteran atau farmasi yg menyebutkan khasiatnya buat pandemi. Imam Syafi’ilah yg pertama memprakarsai bunga violet buat mengatasi gejala pandemi.

 

Tidak hanya di Iran, bunga violet ini juga dapat tumbuh di negara-negara muslim di Eropa, Afrika, bahkan Indonesia. Di Indonesia, bunga violet tercatat menjadi salah satu tanaman koleksi Kebun Raya Cibodas.  Kemuliaan Imam asy-Syafi’i dgn pengetahuan kedokteran ini berpotensi buat meningkatkan kesehatan umat manusia di dunia. Sebagai negara dgn pengikut mazhab Syafi’i terbesar di dunia, telah selayaknya kita sebagai bagian dari kaum muslimin di Indonesia mengenal keistimewaan Beliau supaya dapat meneladaninya.

 

Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang Farmasi


Membahas tentang Doa buat Orang yg Akan Pergi

Sebaik-baik bekal bagi orang yg mau bepergian ialah doa. Kita dianjurkan mendoakan mereka yg berpamitan buat menempuh sebuah perjalanan demi hajat tertentu. Kepada orang yg mau pergi, kita dianjurkan mendoakan kebaikan buatnya baik lahir maupun batin.

 

Adapun berikut ini ialah doa yg dikutip Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar buat orang yg mau pergi. 

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

Zawwadakallāhut taqwā, wa ghafara dzanbaka, wa yassara lakal khayra haytsumā kunta

Artinya, “Semoga Allah membekalimu dgn ketakwaan, mengampuni dosamu, dan memudahkanmu pada kebaikan di mana pun kamu berada.”

 

Doa tersebut berasal dari hadits Nabi Muhammad riwayat Imam At-Tirmidzi yg mengisahkan salah seorang sahabat yg meminta diri kepada Nabi Muhammad saw sebelum bepergian:

وروينا في كتاب الترمذي، عن أنس رضي الله قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال يارسول الله، إني أريد سفرا فزودني، فقال زودك الله التقوى، قال زدني، قال وغفر ذنبك، قال زدني، قال ويسر لك الخير حيثما كنت قال الترمذي حديث حسن

Artinya, “Diriwayatkan kepada kami di Kitab At-Tirmidzi dari sahabat Anas ra, ia bercerita, suatu hari seorang sahabat datang kepada Nabi Muhammad saw. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku hendak bepergian. Berilah aku bekal.’ ‘Semoga Allah membekalimu dgn ketakwaan,’ kata Rasul. ‘Tambahkan lagi,’ katanya. ‘Semoga Allah mengampuni dosamu,’ jawab Rasul. ‘Tambahkan lagi wahai Rasul.’ ‘Semoga memudahkanmu pada kebaikan di mana pun kamu berada,’ jawa Rasul. Imam At-Tirmidzi berkata, ‘Ini hadits hasan,’”  (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 187).

 

Baca juga: Doa Keluar Rumah

Takwa ialah sebaik-baik bekal sebagaimana keterangan Surat Al-Baqarah ayat 197. Tidak salah kalau Nabi Muhammad saw mendoakan ketakwaan buat sahabat yg hendak pergi. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Doa ketika Berhenti di Sela Perjalanan

Perjalanan tak selalu selesai ditempuh sekali duduk. Terkadang kita perlu singgah sejenak buat melepas lelah perjalanan atau keperluan lainnya. Saat berhenti di sela perjalanan, kita dianjurkan membaca doa berikut ini:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

A‘ûdzu bi kalimâtillâhit tâmmâti min syarri mâ khalaq.

Artinya, “Aku berlindung dgn kalimat Allah yg sempurna dari kejahatan ciptaan-Nya.”

 

Baca juga: Doa Naik Kendaraan

Doa ini dikutip oleh Imam An-Nawawi dari Shahih Muslim, Al-Muwaththa’, Kitab At-Tirmidzi, dan kitab lain dari Khaulah binti Hakim RA:

روينا في “صحيح مسلم” و “موطأ مالك” و “كتاب الترمذي” وغيرهم عن خولة بنت حكيم رضي الله عنها قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “من نزل منزلا ثم قال: أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق، لم يضره شئ حتى يرتحل من منزله ذلك

Artinya, “Diriwayatkan kepada kami di Shahih Muslim, Al-Muwaththa karya Imam Malik, Kitab At-Tirmidzi, dan selain itu dari Khaulah binti Hakim RA, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yg singgah/mampir di suatu tempat, lalu ia mengucap ‘A‘ûdzu bi kalimâtillâhit tâmmâti min syarri mâ khalaq,’ niscaya ia tak dicelakai oleh sesuatu apapun hingga ia beranjak meninggalkan tempat tersebut,’’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 193).

 

Demikian doa di sela perjalanan yg dapat dibaca ketika singgah sebelum melanjutkan perjalanan. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

Membahas tentang Perempuan di Kepengurusan PBNU dalam Kajian Ushul Fiqih

Landasan Fiqhiyah

Ada semangat baru dalam kepengurusan PBNU 2022-2027 yg dikomandani KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) kali ini dgn diikutsertakannya para tokoh kaum perempuan NU dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Meski sempat mengundang perdebatan sebab partisipasi kaum perempuan ialah suatu hal yg baru dan ‘out of box’ dalam tubuh PBNU selama ini, namun harus diakui bahwa itulah upaya Gus Yahya sebagai pemimpin baru di NU buat me-refresh kepengurusan PBNU serta ijtihad para kiai pimpinan PBNU buat melakukan tajdid di tubuh jam’iyah Nahdlatul Ulama secara umum menjelang 100 tahun umurnya. Sehingga kepengurusan baru bukan sekadar pengurusnya yg berwajah baru, tapi juga semangat serta gelora berjamiyah yg baru. 

Pada umumnya, penentangan keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU muncul dgn melihat dan mempertimbangkan dua sisi. Pertama; mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap melanggar tradisi dan kebiasaan NU yg telah dianggap baik dan mapan.

Kedua; kecurigaan atas pelanggaran atas doktrin fiqih NU tentang ikhtilathur rijal wan nisa’, yakni bercampurnya secara lahiriyah antara kaum laki-laki dan perempuan yg jelas diharamkan dalam hukum empat mazhab fiqih Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya fiqih Syafi’i yg dipegangi mayoritas warga NU. Padahal bila dikaji lebih dalam, ikhtilath (percampuran) kaum laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah bersifat lahiriyah, tapi sekadar pada nama dalam SK kepengurusan PBNU.

Berdasarkan dua alasan tersebut, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU dianggap suatu hal yg ‘terlarang’ dalam pandangan fiqih oleh sebagian orang. Minimal dianggap tak patut dan tak elok (khilaful awla) dilakukan oleh organisasi muslim terbesar di dunia sekelas NU yg menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia, di mana fiqih sebagai etika agama maupun etika sosial dijadikan rujukan utama NU. Namun, sebenarnya bagaimanakah landasan dan kajian manhajiyah Aswaja NU dalam memandang persoalan tersebut? 

 

Landasan Ushuliyah

Harus diakui bahwa memasukkan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ialah hal yg sama sekali baru. Ijtihad tersebut dilandasi pada kebutuhan NU pada ketika ini yg harus mengakomodir perempuan dalam peran-peran publik sekaliber tugas buat mengemban amanat berat menjadi pengurus besar Nahdlatul Ulama. Dan itu dilakukan sebagai bentuk penghargaan NU atas hak-hak kaum perempuan yg selama ini menjadi bagian dari konsen perjuangan NU itu sendiri. 

Sebagai ormas Islam terbesar di dunia, NU sangat perlu buat menampakkan keberpihakan dan pembelaan terhadap hak-hak kaum perempuan pada dunia buat menghilangkan stigma dan stereotip negatif bahwa kaum perempuan di dalam jam’iyah NU hanya dijadikan sebagai ‘konco wingking’ saja.

Sebenarnya perjuangan terhadap pembelaan hak-hak kaum perempuan tersebut sejak awal telah dilakukan NU. Hasilnya, bukan hanya kader-kader Fatayat dan Muslimat yg terbukti punya peran besar dalam dunia publik bahkan politik di mana banyak dari kader tersebut berhasil menjadi kepala daerah dari tingkat kabupaten, gubernur hingga menteri.

Realita banyaknya kaum perempuan NU yg menjadi pengasuh pesantren-pesantren NU dalam menghasilkan kader-kader santri, serta banyaknya para bu nyai di NU yg bertugas buat memimpin jamaah NU juga menjadi bukti lain bahwa kaum perempuan di NU bukan hanya menjadi subordinat kaum laki-laki. Tetapi mereka juga peran besar dalam upaya melakukan transformasi sosial dan budaya serta pemberdayaan terhadap masyarakat secara langsung dan nyata. 

Ada tiga landasan ushuliyah yg dapat diajukan buat melegitimasi atas ijtihad para kiai pemimpin NU buat mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU ketika ini. 

Pertama, landasan manhaj istishab. Secara lughah, istishab berarti menetapi hukum asal. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama buat menyikapi realitas persoalan fiqhiyah yg terjadi ketika doktrin teks tak pernah secara tegas menjelaskan secara implisit maupun eksplisit atas hukum larangan ataupun perintahnya.

Dalam arti lain, realitas persoalan fiqhiyah yg terjadi tersebut tak pernah ditentang syari’ah sebab tak ada sama sekali doktrin dalil naqli yg melarangnya, juga tak pernah diperintahkan syari’ah sebab tak ada otoritas teks yg memerintahkan, baik dalam doktrin teks al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Saw. 

Dengan demikian buat menyikapi realita persoalan fiqih tersebut, para ulama dituntut buat berijtihad dgn menggunakan logika asal muasal dari hukum syari’ah; bahwa asal dari segala hal yg tak dibicarakan oleh Syari’ di mana otoritas utamanya dipegang langsung oleh Allah melalui doktrin teks al-Quran maupun Rasulullah Saw melalui doktrin as-sunnah ialah boleh, berdasarkan kaidah “al-aslu fil asyya’ al-ibahah” (asal hukum segala hal ialah mubah). 

Harus diakui, partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan keorganisasian seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ialah suatu hal yg baru, di mana otoritas teks al-Quran maupun doktrin as-Sunnah tak pernah membicarakan keharamannya maupun kehalalannya.

Dengan begitu dalam logika hukum asal muassal syari’ah, sikap diamnya syari’ (Allah dan Rasulullah) ini jelas menunjukkan kebolehan. Jika ditentang, pasti syari’ah mau mengharamkannya, dan bila diperintahkan pasti syari’ah mau mewajibkannya. Namun realitanya tak demikian sehingga realita hukum keikutsertaan kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ataupun organisasi lainnya dalam otoritas syariah ialah diperbolehkan. 

Kedua; landasan istishlah atau maslahah mursalah. Otoritas manhaji ini digunakan para ulama berdasarkan logika munasib dalam syari’ah. Munasib ialah otoritas dan doktrin dasar dalam syari’ah yg meletakkan tiga pilar maqashidus syari’ah sebagai tujuan utama; yaitu (1) jalbun naf’i (menarik manfaat), (2) daf’un dharar (menolak mudharat) dan yg (3) raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan manusia).

Prinsip jalbun naf’i’ terimplementasikan dalam perintah-perintah syari’ah sebab tak ada satu pun hal yg diperintahkan syari’ah dalam otoritas Islam manapun melainkan pasti di dalamnya ada kemanfaatan bagi umat.

Manakala prinsip daf’ud dharar terejawantah dalam larangan-larangan syari’ah di mana tak ada satu pun larangan dalam syari’ah melainkan pasti ada mudharat dan mafsadah bagi umat.

Pun prinsip raf’ul haraj, merupakan salah satu bentuk moderatisme Islam dalam memberlakuan syari’ah supaya syari’ah sebagai aturan baku dalam agama dapat diaplikasikan dgn baik oleh umat. Sehingga segala hal yg menyulitkan dalam pemberlakuan syari’ah sebab faktor tuntutan keadaan harus diupayakan buat diringankan, berdasarkan kaidah “idza dhaqal amru ittasa’a”. 

Dalam konteks prinsip munasib sebagai tujuan pemberlakuan syari’ah itulah partisipasi kaum perempuan dan para bu nyai dalam kepengurusan PBNU patut dikaji dan dipertimbangkan dgn baik dalam konteks kemanfaatan dan kemudharatannya serta upaya buat menghilangkan kesulitan-kesulitan yg melanda umat.

Dalam aspek kemanfaatan (jalbun naf’i), partisipasi kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU ialah satu hal yg positif, baik dan jelas sangat bermanfaat. Sebab kebijakan tersebut bertujuan buat memberikan penghargaan terhadap perjuangan para bu nyai dan kader perempuan di NU yg selama ini telah berhasil dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat, khususnya upaya mereka dalam ‘ngrumat dan ngramut’ jamaah dan santri NU. Baik dalam peran-peran mereka sebagai bunyai di pesantren buat mencetak generasi santri NU, maupun peran-peran mereka sebagai pengasuh pengajian di jamaah Muslimat dan Fatayat NU buat mencetak kader-kader perempuan NU yg berkualitas dalam jamiyah NU. 

Manakala dalam aspek kemudharatan (daf’ud dharar), dapat dipastikan bahwa mengakomodir kaum perempuan di dalam kepengurusan PBNU bukanlah hal yg mudharat dan mafsadah secara nyata, kecuali adanya pandangan negatif beberapa kalangan yg tak siap dalam menerima hal yg baru sehingga hal tersebut dianggap suatu yg tabu.

Namun seiring dgn perjalanan waktu, dapat dipastikan bahwa kemanfaatan besar buat mengakomodir kaum perempuan dalam pengurus besar NU pasti mau menghapus stereotip negatif tersebut. 

Adapun kekhawatiran terjadinya ikhtilath kaum laki-laki dan perempuan juga tak perlu menjadi kekhawatiran yg berlebihan, mengingat NU sebagai organisasinya para kiai pasti mau selalu menjaga prinsip moralitas syariah dan tetap menjunjung tinggi etika fiqih sebagai pijakan amaliyah dan harakahnya dalam mengharamkan adanya ikhtilath lahiriyah tersebut. 

Ketiga; landasan ‘kebutuhan umum’ sebagai manhaj dan dalil syari’ah. Dalam kajian manhaji mazhab Hanafi, celah mencari hukum berdasarkan kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah istihsan. Namun dalam kajian mazhab Syafi’i, legislasi hukum Islam yg didasarkan pada kebutuhan umum ini diformulasikan dalam kaidah fiqhiyah “al-hajah al-‘ammah tanzilu manzilatad dharurah”, bahwa kebutuhan umum yg terjadi secara nyata dalam masyarakat, senyampang masih maslahah bagi masyarakat dan sahih dalam pandangan syari’ah dgn tak menghalalkan yg haram, merupakan hal yg baik dan dapat diakomodir dalam legislasi hukum Islam. Sebab kebutuhan umum merupakan bagian dari kondisi kedaruratan dalam syari’ah.

Al-hajah al-‘ammah tersebut dalam analisis para ulama salaf dikategorikan pada tiga tuntutan kondisi;

(1) Tuntutan sosial akibat perubahan zaman. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan atas kebutuhan ketersediaan bank konvensional dalam sistem perekonomian modern, sehingga mustahil bank konvensional dalam konteks kekinian diharamkan sebab kebutuhan masyarakat dunia atas kehadiran bank konvensional jelas mengalahkan kajian-kajian tekstual atas keharaman bank yg dipersepsikan sebagai bagian dari praktek riba.

Praktik jual beli online yg sekarang menjadi kebutuhan umum juga merupakan contoh lain dari kategori tuntutan sosial yg pertama ini. 

(2) Tuntutan tradisi akibat perbedaan tempat pemberlakuan syari’ah. Hal ini seperti dalam kasus tuntutan pentingnya mengakomodir tradisi-tradisi lokal di Nusantara seperti selametan serta ritual keagamaan lainnya dalam tradisi masyarakat NU yg tak ditemukan di belahan dunia Islam yg lain.

Sebab bila tradisi tersebut dihilangkan justru mau mengakibatkan kesulitan dan kemudharatan. Itulah sebabnya para ulama NU lebih banyak memilih buat melestarikan tradisi dan budaya tersebut dgn pola modifikasi, konversi maupun asimilasi supaya tradisi tersebut tetap bernilai Islami. 

(3) Tuntutan sosial dan tradisi secara bersamaan.

Pada kategori ketiga inilah ijtihad kiai NU buat mengakomodir kaum perempuan dalam kepengurusan PBNU menemukan urgensinya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa modernitas ketika ini telah menuntut adanya peran kaum perempuan lebih luas dalam dunia publik meski tak boleh melupakan peran utamanya dalam dunia domestik.

Dan kondisi ini telah menjadi bagian penting dari tradisi kita di Nusantara puluhan tahun lamanya, terlebih dalam kondisi modern ketika ini. Terbukti, partisipasi kaum perempuan dalam perekonomian nasional justru lebih dominan dibanding kaum laki-laki dgn banyaknya pegawai dan kaum buruh dari kelompok yg dianggap sebagian kalangan hanya sebagai ‘konco wingking’ ini. 

Pun dalam peran-peran sosial masyarakat, tak sedikit ketika ini kaum perempuan yg memiliki kemampuan buat memegang kepemimpinan sosial dan politik dalam masyarakat, entah menjadi lurah, camat hingga bupati.

Terlebih di dalam jamiyah NU, di mana kita secara nyata menemukan realitas bahwa bukan hanya kiai yg ketika ini menjadi pengawal agama dan pemimpin keagamaan masyarakat. Tetapi juga para bu nyai yg menjadi pemimpin bagi masyarakat dan jamaah NU dgn ribuan pengikut, serta kader-kader Muslimat dan Fatayat NU yg ketika ini banyak memegang jabatan publik seperti bupati, gubernur hingga menteri.

Inilah realita yg menuntut NU sebagai ormas dakwah dan fokus buat melakukan pemberdayaan pada masyarakat buat tak lagi memandang remeh terhadap peran kaum perempuan dalam proses transformasi sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga mengakomodir kaum perempuan, khususnya para bu nyai Nusantara dalam kepengurusan PBNU dgn pertimbangan atas peran penting mereka dalam sosial dan keagamaan dalam jamiyah NU ialah kebutuhan mendesak supaya stereotip negatif atas posisi kaum perempuan dalam kehidupan sosial yg sering kali digambarkan negatif dan bias menjadi hilang.

 

Penutup

Ijtihad para ulama dan para kiai NU dalam persoalan furu’iyah memang bukanlah suatu hal yg memiliki kebenaran mutlak. Sehingga ruang perdebatan pasti mau selalu ada, sebab kebenaran yg sesungguhnya hanya menjadi otoritas Allah SWT. 

Pun dalam persoalan diakomodirnya kaum perempuan dan para bunyai nusantara dalam kepengurusan PBNU periode 2022-2027 ketika ini jelas membuka ruang ikhtilaf. Namun, sebagai santri, kita patut buat menerima dan mengapresiasi ijtihad para pimpinan jamiyah Nahdlatul Ulama tersebut dgn pikiran terbuka dan lapang dada. Bukankah santri harus nderek kiai? 

Terlebih, bila kita bicara tentang otoritas agama, perdebatan apapun dalam fiqhiyah maka keputusan mutlak pemberlakuannya ialah kembali kepada para pemegang otoritas tersebut. Dan otoritas itu kini dipegang oleh para kiai NU yg menjadi bagian dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Di sinilah pentingnya kita sebagai warga NU buat selalu husnuzhan kepada para ulama dan kiai yg menjadi pemimpin kita, sebab mustahil beliau-beliau mengabaikan otoritas fiqih Ahlus Sunnah yg selalu berujar “tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyah manuthun bil maslahah”. Maka yakinlah, bahwa ijtihad itu ialah buat kemaslahatan NU dan warga NU. 

KH Abu Yazid AM, Katib Syuriyah PBNU 2022-2027.