Apakah Hukuman Penjara Menggugurkan Kewajiban Melunasi Utang?

Gerak cepat pemerintah dalam melakukan penanganan hak tagih negara terhadap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia melalui Satgas BLBI mendapat sorotan banyak pihak.

 

Beberapa kalangan membandingkannya dgn sejumlah perilaku koruptor yg merugikan negara. Apakah kewajiban-kewajiban mereka yg berhubungan dgn harta yg dikorupsinya, baik lewat jalan menjadi obligor atau debitur telah dapat dipandang lunas meskipun mereka menyatakan diri sebagai pailit?

 

Demikian halnya dgn harta hasil korupsi, masihkah harus dikembalikan ke negara sementara pelakunya telah dipenjara? Berikut ini merupakan hasil tinjauan penuliis berdasarkan sudut pandang hukum Islam.

 

Utang sebab Kasus Pailit

Utang para pelaku usaha yg mengaku telah mengalami pailit, taklah gugur begitu saja. Secara hukum Islam, utang pada dasarnya merupakan bagian dari amanah yg tetap wajib dikembalikan kepada pihak kreditur ketika telah jatuh tempo.

 

Baginda Nabi Muhammad saw bersabda bahwa menunda-nunda pelunasan utang oleh seorang yg mampu melunasinya merupakan sebuah bentuk kezaliman (mathlu al-ghaniyyi dhulmun). Istilah lain dari kezaliman ini ialah moral hazard.

 

Baca juga: Menunda Bayar Utang padahal Mampu ialah Kezaliman

 

Dalam tuntunan agama Islam, seorang kreditur (pemilik piutang) ketika menghadapi kasus adanya pihak debitur (pemilik utang) dianjurkan supaya memberi relaksasi hingga seseorang menjadi mampu (QS Al-Baqarah [2]: 182).

 

Namun, ketika menghadapi adanya kasus moral hazard berupa upaya buat mengulur-ulur waktu sehingga merugikan kreditur atau negara, maka pihak pemerintah berwenang buat melakukan ta’dib (pendidikan moral) terhadap mereka.

 

Ada beberapa cara memberikan ta’dib terhadap debitur atau obligor yg nakal semaca ini, antara lain dgn jalan dipenjara (habsun), diambil hartanya secara paksa (disita) (bi al-qahri), atau bahkan dgn jalan ditahan penyaluran hartanya (hajr).

 

Debitur seperti ini dikenal dgn istilah debitur yg muflis (bangkrut). Cirinya, total aset yg dimilikinya lebih kecil dari jumlah kewajibannya. Oleh sebabnya, aset yg dimilikinya berhak buat disita.

 

Pemberian sanksi berupa ta’dib berlaku selama mereka masih ada i’tikad baik buat melunasi, atau mengembalikan harta utang mereka.

 

Akan tetapi, bila tak ada niatan melunasi, maka pihak negara boleh buat melakukan penyitaan aset yg dimiliki debitur tersebut, dan melelangnya guna menutupi kewajiban-kewajibannya.

 

Demikian ini dapat kita temukan pada banyak keterangan fiqih Mazhab Empat, yg telah cukup populer di Indonesia.

 

Sanksi bagi Pelaku dan Penanganan Harta Korupsi

Korupsi dalam pandangan Islam setara dgn tindakan atau upaya mengamuflasekan asal-usul harta kekayaan. Tindakan ini dikenal sebagai perilaku al-ghisy (pengaburan) atau al-ghabn (kecurangan).

 

Ibn Yunus al-Shaqli (w. 451 H), salah satu ulama otoritatif dari kalangan Malikiyah menyampaikan bahwa:

 

نهى الرسول ﷺ عن الغش والخلابة، وقال: من غشنا فليس منا

 

“Rasul saw telah melarang berbuat pengaburan dan penipuan. Beliau bersabda: “Barang siapa berbuat koruptif, maka ia bukan termasuk golongan kita.” (Al-Jami’ li Masail al-Mudawwanah, juz 14, halaman 199).

 

Selanjutnya, dalam penjelasannya, Ibnu Yunus al-Shaqli (w. 451 H) menukil sebuah pandangan menarik dari Ibnu Habib rahimahullah bahwa:

 

ويعاقب من غش بسجن وضرب، وإخراجه من السوق إن كان معتادًا للغش والفجور

 

“Orang yg melakukan kecurangan/pengaburann (korupsi) hendaknya diberi sanksi dgn jalan dipenjara dan didera. [Puncaknya] ia hendaknya dikeluarkan dari pentas pasar bila kecurangan dan perilaku suka melanggar hukum (fajir) itu telah menjadi tabiat dasarnya” (Al-Jami’ li Masail al-Mudawwanah, juz 14, halaman 199).

 

Itulah beberapa sanksi bagi para pelaku korupsi dan melakukan pengaburan sumber asal harta. Untuk mereka ada tahapan-tahapan dalam pemberian ta’zir (sanksi). Bentuk sanksi itu tak hanya terfokus pada pengembalian harta semata, melainkan juga pada upaya mengatasi rusaknya moral pelaku. Puncaknya, pelaku tersebut dikeluarkan dari panggung tempat ia melakukan perilaku hina itu. Artinya, meskipun sanksi penjara dilewati secara penuh, kewajiban mengembalikan harta utangan tak lantas gugur begitu saja. Debitur nakal atau maling uang rakyat tetap wajib mengembalikan uang yg menjadi tanggungannya.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Pakar Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur






Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.