Badan Usaha & Individu: Mengapa Hak & Kewajibannya Dibedmau dalam Fiqih?

Diksi manusia ilusi di kalangan ekonom sering disampaikan dgn istilah syakhshiyah i’tibariyah. Ditinjau dari sisi bahasa, diksi “syakhshiyah” berasal dari kata “syakhshun” yg bermakna personal atau individu. Ketika disemati dgn ya’ nisbah, maka diksi tersebut menjadi bermakna sesuatu yg diserupakan dgn person/individu.

 

Adapun diksi i’tibariyah, secara bahasa bermakna ungkapan, sehingga apabila disemati dgn ya’ nisbah, maka maknanya menjadi sesuatu yg berkenaan dgn ungkapan. Jadi, secara tak langsung bila disebutkan istilah syakhshiyah i’tibariyah maka yg dimaksud dgn istilah itu ialah individu maknawi atau sesuatu yg diumpamakan sebagai individu, lengkap dgn segala tanggung jawab yg melekat padanya.

 

Jika direnungkaan, syakhshiyah i’tibariyah ini sebenarnya merupakan bidang kajian ilmu hukum. Oleh sebab itu, objek kajian dari materi ini tak lain dan tak bukan ialah berkaitan dgn hak dan kewajiban sebuah badan hukum yg diumpamakan sebagai layaknya individu. Bisa ataukah tak? Itulah bagian dari dinamika pemikiran ini dibangun.

 

Lalu, apa pentingnya buat kita membahasnya?

 

Bagaimanapun juga, fiqih ialah bagian dari produk hukum juga, bukan? Bedanya, bila hukum positif dibentuk oleh lembaga legislasi suatu negara. Namun, fiqih dilegalformalkan oleh Syari’ (Allah dan rasul-Nya) melalui perantara kodifikasi para ulama mujtahid mazhab. Di sinilah letak titik persinggungan kedua bidang ini.

 

Persamaan dan Perbedaan

Ada banyak sisi menarik yg menghendaki buat dikaji dan ditelaah terkait dgn persamaan dan perbedaan antara individu maknawi dgn individu hakiki/insani. Misalnya, ketika seorang manusia lahir, maka secara tak langsung ia telah dapat disebut individu hukum. Ia dapat berlaku selaku subjek hukum (ahliyatu al-ada’), atau sebaliknya berperan selaku objek penerima hukum (ahliyatu al-wujub). Jika menunaikan hukum sesuai dgn yg digariskan, maka ia disebut individu taat hukum. Demikian sebaliknya, bila tak taat hukum, maka ia dapat disebut pembangkang.

 

Suatu misal, individu yg baru lahir di akhir bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari, maka pada dirinya telah berlaku hukum wajib membayar zakat. Di sisi yg lain, ia juga berhak mendapatkan zakat, dapat menerima waris, berhak mendapatkan hibah, sedekah, dan sejenisnya. Apabila orang tuanya meninggal, meski baru sedetik menghirup udara bebas, dia telah berhak mendapatkan warisan atau objek penerima wasiat.

 

Keberadaan wajibnya si mungil yg baru lahir dalam membayar zakat menandakan dia ialah subjek hukum (ahli ada’). Adapun haknya dalam menerima waris dari orang tuanya, ialah bagian dari haknya selaku objek hukum (ahli wujub).

 

Bagaimana dgn badan hukum? Sebuah badan usaha yg baru didirikan, saat awal kali ia membelanjakan hartanya buat membeli bahan baku (raw material) buat kepentingan melakukan proses produksi, maka badan usaha tersebut telah terhitung melakukan akad niaga. Karenanya dia telah terikat oleh kewajiban bahwa 1 tahun (haul) mendatang wajib buat mengeluarkan zakat tijarah (perniagaan). Dalam kondisi ini, maka badan usaha tersebut telah menduduki selaku subjek hukum (ahli ada’).

 

Baca juga: Bentuk-bentuk Cara Transaksi Jual Beli dalam Perspektif Fiqih

 

Di sisi lain, apabila perjalanan usahanya dirugikan oleh pihak lain, namanya dicemarkan sehingga mengganggu kegiatan usahanya, badan usaha ini berhak buat menuntut ganti rugi di hadapan hakim. Di sini letak perannya selaku objek hukum. Artinya, selaku objek hukum, sebuah badan hukum juga dapat menuntut hak ganti rugi atas kerugian yg ditimbulkan oleh pihak lain. Persis seperti individu manusia, bukan?

 

Namun uniknya, berbagai keserupaan ini, tak membuat badan hukum memiliki kewajiban buat membayar zakat fitrah. Sementara pada individu manusia, begitu ia lahir, ia telah terbebani dgn kewajiban zakat fitrah. Meskipun pada dasarnya hal itu diatasnamakan hukum taklifi, dan pihak yg menunaikannya ialah wali si anak. Mengapa hal ini tak berlaku kepada badan hukum juga?

 

Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yg menggelitik. Meskipun ini sebenarnya ialah berasal dari gurauan, namun juga masuk akal. Pertanyaan itu, ialah: “bila seorang individu manusia memiliki kewajiban membayar zakat, demikian halnya dgn sebuah badan usaha yg dikelola buat melakukan akad niaga, juga dikenakan kewajiban berzakat, namun mengapa pihak individu manusia dapat menerima zakat sementara sebuah badan usaha tak dapat?”

 

Seorang individu yg terlilit utang, maka ia dimasukkan dalam ashnaf gharim (golongan penerima zakat sebab banyak utang). Bagaimana dgn sebuah badan usaha? Bisakah dimasukkan dalam ashnaf gharim? Kalau saja dapat, maka pastinya mau banyak perusahaan yg mau mengajukan diri sebagai gharim, ya?

 

Sebenarnya banyak permasalahan-permasalahan yg menyentil dan menggelitik lainnya seiring badan usaha atau semacam badan hukum didirikan dalam aneka bentuk dan ruang gerak. Ada yg bergerak di bidang penyaluran donasi korban bencana, korban perang, dan sejenisnya. Apakah mereka juga dapat dimasukkan dalam ashnaf sabilillah?

 

Ruang dialog dan dialektika mengenai hal di atas, telah banyak dibuka. Apalagi di Timur Tengah, ruang-ruang publikasi telah banyak dipenuhi aktivitas yg diatasnamakan kajian syakhshiyah i’tibariyah (individu maknawi) ini. Mungkin kitanya yg agak ketinggalan dalam mendiskusikannya. Semoga ke depan, ada ruang buat memulai kajian. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, kolomnis Ekonomi Syariah

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.